Seringkali
persoalan terbesar kita menyangkut masalah psikologis. Penanganan permasalahan
psikologis akan menentukan kepribadian dan mentalitas seseorang. Apakah orang
tersebut nantinya memiliki mentalitas seorang pemenang atau bahkan seorang
pecundang?. Artikel ini mengupas hal tersebut dengan cara membedah beberapa
karya para penulis hebat. Telaah sedarhana namun padat dan berisi tersaji sebagai
BUNGA RAMPAI.
“MISERY” - STEPHEN KING : MENIKMATI SASTRA BERGENRE
THRILLER DARI PERSFEKTIF TEORI PSIKOLOGI PERKEMBANGAN.
Stephen King
dalam bukunya Misery menyajikan cerita yang bergenre thriller psikologi. Sebuah
pertarungan psikologis antara Paul Sheldon seorang novelis berhadapan dengan
Annie Wilkies yang menyebut dirinya sebagai penggemar Paul Sheldon nomor 1.
Disini,
Stephen King melalui Paul Sheldon, menggambarkan dengan brilian sebuah proses
penulisan, mulai dari penyusunan plot dan pendalaman karakter tokohnya. Paul
Sheldon menjadikan naskah novel Misery Return, novel yang dia dedikasikan untuk
Annie Wilkies, sebagai rencana untuk melarikan diri. Secara cermat dia mengatur
plot dan dengan sabar menunggu momentum yang menjadi klimaks dari upaya
pelarian dirinya. Hal tersebut bisa dia
lakukan karena dia pernah melakukan riset, untuk salah satu novelnya, mengenai
gangguan kejiwaan. Berbekal hal tersebut, Paul Sheldon dapat menguak
kepribadian dan kondisi kejiwaan Annie Wilkies sehingga akhirnya dapat terbebas
dari sekapan.
Annie Wilkies
merupakan seorang mantan perawat yang pada masa kecilnya mengalami konflik-konflik
yang memotivasi dirinya untuk melakukan manipulasi persepsi dalam mengatasi
kecemasannya dalam bersosial. Upaya psikologis yang dia lakukan mendorongnya
kedalam kelaianan perilaku, sehingga setelah sekian lama dalam fase
pengingkaran, akhirnya dia menyadari dan menerima kondisinya. Saat itulah, yang
merupakan klimaks dari novel ini, sebagai pertumbukan antara momentum yang
dirancang oleh Paul Sheldon dan momentum penerimaan kondisi dirinya oleh Annie
Wilkies menjadikan akhir novel ini tak terduga.
THE POWER OF
MIND : WILLA, CERPEN PERTAMA DALAM KUMPULAN CERPEN AFTER SUNSET KARYA STEPHEN
KING DALAM TINJAUAN PERSONAL HABIT-NYA STEPHEN R COVEY.
Just After
Sunset adalah waktu transisi antara kegelapan bukan saja menghilangkan
bayang-bayang, melainkan juga mengusir siang dengan terangnya. Hal ini yang
dipotret oleh Stephen King ketika hubungan antar manusia mengambil bentuk yang
tidak wajar, dikarenakan imajinasi mulai bergerak liar.
Willa, cerpen
pertama dari 14 kumpulan cerpen, bukan saja suatu pembuka yang memikat, lebih
dari itu merupakan suatu representasi yang sempurna untuk menggambarkan
imajinasi sebagai buah kekuatan pikiran (the power of mind).
Diceritakan Willa
adalah seorang gadis yang memiliki kecenderungan untuk menerobos batas-batas
ketabuan sehingga membawa dirinya dan kekasihnya, David, ke zona baru yang
bukan saja menantang, tetapi juga menyenangkan.
Willa, David
dan sekumpulan teman-temannya adalah hantu dari korban kecelakaan kereta api.
Mereka tinggal disebuah statsiun tua yang sudah tidak beroperasi lagi yang
terletak dipinggiran sebuah kota kecil di Wyoming.
Permasalahan
yang mereka hadapi adalah statsiun yang mereka tinggali akan segera dirobohkan.
Disini Stephen King menggambarkan 2 pendekatan yang berbeda dalam menghadapi
permasalahan tersebut melalui :
-
Kumpulan
teman-temannya memilih bertahan dan mencoba mengingkari kenyataan, termasuk
kenyataan jika mereka semua telah meninggal, demi mempertahankan zona nyaman
mereka.
-
Berbeda
dengan teman-temannya, disini Willa yang diikiuti oleh kekasihnya, David, tidak
pernah melakukan penyangkalan termasuk pada kenyataan bahwa dia berdua telah
meninggal dan malah sebaliknya selalu mencoba menelusuri hal-hal yang baru,
misalnya mereka mencoba memasuki wilayah kota beserta perubahan zamannya
semenjak mereka meninggal, mereka mencoba menikmati “hidup” mereka
sepertihalnya alasan kenapa mereka bepergian menggunakan kereta dari New York
ke daerah pinggiran di Wyoming sehingga menyebabkan meraka meninggal karena
kereta yang mereka tumpangi mengalami kecelakaan, yaitu hanya karena mereka
ingin merasakan sensasi bercinta diatas kereta yang sedang melaju kencang.
