Selasa, 14 November 2017

SANGKURIANG : MENILIK DUA SISI BERBEDA

November 14, 2017


Kejujuran membawa kita pada penerimaan yang ihklas.

Drama musikal Sangkuriang yang digelar pada hari jadi UNPAR ke-50, mengisahkan konflik Sangkuriang dengan ibunya. Awal pertunjukan memperlihatkan Dayang Sumbi sedang menenun dengan raut wajah gelisah, lalu datang Ardalepa beserta kolompok petani, suasananya menjadi sangat kontras; raut Dayang Sumbi mendung sedang Ardalepa cerah ceria. Dayang Sumbi pun bertanya mengapa Mamang (Ardalepa) selalu terlihat ceria sedang anaknya (sangkuriang) setiap waktu muram.

“Karena Mamang tak menyimpan rahasia” ujar Ardalepa lepas.

Rahasia mengharuskan Sangkuriang menabung tanda tanya, tentang siapa bapaknya, di mana tinggalnya, masih hidup kah, bagaimanakah rupanya, mirip kah Ia dengan bapaknya dan banyak lagi pertanyaan lainnya, bahkan mungkin Sangkuriang telah lama berkhayal bahwa bapaknya adalah keturunan terhormat pula, pangeran dari negeri seberang, yang karena satu dan lain hal mereka tak pernah bisa berjumpa. Kemungkinan-kemungkinanlah yang membuat sangkuriang digerogoti luka dari dalam, membuatnya menjadi pemuda pemarah nan egois.

Pemberontakan adalah upaya Sangkuriang agar mendapat perhatian ibunya, Sangkuriang pergi ke hutan yang menjadi larangan keras dan tidak pulang selama berhari-hari, biarpun si Tumang selalu menemani tetapi hati seorang ibu tetaplah melang. bagi Sangkuriang diamnya Dayang Sumbi menjadi racun, sedikit demi sedikit membunuh cinta dan hormat. Dayang Sumbi memang sangat rapat menutupi rahasianya, kecuali Ia, tidak ada lagi yang tahu.

Tersadar oleh ucapan Ardalepa, selanjutnya Dayang Sumbi pun memutuskan untuk menyingkap rahasia, berharap ini akan mengobati luka hati anak semata wayangnya.

Dahulu, di suatu siang yang amat panas, ketika bunda seorang diri menenun di sana di tempat sepi, tiba-tiba terserang lesu yang teramat hebat, sehingga terlena dan tak berdaya. Ketika teropong jatuh ke kolong, berkatalah bunda: “barang siapa suka menolong, mengambil teropong dari kolong, akan menjadi saudara jika dia perempuan, akan menjadi suami jika dia laki-laki. Tak disangka muncul budak lelaki mengunjukan teropong tadi, Ibunda yang tak berdaya, terkejut lalu terlupa, tak sadar akan diri. Dia budak menghampiri… semenjak itu Bunda merasa berbadan dua dan Sembilan bulan kemudian Tuan lahir dari kandungan”.

Namun sayang beribu sayang pembiasaan memengaruhi sikap hidup seseorang dan Sangkuriang yang sejak awal tidak diajarkan menerima kondisi bapaknya, mengalami kekecawaan terhadap persepsinya sendiri, Sangkuriang sulit menerima jika bapaknya adalah si Tumang. Kendati pun Tumang setia, kondisinya yang merupakan budak tunadaksa, tuli, pincang, bisu dan dungu membuatnya sulit menerima. Semuanya jadi terasa tidak tepat, waktu pun seolah tidak memberikan kesempatan bagi sangkuriang mencerna informasi, menelannya sedikit demi sedikit agar timbul pemahaman. Di sini Sangkuriang dipaksa untuk segera memahami kondisi ibunya itu. memang sangat sulit.

Dirundung kecewa, Sangkuriang pergi dari rumah menuju hutan tempat para jin bersemayam, ditemani si Tumang, Ia berjalan tak tentu arah… dalam keterpurukannya sangkuriang mencari pembenaran, Ia berpikir, tidak ada satu orang pun yang menyaksikan bahwa sangkuriang lahir dari rahim ibunya dan berbapak seorang budak, pernyataan tadi bisa saja hanya bualan Dayang Sumbi. Bertekad mempertahankan keyakinannya Sangkuriang lantas membunuh si Tumang, karena baginya kebenaran mutlak hanya ada satu dan jika Tumang pun bersikukuh maka harus dibunuh. Sangkuriang pada kondisi ini tidak lagi berpikir logis, membunuh tumang dan mengawini Dayang Sumbi menjadi jalan untuk menutupi jejak; ia anak dari budak tunadaksa.

Berikut yang terjadi adalah upaya sangkuriang mengiwini ibunya dengan menghalalkan segala cara, termasuk meminta bantuan para jin untuk mewujudkan syarat Dayang Sumbi yang hampir mustahil, bahwa jika Sangkuriang keukeuh ingin menikah dengannya, Sangkuriang harus membuat telaga lengkap dengan perahunya dalam waktu satu malam saja.

Drama musikal di atas memang agak berbeda, si Tumang yang dalam cerita rakyat berwujud anjing, di sini berjuwud budak tunadaksa dan fokus masalah bukan lagi asal muasal terjadinya gunung Tangkuban Perahu melainkan konflik Dayang Sumbi dengan Sangkuriang. Jika kita ingin memberikan wejangan perihal nilai-nilai hidup kepada generasi millenial, sudut pandang drama musikal ini lebih relevan.

Dayang Sumbi sebenarnya malu punya suami seorang budak, maka Ia akhirnya berahasia, sedang Sangkuriang memberontak karena baginya hidup tidaklah adil, tuturnya “semua orang yang hidup di dunia beribu dan berbapak, hanya dialah seorang yang tidak tahu siapa bapaknya”. Sangkuriang merasa sebagai anak laki-laki satu-satunya ia layak dijadikan penopang dan Sangkuriang merasa mampu mengayomi dan melindungi ibunya tersebut, namun Dayang Sumbi malah merahasiakan keberadaan bapaknya, seakan Dayang Sumbi melihat Sangkuriang sebagai anak kecil yang tak paham permasalahan orang dewasa dan harus dilindungi. Kenyataan ini membuat Sangkuriang marah lalu memberontak.

Jika kita telaah lebih mendalam konflik ini bermula dari sikap Dayang Sumbi dalam memecahkan masalah dan berdampak pada pola asuhnya, setiap orangtua berharap bisa melakukan lebih banyak upaya untuk membantu anak-anak dalam menghadapi masalah, salah satu upaya orangtua adalah ikut campur bahkan mengambil alih dalam proses pemecahannya, ikut campur merupakan godaan terbesar apalagi jika solusinya nampak begitu jelas bagi kita, namun ikut campur dan bertindak sebagai orangtua super tidak selalu baik, karena cara itu dapat menghambat tumbuhnya keterampilan anak dalam memecahkan masalah. Pola asuh seperti itu dapat dilihat dari sikap Dayang Sumbi yang merahasiakan siapa sebenarnya bapaknya, agar Sangkuriang tidak merasa malu mempunyai bapak seorang budak. Namun tentu saja hal ini membuat Sangkuriang kurang bijak dalam menyelesaikan sebuah permasalahan, alih-alih menyembunyikan masalah dari anak, lebih baik mendampinginya untuk menerima kenyataan, lalu mendorong mereka untuk menghadapi dan berpikir kreatif dalam penyelesaiannya. Sehingga anak tumbuh dan berkembang seiring tingkatan ujian yang mereka hadapi.  


Akan lebih baik ketika anak menghadapi masalah, kita mencoba untuk memberikan kesempatan berpikir, bantulah mereka dengan menjadi pendengar yang baik dan tunjukan bahwa kita memahami kecemasan dan perasaan mereka. Dorong mereka untuk meyakini bahwa selalu ada solusi yang tepat meskipun dalam perjalanannya mereka mengalami begitu banyak kegagalan, namun jika berusaha dengan baik, mereka akan menemukannya. Ajarkan juga untuk bertanggung jawab, agar dapat menerima peran dan ikut terlibat dalam mencari solusi sehingga mereka menjadi siap saat menerima dampaknya. Sebuah permasalahan adalah permainan kreatif, jika mereka dilatih untuk melihat dari berbagai sudut pandang, niscahya mereka akan mampu menyelesaikan setiap permasalan dengan resiko paling minim.



Hazar Widiya Sarah. Pengasuh Rubrik Rambu Jalan, Penulis, Konselor, Guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA Swasta, Co-founder Komunitas Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar Library, Chief of Editor Penerbit Matahari Pagi, Mentor Kelas Literasi Matahari Pagi, Kontributor Tetap www.mataharipagi.tk, Komisaris CV Matahari Pagi.

AWAL YANG PANJANG : SURAT UNTUK DANIAH DAN MENGOLEKSI BATU, MENGHAYATI ALAM

November 14, 2017
Surat untuk Daniah.


the Daniah way adalah salah satu sub dari Kelas Matahari Pagi. Daniah adalah nama anak pertama kami, seorang anak perempuan. the Daniah way adalah istilah yang kami gunakan untuk menamai bagaimana kami mendidik supaya dia bisa menjalani hidupnya. Ini merupakan bentuk lain dari Kurikulum Daniah yang kami susun. Kurikulum pertama yang kami susun adalah Kurikulum Bimbingan Belajar Pola Asuh Daniah Farrah. Kurikulum itu disusun untuk menunjang tumbuh kembang Daniah dari 0 sampai dengan 2 tahun. Isinya terdiri dari aspek motorik kasar, motorik halus, komunikasi dan sosial. Cara kerjanya adalah kami harus memberikan stimulus-stimulus yang tepat dan membandingkan responnya. Apakah responnya itu sesuai/memenuhi parameter yang telah kami tetapkan atau tidak. Hasil pengukuran tersebut kami jadikan bahan evauasi guna memperbaiki rencana stimulus-stimulus seperti apa yang akan kami berikan berikutnya.

Pada usia 2 tahun, kami melakukan evaluasi atas pencapaiannya. Hasilnya, dia menunjukan tanda-tanda memiliki talenta khusus, terutama dalam hal artistik musikal, visual spasial, logika matematika dan verbal linguistik. Dia mampu menangkap konsep abstrak dengan baik dan imajinasinya terdefinisikan dengan jelas. Kongkritnya, dia mencapai tonggak perkembangan (milestone) lebih awal dari parameter yang kami telah tetapkan. Untuk menampung tanda-tanda khusus tersebut, maka kami sepakat untuk menerapkan konsep kecerdasan majemuk pada kurikulum selanjutnya.

Akhirnya kami berhasil menyusun kurikulum Daniah yang diberi nama Kurikulum Daniah : Fase pembentukan (2-6 tahun) berbasis kecerdasan majemuk. kurikulum tersebut memg integrasikan kompetensi PAUD, yang kami sebut sebagai kompetensi inti, dengan konsep kecerdasan majemuk tadi. Pertimbangan kompetensi PAUD kami jadikan sebagai kompetensi inti dengan pertimbangan untuk lebih memudahkan evaluasi kami terhadap tumbuh kembang Daniah dengan anak-anak usia sebayanya. Kompetensi PAUD tersebut terdiri dari aspek bahasa-sosial-emosional, matematika, etika dan moral, lingkungan dan alam, kesehatan, psikomotor, seni dan budaya.

Namun bukan saja kami bermaksud untuk memaksimalkan perkembangan intelektual anak yang pada rentang usia tersebut bisa mencapai 50%-80%. Bukan pula untuk mengoptimalkan pertumbuhan fisik pada rentang usia yang sama bisa mencapai 25%-85%. Tetapi kami menginginkan pula pada perkembangan psikologisnya, dari fase id, ego dan super ego, Daniah memiliki satu benang merah yang mengikatnya erat. Kami ingin dia menyadari dan menikmati perkembangan psikologisnya tersebut. Kami ingin Daniah memiliki psikologis yang kuat sebagai rumah besar bagi etika dan moralnya. Sehingga konsep etika dan moral bukan merupakan busa-busa air liur propaganda yang berbau busuk. Nilai-nilai tersebut merupakan landasan kokoh yang menopangnya dalam berpikir, berbicara, bertindak, berperilaku dan bersikap. Darinya terpancar sinar terang integritas dan kehormatan diri.

Permasalahannya, bagaimana menunjukan pada Daniah mengenai benang merah tersebut?. Tentu saja dengan mengatakannya. Maka pada tanggal 28 April 2017, aku membuat surat untuknya. Isinya seperti berikut ini :



Sukabumi, 28 April 2017

Teruntuk Daniah,
Sang anak panah zaman cemerlang.


Nak, hari ini transformasi budaya yang telah kita canangkan telah memasuki fase baru.

Buku Matahari Pagi, Sehimpun Puisi adalah tonggak awal, titik balik, prasasti untuk kita. Itu merupakan mata rantai penghubung kita dengan perjuangan leluhur kita.

Project berikutnya, the Daniah way adalah tarikan busur supaya engkau sang anak panah zaman cemerlang bisa melesat merobek dimensi.

Kami sudah tidak sabar untuk bisa mendiskusikan arsitektur peradaban masa depan.


Kami menunggumu,

Tertanda.

Bapak dan Ibu.

Catatan :
Sang anak panah zaman cemerlang adalah istilah yang ada dalam puisi berjudul Mengeja Daniah dalam buku Matahari Pagi, Sehimpun Puisi. Istilah itu juga merujuk pada generasi Indonesia Emas 2045.



Kapan kami bisa berdiskusi dengan Daniah? Ada kekhawatiran lain lagi yang menyelimuti kami. Kami takut jika seiring Daniah remaja, kami tidak bisa mengimbangi frekuensi komunikasinya lagi. Kami cemas jika akan ada tembok diantara kami dan Daniah sebelum kami bisa berdiskusi dengannya. Kami tidak bisa berharap banyak pada Kurikulum yang telah kami susun dengan menyodorkannya. Ada kemungkinan dia tidak memahami maksud kami, meskipun kurikulum tersebut sudah kami susun sangat flesibel mengadopsi kurikulum PAUD-nya Finlandia (yang katanya memiliki sistem pendidikan terbaik didunia pada saat ini). Apapun itu, tetap saja masih terasa kaku. Meskipun diusahakan untuk bisa menjadi holistik integratif.

Hingga pada suatu waktu, aku teringat akan cerita Sherlock Holmes. Sherlock dan Watson. Pemeran utamanya Sherlock, tentu saja. Namun, petualangan Sherlock diceritakan dari sudut pandang sahabatnya, Watson. Watson membuat petualangan Sherlock terkenal lewat tulisannya. Ya, dari cerita itu aku akhirnya mendapat inspirasi.

Aku akan berperan sebagai Watson dan Daniah sebagai Sherlocknya. Dalam istilah Daniah, aku asistennya dan dia menjadi pemimpinnya. Aku akan menuliskan petualangan-petualangan Daniah. Petualangan-petualangannya itu merupakan representasi dari pola asuh kami yang mengacu pada kurikulum yang kami buat. Maka aku akan menuliskan petualangan dia dari sudut pandangku. Sudut pandangku artinya harapan-harapan, maksud dan jangkauan-jangkauanku dalam memaknai pada petualangannya.

Tulisan-tulisanku ini, yang dinamai the Daniah way, adalah petunjuk-petunjuk langsung mengenai benang merah dalam proses pembentukan psikologisnya. Benang merah dari fase id, ego dan super egonya. Aku ingin dia membentuk, mendefinisikan konsep dirinya secara utuh, koheren, dan paripurna. Aku ingin dia tidak menemui missing link, sebaliknya aku menunjukannya benang merah. Aku ingin saat dia mereflesikan, saat dia berkontemplasi, ada tautan dengan kami, dengan leluhur-leluhur kami.

Melalui tulisan-tulisan ini, cerita-cerita ini, kisah-kisah ini, aku ingin benang merah itu tersampaikan. Aku ingin menjadi Watson baginya, si Sherlock. Aku ingin selalu menjadi sahabat baginya. Aku ingin teman berdiskusinya. Untuk itu, jalananan telah dibuka. Aku dan dia mulai dengan langkah pertama. Seperti pada hari itu, dalam cerita berikut ini.

Mengoleksi Batu, Menghayati Alam.



Hari ini sangat cerah. Matahari bersinar terang disekeliling awan-awan seputih kapas. Semilir angin menjadikannya sedikit sejuk. Daniah mendatangiku dengan langkah-langkah yang pasti dan semangat yang sangat terlihat. Dia mengemukakan keinginannya untuk mengoleksi bebatuan. Bukan batu-batu yang sudah dipahat atau dibentuk oleh tangan manusia. Tetapi jenis batu kaya dengan detail estetika, seperti tekstur dan atau warna yang khas.



Gagasan Daniah untuk mengoleksi batu tersebut mengingatkanku pada suiseki. Suiseki merupakan kata dalam bahasa Jepang yang berarti “batu air”. Istilah ini digunakan untuk merujuk pada tradisi mengumpulkan dan mengapresiasi batu sekaligus untuk menyebut batu koleksi itu sendiri. Suiseki merupakan salah satu di antara banyak seni estetika tradisional Jepang.


Sebenarnya jika ditelusuri lebih jauh, bentuk seni ini diduga berasal dari Tiongkok. Orang Tiongkok dikenal telah memiliki tradisi apresiasi pada batu yang terbentuk secara alami selama lebih dari dua ribu tahun, yang disebut gongshi. Gongshi yang setara dengan Suiseki masih dihargai di Tiongkok dan sering dipamerkan pada berbagai kesempatan.




Kemudian kami menghabiskan siang itu untuk mencari batu sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh Daniah. Setelah batu yang terkumpul dirasa sudah cukup, kemudian Daniah mencucinya hingga bersih. Dia mencuci batu-batu yang akan menjadi koleksinya sendiri. Sambil bermain gelembung sabun tentunya. Proses mencuci batu itu menghabiskan waktu hingga sore.




Setelah batu-batu bersih dan kering, Daniah menyusunnya. Yang menarik, batu-batu itu dia susun dengan bentuk abstrak. Dia tidak mengambil bentuk tanaman, hewan, dan figur-figur lainnya. Bentuk abstrak dan mendeskripsikannya membutuhkan daya imajinasi tersendiri.

Pertama, Daniah membentuk berbagai susunan batu berundak. Dia mengkombinasikan susunan batu dengan balok untuk mendapatkan susunan yang diinginkannya. Tidak berhenti dengan eksperimen bentuk, susunan dan kombinasi, Daniah melakukan percobaan lain.

Percobaan kedua adalah cahaya. Daniah mencoba berbagai intensitas cahaya, mulai dari yang terang sampai yang lebih redup. Dia memberi istilah “cahaya ceria” untuk yang terang dan “cahaya magis” untuk yang redup. Dia terlihat cukup puas atas keberhasilan percobaan cahayanya.

Daniah mengakhiri eksperimennya dengan membuat lanskap. Dia membentangkan imajinasi akan alam menjadi suatu horison bebatuan diantara tanaman dan bunga-bunga. Dia membuat miniatur suatu lembah yang sejuk dan nyaman. Menutup eksperimennya dengan pose damai berlatar cakrawala batu-batu koleksinya.



Kacamata Watson.

Mengoleksi batu yang Daniah lakukan, aku maknai, bukan sekedar mengumpulkan dan menyimpannya saja. Sepertihalnya suiseki ataupun gongshi sebagai budaya yang dihasilkan oleh interaksi antara manusia dengan alam. Mengapresiasi batu yang dibentuk oleh alam, sama dengan mengapresiasi keberadaan alam bagi kelangsungan hidup kita. Bukankah saat ini miskin akan apresiasi? Pengenalan dan pembiasaan apresiasi merupakan penanaman karakter yang mulia bagi anak-anak kita. Ibarat permata koh i noor pada mahkota etika dan moral. Apresiasi adalah bentuk terbaik dari persamaan dan persaudaraan, karena kita tidak bisa membayangkan persatuan seperti apa tanpa adanya persamaan dan persaudaraan. Persatuan mensyaratkan adanya penghargaan.

Sepertihalnya kebudayaan-kebudayaan yang didefinisikan dari kearifan alam, seperti kebudayaan Tiongkok dan Jepang, begitu pula kebudayaan Sunda. Budaya Sunda, sebagai salah satu bagian dari kebudayaan Indonesia, mengutamakan keselarasan hidup dengan alam sehingga mengkristalkan satu sikap utama yakni silih asih, silih asah dan silih asuh. Keutamaan sifat welas asih kepada seluruh mahluk, saling memperbaiki diri melalui dialektika pendidikan dan keilmuan, dan saling melindungi. Sebuah kepercayaan, persamaan, persaudaraan, penghargaan dan persatuan.

Mengoleksi batu mengandung pengalaman berkesenian Daniah secara emosional, praktis dan kognitif. Dia menuangkan kreatifitas, imajinasi dan ekspresi terhadap koleksinya tersebut. Selain itu mendiskusikan dan mempresentasikan karyanya dalam bentuk simbol dan metafora kepada kami adalah suatu aspek tersendiri yang tergali.

Diskusi kami, aku dan Daniah, serta presentasi dirinya mengenai koleksi bebatuan itu aku tanggapi sebagai refleksi pemikiran dan emosi Daniah berupa perasaan, harapan, pendapat, hasil pengamatan dan pengalaman dirinya.

Mencari, mengoleksi, menginterpretasi dan mengapresiasi bebatuan yang dilakukan Daniah merupakan kegiatan eksplorasi terhadap lingkungan dan alam. Pengalaman tersebut akan memberikannya pengalaman dan kesan, sehingga membentuk hubungan emosional antara Daniah dengan lingkungan dan alam tersebut. Mengoleksi batu, sebagai kegiatan yang mendekatkan diri (penghayatan) kepada alam, merupakan pemahaman yang akan berperan penting dalam perjalanan hidupnya. Pemahaman alam dengan mendefinisikannya secara verbal dan simbolik akan membentuk komitmen yang kuat pada diri Daniah dalam menjaga kelestarian lingkungan dan alam.

Aku membayangkan suatu saat ketika Daniah membaca ini semua, mungkin dia akan menganggap jika ini terlalu berlebihan dan mengada-ada. Tapi bukan itu intinya, pointnya adalah dia memiliki hak penuh atas hidupnya. Dia berhak menjalani hidupnya sesuai dengan apapun keinginannya. Dia berhak menjadi dirinya sendiri dan dia hanya perlu menjadi dirinya sendiri. Dia perlu tahu jika kami saja, aku dan ibunya, tidak pernah memberinya tali kekang maka tak ada seorangpun yang boleh merasa berhak atas hidupnya. Hanya dia yang boleh memimpin hidupnya sendiri.

Seperti yang sering dia tegaskan jika dia yang menjadi pemimpinnya. Jadi, aku membiarkan dia memimpin kemana arah kecerdasannya berkembang. Dan peranku sudah dia tetapkan, yakni sebagai asisten. Aku hanya membantu dan mengawasi kemauan imajinasinya. Tanpa menyela dan mengambil alih. Karena pada akhirnya, dia harus melanjutkan pekerjaan-pekerjaan kita yang jauh dari kata selesai. Pada saatnya dia akan berjalan didepan kita. Dan itu telah dimulai dari sekarang.


Aris Munandar. Penulis, Kontributor utama www.mataharipagi.tk, Pendiri Komunitas Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar Library, Penggagas TDW Program, CEO CV Matahari Pagi, editor di Penerbit Matahari Pagi.


Referensi :
1.      Kurikulum Daniah Farrah : Fase pembentukan (2-6 tahun) berbasis kecerdasan majemum.

Kamis, 02 November 2017

Rabu, 01 November 2017

AKU UNIK DENGAN KECERDASANKU

November 01, 2017


“Aku adalah bintang”, kalimat tersebut merupakan mantera ampuh pembawa energi, memampukan diri membuat persepsi positif, bahwa setiap individu dapat dan bisa melejitkan potensi. Namun pertanyaan muncul kemudian “apa potensi saya?”, “saya merasa tidak hebat dalam matematika, pun juga demikian dalam linguistik, merasa bicara saya tersendat-sendat di depan umum”.

            Marilah keluar dari paradigma lama, bahwa kecerdasan bukan hanya soal angka, teori kecerdasan majemuk telah lahir. Penelitian otak masa kini telah menawarkan pandangan lebih luas mengenai kecerdasan. Otak adalah mesin kecerdasan sebut Hawkins dan Blakesle. Jika kecerdasan seluas rahasia “alam semesta” otak, maka kecerdasan tidak hanya sebatas angka-angka hasil tes. Kecerdasan memungkinkan suatu kesinambungan yang dapat dikembangkan seumur hidup. Dewasa ini ada delapan kecerdasan yang baru diketahui; linguistik, logis-matematika, visual-spasial, musik, kinestetis, interpersonal, intrapersonal, naturalis. Jika arti kecerdasan demikian luas, maka setiap orang dapat mendulang potensi serta berkarya dibidangnya. Namun tentu saja untuk menyokong potensi di atas perlu diimbangi dengan kecerdasan emosionalnya, agar kokoh dan lentur dalam menghadapi tekanan.

            Seseorang dapat melejitkan potensinya tentu dengan perjuangan. Melewati rintang dan hadang, tekanan sangatlah berat, tak jarang menemukan persimpangan bahkan jalan buntu. Jika demikian bermodalkan potensi saja, apakah cukup? Kecerdasan emosi mempunyai peran penting dalam meniti langkah demi langkah. Agar ketika kita melaju kencangpun, emosi tidak menjadi kendali utama.

            Maka tujukan lampu sorot itu kepada diri sendiri, jadilah pembuat skenario dan peran utamanya, rancang dan bangun sesuai dengan VISI, mari bertanggung jawab atas desain serta wujud karya. Ambil kendali atas diri, sehingga tercipta aksi bukan reaksi.

            Faktor yang menjadi penentu dalam membuat rancangan adalah kesadaran. Jika kesadaran masih berada diambang batas nyata, atau dalam artian belum muncul menjadi landasan gerak, maka retas pemikiran dengan jalan “merujuk kepada hari akhir”, kembali menentukan tujuan serta peta untuk sampai ke sana. Jadikan impian sebagai proyek besar yang harus digapai dalam hidup. Mulai langkahkan kaki, berlari dan melompat, tuntaskan sasaran demi sasaran, jatuh bangun merupakan harga yang harus dibayar dalam setiap kemauan, karena surut sama dengan sia-sia.



Hazar Widiya Sarah. Pengasuh Rubrik Rambu Jalan, Penulis, Konselor, Guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA Swasta, Co-founder Komunitas Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar Library, Chief of Editor Penerbit Matahari Pagi, Mentor Kelas Literasi Matahari Pagi, Kontributor Tetap www.mataharipagi.tk, Komisaris CV Matahari Pagi.


Nukilan beberapa Cerpen Dewi Lestari

November 01, 2017



Haloo.. haloo..

Siang ini, ada yang mau dibagi nih..

Pengalaman ini didapat dari salah satu cerpennya Dewi Lestari (Dee). Karya Hibrida yang disuguhkan dalam buku Rectoverso ini di dalamnya ada 11 cerpen, salah satunya adalah ‘Peluk’. Nah.. cerpen ‘Peluk’ inilah yang akan kita kupas dari sudut pengalaman membaca.

‘Peluk’ adalah cerita sepasang suami istri yang pada akhirnya memutuskan untuk berpisah.

            “Namun, kurasa hatimu tahu, seperti hatiku pun tahu, jika malam ini kita memutuskan untuk terus bersama, itu karena kita tidak tahu bagaimana menangani kesendirian. Aku tidak ingin bersamamu cuma karena enggan sendiri. Kau tidak layak untuk itu. Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya akan sepi.” (kepingan cerpen Peluk)

Pernikahan adalah komitmen untuk saling menumbuhkan dan mewujudkan cita. Cinta dalam rumus adalah simbol ‘=’ (sama dengan). Cinta ada untuk mencari persamaan, sepertihalnya 1+1 = 2, dilihat dari bentuknya 1+1 dan 2 itu jelas berbeda, meskipun nilainya tetap dua. Begitupun dua orang yang terikat dalam pernikahan, tetap terdiri dari dua orang, tetap terdiri dari dua pemikiran.

            “Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?

            Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.

            Nafas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali. Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Jadi jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.

            Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat. Jangan saling membendung apabila tak ingin tersandung.

            Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, kerena aku ingin seiring dan bukan  digiring.”

                                                                                                                        (Spasi, Filosofi Kopi)

Sudah jelas bukan? Kita berkomitmen dengan seseorang bukan untuk menyerah, namun sebaliknya menyatukan kekuatan agar tercipta karya bersama. Kita tidak menikah untuk menggadaikan mimpi, maka himpunlah persamaan-persamaan itu.

Teman-teman, persamaan tidak serta-merta kita dapatkan dari banyaknya hal atau kebiasaan yang sama. Persamaan bisa didapat dari kejujuran akan pemikiran satu sama lain. Jadi ketika dua pemikiran yang berbeda tertuang dalam gelas kejururan akan menghasilkan jenis minuman baru, semisal wortel dengan mangga di mix menghasilkan juice yang segar. Begitulah pemikiran kita, jika dipadukan akan menghasilkan sebuah inovasi.

Dalam pernikahan, ketika kita berhasil mencari jalan tengah atas perbedaan-perbedaan pikir, gundah hati tidak lagi menjadi soal, fokus akan berpindah kepada pencapaian target hidup, menuntaskan sasaran demi sasaran untuk mencapai visi yang kita citakan.

            “tanyakan arti kebebasan pada kawanan kuda liar.

            Otot mereka kokoh akibat kecintaan mereka pada berlari, bukan karena mengatar seseorang kesana kemari. Kandang mereka adalah alam, bukan papan yang dipasangkan. Di punggungnya terdapat cinta, bukan  pelana yang disandangkan dengan paksa.

            Hidup mereka indah dalam keinginan bebas. Hari ini ke padang, esok lusa ke gunung, tak ada yang bingung. Kebimbangan tak pernah hadir karena mereka tahu apa yang dimau. Yakin apa yang diingini. Lari mereka ringan karena tak ada yang menunggangi.

            Kelelahan akan berganda apabila kita dihela. Waktu akan mengimpit apabila kita dikepit. Dan suara hati akan mati jika dikebiri.

            Larilah dalam kebebasan kawanan kuda liar. Hanya dengan begitu, kita mampu memperbudak waktu. Melambungkan mutu dalam hidup yang cuma satu.”

                                                                                                            (Kuda Liar, Filosofi Kopi)

Lalu mengapa dalam cerpen ‘Peluk’ perpisahan terjadi?

            “ Namun, kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir. Siapa yang mengatur itu? Aku pun tak tahu. Barangkali kita berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa.

            Aku ingin mengalir. Hatiku belum mau mati. Aliran ini harus kembali memecah dua agar kita sama-sama bergerak sebelum kita terlalu jengah dan akhirnya pisah dalam amarah

                                                                                                           (kepingan cerpen Peluk)

Ketika kita merasa dikepit dan terseret mimpi pasangan, kondisi seperti itu membuat kita lelah tanpa ada harapan tumbuh. Bahtera pernikahan dapat diselamatkan jika upaya dilakukan berdua. Berdua kita berkomitmen, berdua pula kita menyelamatkannya.

Nah... teman-temanku, dari pengalaman di atas, bisa diambil sebuah pelajaran, kejururan adalah pondasi untuk membangun pernikahan, dan kita bisa mejadikan win-win solution untuk menghimpun persamaan.



Hazar Widiya Sarah. Pengasuh Rubrik Rambu Jalan, Penulis, Konselor, Guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA Swasta, Co-founder Komunitas Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar Library, Chief of Editor Penerbit Matahari Pagi, Mentor Kelas Literasi Matahari Pagi, Kontributor Tetap www.mataharipagi.tk, Komisaris CV Matahari Pagi

Mewarnai sebagai Terapi

November 01, 2017


Awalnya  mewarnai bagi saya merupakan terapi, kegiatan terpola untuk menstabilkan emosi juga melatih pemikiran agar fokus terhadap penyelesaian masalah, lho kok bisa? Ya.. bagi orang yang cenderung obsesif, ketika memiliki sebuah keinginan itu cenderung silap pada proses, yang ada dalam benaknya adalah mewujudkan impian dalam sekejap mata, seolah memiliki mantra ajaib, jadilah hilap bahwa sejatinya setiap harapan harus diwujudkan setahap demi setahap, ibaratnya membangun rumah; pasang pondasi dulu supaya kuat, pasang bata, dan bla, bla ,bla lainnya sampai mewujud sebuah bangunan. Itulah yang dimaksud terapi melalui media mewarnai agar fokus menyelesaikan sasaran demi sasaran.

Disamping merupakan terapi, ternyata media mewarnai juga bisa dipakai untuk merangsang imajinasi juga menamkan values. Mewarnai ilustrasi puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Joko Damono sama halnya dengan menuangkan penghayatan dan pemaknaan kita dalam gradasi warna, imajinasi terasah pemaknaanya pun menjadi berlapis.

Lalu values apa yang bisa ditanamkan? Mewarnai juga merupakan sarana dalam melatih kesabaran, ketika sedang mewarnai pohon dalam ilustrasi di atas, tiba-tiba muncul keinginan untuk mewarnai awan, nah kalau diikuti maunya tersebut, apa yang tercermin? Sikap mancla-mencle alias tidak fokus, teruskan saja, niscahya mimpimu pergi menjauh.

Dalam mewarnai kita juga butuh perencanaan dan strategi, tahap pertama mau mewarnai awan dengan teknik arsiran Lalu warnanya dari tua ke muda, tahap kedua warnai pohonnya, tahap ketiga ….. terus dan terus. Kegiatan yang seolah tiada guna ini ternyata adalah media pelatihan yang sangat luar biasa, bukan sekedar me time saja namun ternyata memberikan spririt lebih untuk tumbuh dan bekembang menuju kematangan hidup.



Hazar Widiya Sarah. Pengasuh Rubrik Rambu Jalan, Penulis, Konselor, Guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA Swasta, Co-founder Komunitas Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar Library, Chief of Editor Penerbit Matahari Pagi, Mentor Kelas Literasi Matahari Pagi, Kontributor Tetap www.mataharipagi.tk, Komisaris CV Matahari Pagi

Mengetuk Pintu Perubahan

November 01, 2017


Pernahkah kalian merasa membenci diri sendiri?

Pernahkah kalian marah pada hidup ini?

Pernahkah kalian merasa semuanya seolah tidak adil?

Mayoritas manusia merasa tidak puas dengan apa yang telah dimiliki dan apa yang selama ini diperolehnya, membuatnya terus merasa bahwa hidup ini egois. Tidakkah kita berpikir bahwa di atas langit ada langit dan di bawah tanah ada tanah lagi. Di dunia ini akan selalu ada kata ‘lebih’. Itu semua menunjukan bahwa seharusnya kita bersyukur dengan apa yang selama ini kita miliki. Coba lihat seseorang yang terlahir dengan keadaan cacat namun masih bisa menyikapi hidup dengan senyuman, bahkan mereka bisa melahirkan karya-karya luar biasa dalam keterbatasan yang mereka miliki. Coba tanyakan kepada hati kita apa yang membuat mereka berhasil? Jawabannya begitu sederhana yaitu kekuatan ikhlas. Nah.. sekarang masih bisakah kita menyia-nyiakan kelebihan fisik, otak dan hati kita begitu saja?

Kita ikhlas dengan cara menerima kekurangan dan kelebihan, menerima hasil apapun dari perjuangan kita. Tapi bukan berarti menerima itu, kita jadi pasrah-pasrah saja ya.. menerima berarti kita berdamai dengan segala yang kita punya, termasuk kekurangan dan keterbatasan kita, lalu berangkatlah dari apa yang kita miliki, mencapai target-target yang telah kita tetapkan, bertahap kita bangkit menjadi manusia yang lebih baik.

Pisau tajam itu karena diasah, seperti saat pertama belajar berjalan, kita terjatuh dan terguling puluhan kali, bayangkan jika sekali jatuh saja dulu kita menyerah, kita tidak akan bisa berjalan sekarang. Sikap yang sama ketika kita jatuh bangun menghadapi ujian-ujian hidup yang datang silih berganti, kadang pula beruntun, semua itu adalah pelajaran berharga meski sering rasanya menyakitkan. Kita tidak akan menjadi hebat hanya dengan sekali ujian, kita perlu ujian-ujian itu untuk meningkatkan kedewasaan kita, yang paling penting ketika jatuh adalah kita bangkit bukan mencaci.

Bangkit sama dengan kita bertanggung jawab, mencaci sama dengan kita melarikan diri lalu membuat penyangkalan-penyangkalan. Perlu diketahui permasalahan ada untuk diselesaikan, seperti contoh masalah matematika di bawah ini;

N + 3 = 5, jadi  N = ....

N itu adalah permasalahannya, tugas kita adalah mencari jawaban dari permasalahan yang sedang kita hadapi, berarti N dalam contoh di atas adalah ? ya.. N = 2

Contoh masalah lain;
Setiap Andi melakukan pelanggaran, berarti Andi harus menerima konsekuensi dengan cara mengikuti latihan kedisiplinan pada hari Minggu, sehingga Andi tidak mendapat jatah libur akhir pekan, lalu kapan kah Andi akan mendapat libur akhir pekan?

Nah.. dari masalah di atas, menurutmu bagaimana cara menyelesaikannya?

Tidak mendapat konsekuensi = tidak melakukan pelanggaran

                        Libur                =          sesuai aturan

Jika logikanya seperti itu, maka jawabannya adalah Andi mendapat libur akhir pekan jika andi sesuai dengan aturan.

Kita hanya perlu menghadapi dan menyelesaikannya, lalu berusaha berbuat pas dengan aturan, itulah yang dimaksud dengan tanggung jawab.

Segalanya harus berimbang, ketika kita unggul secara pribadi, maka kita juga harus unggul secara organisasi, seorang diri kita bisa mendobrak pintu, bersama-sama kita bisa meruntuhkan benteng, setiap individu mempunyai keunggulan, maka himpun persamaan dengan cara menggabungkan keunikan masing-masing. Perbedaan tidak menjadikan kita runtuh namun sebaliknya dapat melahirkan sajian baru yang bernilai kreatif dan inovatif


Hazar Widiya Sarah. Pengasuh Rubrik Rambu Jalan, Penulis, Konselor, Guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA Swasta, Co-founder Komunitas Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar Library, Chief of Editor Penerbit Matahari Pagi, Mentor Kelas Literasi Matahari Pagi, Kontributor Tetap www.mataharipagi.tk, Komisaris CV Matahari Pagi.


"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"