Buku Seven
Habits of Highly Effective People Stephen R Covey banyak dianggap sebagai
blueprint dari setiap orang yang ingin mengembangkan kepribadiannya. Dalam buku
tersebut mendorong untuk mengedepankan etika karakter sebagai anti tesis dari
etika kepribadian yang penuh ambiguitas dan kepalsuan.
Karakter itu
sendiri, dikatakannya, sebagai gabungan dari kebiasaan-kebiasaan (habits).
Sedangkan habits merupakan persinggungan antara pengetahuan (knowledge),
keahlian (skill), dan keinginan (desire).
Dari 7 habits
efektif yang dirumuskan oleh Covey, secara umum terbagi menjadi 3 klasifikasi,
yaitu :
Pertama,
kebiasaan sebagai ujud dari kemenangan pribadi, yang diperlukan untuk
pengembangan karakter pribadi, yaitu : be proactive, begin with the end of the
mind, dan put first think first.
Kedua,
kebiasaan sebagai ujud dari kemenangan publik, berupa kerja sama dan komunikasi
yang baik, yaitu : think win-win, seek first to understand and than to be
understood, dan synergize.
Ketiga,
sharpen the saw, adalah pembaharuan diri dalam bentuk spiritual, mental, fisik
dan sosial emosional, yang kesemuanya memerlukan perawatan dan pertumbuhan.
Titik temu
antara King dengan Covey disini pada :
·
Be
proactive.
Willa
sebagai sosok yang proaktif yang meletakan perilaku sebagai fungsi dari suatu
keputusan, bukan didasari oleh keadaan (situasi dan atau kondisi). Sebagai
seorang yang proaktif, Willa berdiri pada realitas dan mengetahui benar bahwa
dirinya memiliki kekuatan untuk memilih suatu persepsi yang positif terhadap
seluruh hal disekelilingnya.
Willa
selalu proaktif pada hal-hal yang menarik perhatiannya, dengan menjaga komitmen
dan janjinya kepada David, sehingga menunjukan cinta sebagai suatu
integritasnya. Dalam iringan Wasted Days and Wasted Nights versi Freddy Fender,
Willa menunjukan kemampuannya dalam menjaga komitmen sebagai perujudan terjelas
dari proaktifitas cinta abadi. Seperti yang dikatakan Willa kepada David,
“Persepsi dan pengharapan, bersama-sama mereka bisa memindahkan gunung”.
BALADA PARA
PECUNDANG
Sejarah adalah
milik para pemenang. Sejarah, pada setiap zamannya, adalah juga milik para
pecundang.
Dalam “Heiho”,
Idrus menceritakan semangat perubahan Kartono secara skeptis.
Dikantor. Kartono
seorang jurutulis yang rajin namun tidak kunjung mendapat apresiasi dari
atasannya. Untuk itu, dia mendaftarkan diri untuk menjadi seorang heiho. Dalam
benaknya, dia ingin membela tanah air dan hal ini dianggapnya akan membuat
isterinya, Miarti, bangga.
Di asrama
Heiho. Kartono menemui ketidaknyamanan berikutnya. Dia mendapatkan seragam yang
sangat tidak nyaman. Bukan saja pakaiannya yang tanpa celana dalam membuat
badan bagian bawahnya gatal-gatal, melainkan juga sepatunya yang kekecilan
mengakibatkan kakinya lecet. Namun, oleh karena dalam benaknya dia ingin
membela tanah air dan hal ini dianggapnya akan membuat isterinya, Miarti,
bangga maka dia tidak mempedulikannya.
Dijalan.
Kartono berpapasan dengan bapak dan anaknya. Dalam percakapan bapak dengan
anaknya tersebut diungkapkan mereka memandang Kartono hanya sebagai orang udik
yang mudah terpengaruh propaganda. Namun, oleh karena dalam benaknya dia ingin
membela tanah air dan hal ini dianggapnya akan membuat isterinya, Miarti,
bangga maka dia tidak mempedulikannya.
Dirumah.
Kartono mendapati isterinya malah seolah mendorong dirinya pergi menjadi
seorang heiho, tanpa rasa bangga, tanpa rasa cinta, hanya sedikit iba.
Dalam benaknya dia ingin membela tanah
air, meskipun anggapannya akan membuat isterinya, Miarti, bangga telah sirna.
Di Burma.
Delapan bulan setelahnya Kartono menjadi heiho, dia meninggal di Burma.
Sementara itu, Miarti, isterinya tengah hamil empat bulan dari suaminya yang
kedua. Harapan Kartono untuk dapat membela tanah air pupus karena heiho
hanyalah alat propaganda Jepang untuk mendapatkan dukungan dalam peperangan
menghadapi Sekutu.
Berapa puluh
zaman telah berlalu? Berapa juta Kartono yang tak tentu rimba? Dengan bahasanya
Gol A Gong berkata :
AKU DIKALAHKAN
KOTAKU
Kau menikamku
berkali-kali
Dari segala
penjuru mata angin
Mengusirku
tanpa surat pemecatan
Kukerek
bendera berdarah
Setengah hati
tiang berkarat
:
aku tak berbatu nisan.
(Gol A Gong,
Kota yang Ditinggalkan Penghuninya)
Jika semua
mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perubahan, apakah Kartono yang tak
berbatu nisan itu hidupnya telah sia-sia?.
----- < O > -----
Aris
Munandar. Penulis, founder dan kontributor utama Matahari
Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar