Selasa, 21 April 2020

PRAKTIK SOSIAL LITERASI, Sebuah Pratinjau

April 21, 2020
Semilir adalah sebuah ajang mengorganisasikan gagasan dan mendiskusikannya. Gagasan tersebut ditulis dalam bentuk esai. Sebelum diterbitkan, gagasan esai tersebut akan didiskusikan terlebih dahulu. Untuk itu, pratinjau ini dimaksudkan sebagai bahan pemantik terhadap diskusi tersebut. Pratinjau ini merupakan tinjauan terhadap gagasan esai yang terdiri dari 2 (dua) bagian. Bagian pertama, memotret gagasan-gagasan dan poin menarik yang ada dalam esai menjadi sebuah ikhtisar. Bagian kedua, catatan-catatan editor terhadap hal-hal yang terkait dengan bagian pertama.

Pemantik diskusi ini sengaja disajikan dalam bentuk pratinjau, karena untuk menjaga originalitas karya penulis. Diskusi kali ini akan menyajikan judul “Praktik Sosial Literasi” dengan narasumber Ira Yusup, selaku penulisnya. Sebenarnya esainya berjudul Menenun Renjana, Praktik Baik Literasi Masyarakat. Esai ini nanti akan bisa dibaca dalam buku SEMILIR: Literasi-Kita-Kini yang akan diterbitkan oleh Matahari Pagi.


Ikhtisar 

Ada hal menarik yang perlu digarisbawahi pada pembahasan kita  kali ini, yaitu: (a) literasi pada dasarnya merupakan praktik sosial; (b) jenis literasi sangat dipengaruhi aspek kehidupan, misalnya: topografi wilayah dan kondisi sosial masyarakat; (c) tujuan dari praktik literasi erat sekali dengan tujuan sosial; dan (d) kerja literasi dalam rangka pembelajaran dan pembentukan makna.

Dalam esai ini, Ira mengupas praktik baik literasi masyarakat di Muaragembong, Bekasi yang diibaratkan seperti Menenun Renjana.

Secara garis besar, Ira dalam esainya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, topografi wilayah dan kondisi sosial masyarakat yang dihadapi penulis.

Kedua, upaya penulis dalam menjalin kolaborasi, jejaring, dan menyalakan semangat kerelawanan.

Ketiga, fungsi TBM dalam transformasi sosial.

Keempat, dampak-dampak praktik baik literasi dan mimpi-mimpi yang terus berlanjut.



Pratinjau 

Kenapa potensi SDA yang dimiliki Muaragembong belum tereksplorasi?  

Apa akar permasalahan masih tingginya angka putus sekolah, pernikahan muda, kemiskinan, dan pengangguran?

Apakah telah ada usaha yang pernah/sedang dilakukan, sebelum yang dilakukan penulis, terhadap permasalahan tersebut? Seperti apa usaha tersebut, oleh siapa, dan bagaimana hasilnya?

Apa yang menjadi kendala terbesar yang dihadapi penulis, terutama pada awal menginisiasi? Apakah ada penolakan atau sikap apatis?

Hal mendasar apa yang menurut penulis telah berhasil diletakan sehingga dapat menjadi pijakan langkah-langkah selanjutnya?

Bagaimana pandangan penulis mengenai peranan TBM dan gerakan literasi berhadapan dengan realitas masyarakat marjinal?

Bagaimana peran literasi dalam mengedukasi masyarakat untuk: (1) sadar dan tergerak memperjuangkan nasibnya sendiri; dan (2) pengenalan terhadap identitas masyarakatnya berikut penguatan nilai-nilai?


Semilir: Literasi-Kita-Kini

Minggu, 19 April 2020

PERUNDUNGAN DI KELAS, Sebuah Pratinjau

April 19, 2020
Semilir adalah sebuah ajang mengorganisasikan gagasan dan mendiskusikannya. Gagasan tersebut ditulis dalam bentuk esai. Sebelum diterbitkan, gagasan esai tersebut akan didiskusikan terlebih dahulu. Untuk itu, pratinjau ini dimaksudkan sebagai bahan pemantik terhadap diskusi tersebut. Pratinjau ini merupakan tinjauan terhadap gagasan esai yang terdiri dari 2 (dua) bagian. Bagian pertama, memotret gagasan-gagasan dan poin menarik yang ada dalam esai menjadi sebuah ikhtisar. Bagian kedua, catatan-catatan editor terhadap hal-hal yang terkait dengan bagian pertama.

Pemantik diskusi ini sengaja disajikan dalam bentuk pratinjau, karena untuk menjaga originalitas karya penulis. Diskusi kali ini akan menyajikan judul “Perundungan di Kelas” dengan narasumber Utik Kaspani, selaku penulisnya. Sebenarnya esainya berjudul Ulala... Esai ini nanti akan bisa dibaca dalam buku SEMILIR: Literasi-Kita-Kini yang akan diterbitkan oleh Matahari Pagi.


Ikhtisar 

Secara garis besar, Utik dalam esainya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, ruang kelas selalu memberikan kejutan-kejutan baru.

Kedua, persoalan dan penyebab terjadinya perundungan di ruang kelas.

Ketiga, mencegah perundungan dianggap sebagai sebuah kelaziman.

Keempat, usaha mengkondisikan suasana belajar yang menyenangkan berhadapan dengan siswa yang lambat belajar.

Kelima, siswa lambat belajar sebagai pemicu terjadinya perundungan.

Keenam, antisipasi terjadinya  melalui classroom community building.

Ketujuh, pentingnya kerja ikhlas bagi seeorang guru.


Pratinjau 

Apakah ada spot rentan perundungan di sekolah, selain di ruang kelas?  

Apakah sudah ada upaya antisipasi perundungan berbasis kajian?

Sampai sejauh mana guru berkolaborasi dengan siswa dalam upaya pencegahan perundungan?

Apakah antisipasi perundungan sudah terintegrasi dan menjadi perhatian utama pihak sekolah?

Apakah sekolah sudah memiliki strategi yang fokus dan dievaluasi keefektifannya?

Sejauh mana pihak sekolah mengakomodir dan merespons suara dari siswanya?

Adakah pelatihan secara khusus untuk mencegah perundungan yang diinisiasi pihak sekolah?


Semilir: Literasi-Kita-Kini

  

Minggu, 12 April 2020

MEMBELA JALAN PIKIRAN: TENTANG NILAI DAN PENILAIAN

April 12, 2020
Dalam sebuah acara tinjauan karya yang bertajuk Pengadilan Sastra, saya diminta untuk membela sebuah naskah novel yang akan didakwa. Berikut adalah substansi pembelaan saya, bukan semata pada karyanya, melainkan pada jalan pikirannya. Namun ketika kita dihadapkan pada pengadilan sastra, maka otomatis kita berhadapan dengan nilai dan penilaian.


Penilaian

Penilaian kita terhadap sesuatu akan senantiasa berubah, tergantung pada kontektual dan relevansinya. Meskipun demikian, tidaklah bijaksana jika kita menilai sesuatu sesuka hati kita. Penilaian hendaknya disandarkan pada suatu parameter tertentu. Karya sastra memiliki aspek-aspek tertentu yang dapat dijadikan ukuran sebagai dasar dari penilaian, sebut saja kriteria estetik, epistemis, dan normatif.

Estetis, hal-hal yang dapat dicerna oleh panca indera atau sense of perception. Sebagai salah satu parameter, estetis digunakan untuk mengukur keartistikan suatu karya sastra. Menurut kriteria ini, semakin indah suatu karya maka menunjukan semakin berkualitas karya sastra tersebut. Thomas Aquinas memberi 3 (tiga) syarat keindahan, yaitu: keutuhan, keselarasan, dan kejelasan.

Epistemis adalah sifat pengetahuan yang terkandung dalam suatu karya sastra, yaitu kebenaran dan kebermanfaatan. Namun oleh karena ini merupakan karya sastra, maka ukuran kebenaran dan kebermanfaatannya pun bukan secara faktual dan konvensional, melainkan bersifat imajinatif. Kebenaran dalam suatu karya sastra berlandaskan logika penulisnya. Begitupun kebermanfaatannya, seperti misalnya bermanfaat karena dapat melatih kepekaan batin dan atau bermanfaat bagi perkembangan kejiwaan pembacanya.

Normatif merupakan ketentuan formal karya sastra. Roman Ingarden menetapkan 5 (lima) strata norma dalam karya sastra, yaitu: lapis bunyi, lapis arti, lapis objek, lapis dunia, dan lapis metafisis. 

Namun, apakah tidak menjadi kontra produktif jika seorang penulis pemula dibenturkan pada tembok paramter-parameter tersebut? 

Seperti yang diketahui bersama bahwa minat baca tulis kita masih rendah dan cenderung tidak beranjak. Rendahnya minat ini  diperparah oleh dorongan aktivitas baca tulis yang mekanis, pragmatis dan oportunis. Dorongan-dorongan tersebut semakin menjauhkan kita dengan baca tulis sebagai kesenangan, membuat minat perlahan menjadi padam.


Nilai

Nilai merupakan substansi. Nilai suatu tulisan terletak pada idealisme penulisnya. Tulisan merupakan jalan pikiran yang menyampaikan idealisme penulis kepada pembacanya. 
 
Apakah ukuran suatu tulisan (baca: buku) itu bagus? Apakah predikat best seller atau terbitan major label merupakan jaminan “kebagusan” itu?

Ada yang menarik diungkapkan oleh Charlotte Mason: “Children must have books, living books; the best are not too good for them; anything less than the best is not good enough.” 

Dalam living books ada ide-ide berharga yang menggerakan anak untuk mengingat, merenung, atau memvisualisasikannya (Kristi, 2016). Ya, sebuah buku yang bagus akan membuka ruang baru bagi para pembacanya. Mereka menyampaikan nilai, namun tidak menggurui. Mengajak kita menuju keagungan tapi tetap membumi. Magnanimity, high thinking low living.

Nilai tersebut hidup dalam cerita menjadi motif tokoh-tokohnya. Motif inilah yang menjadi penggerak sehingga tercipta cerita itu sendiri. Pergerakan inilah yang harus bisa difasilitasi oleh penulisnya melalui sebuah jalan pikiran. Entah itu berupa premis kosmis (saling berlawanan), premis cerita (saling mengalahkan), atau premis karakter (dari kondisional awal ke ideal).

Jalan pikiran yang dibangun oleh penulis sebisanya untuk menampunng 3 aspek utama, yakni: bagaimana penulis menyampaikan nilai-nilainya, bagaimana nilai-nilai tersebut ditinjau terhadap realitas masyarakat, dan bagaimana masyarakat meninjau ulang nilai-nilai mereka selama ini.

Untuk bisa demikian, tidak bisa tidak, dibutuhkan atmosfer yang mendukung kehidupan baca tulis. Artinya dibutuhkan perangkat yang dapat membangun atmosfer tersebut.


Semilir Mencipta Atmosfer

Semilir secara garis besar adalah kegiatan penulisan esai, mendiskusikannya, lalu kemudian dibukukan. Nantinya buku ini akan difungsikan sebagai etalase gagasan. Penulisan dan penerbitan buku tidak ditempatkan sebagai pencapaian, melainkan salah satu tahapan dari proses. Yang paling inti dari proses ini adalah terjadinya dialektika antara penulis dengan pembaca. Atmosfer yang ingin dibangun adalah terjalinnya keakraban secara intelektual antara penulis dan pembaca. Penulis semakin memahami respons pembaca terhadap tulisannya. Hal ini dapat membuat sang penulis lebih piawai dalam membangun jalan pikirannya, sehingga nilai-nilainya dapat tepat sasaraan sampai ke pembaca. Sebaliknya, para pembaca pun dapat menyelami kedalaman diksi sang penulis. Tak lupa, interaksi ini merupakan ajang saling mengapresiasi antara penulis dengan pembaca.  

Untuk apa atmosfer tersebut dibangun? Tentu saja untuk memaknai nilai-nilai. Memaknai melalui elaborasi logika, retorika, dan gramatika. Interaksi tersebut tidak lagi menjadikan nilai sebagai sesuatu yang dipelajari sebagai persiapan menjalani kehidupaan. Lebih jauh dari itu, nilai tersebut diimplementasikan sebagai proses pembelajaran bagaimana untuk hidup. Sehingga melalui Semilir, atmosfer yang dibangun berupa ruang bagi nilai agar bisa tetap hidup relevan dan konstekstual.


Aris Munandarfounder Matahari Pagi.
Gambar oleh Three-shots dari Pixabay.

GURU DAN PERANANNYA, Sebuah Pratinjau

April 12, 2020

Semilir adalah sebuah ajang mengorganisasikan gagasan dan mendiskusikannya. Gagasan tersebut ditulis dalam bentuk esai. Sebelum diterbitkan, gagasan esai tersebut akan didiskusikan terlebih dahulu. Untuk itu, pratinjau ini dimaksudkan sebagai bahan pemantik terhadap diskusi tersebut. Pratinjau ini merupakan tinjauan terhadap gagasan esai yang terdiri dari 2 (dua) bagian. Bagian pertama, memotret gagasan-gagasan dan poin menarik yang ada dalam esai menjadi sebuah ikhtisar. Bagian kedua, catatan-catatan editor terhadap hal-hal yang terkait dengan bagian pertama.

Pemantik diskusi ini sengaja disajikan dalam bentuk pratinjau, karena untuk menjaga originalitas karya penulis. Diskusi kali ini akan menyajikan judul “Guru dan Peranannya” dengan narasumber Tuan Guru Aries Supriady, selaku penulisnya. Sebenarnya esainya berjudul KEDISIPLINAN DAN KETELADANAN GURU DALAM MEMBENTUK KARAKTER BANGSA. Esai ini nanti akan bisa dibaca dalam buku SEMILIR: Literasi-Kita-Kini yang akan diterbitkan oleh Matahari Pagi.


Ikhtisar 

Secara garis besar, Tuan Guru dalam esainya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, pembangunan manusia sebagai tujuan pembangunan nasional.

Kedua, landasan hukum dari pembangunan manusia adalah UUD 1945 yang diterjemahkan melalui UU 20/2003 tentang Sisdiknas.

Ketiga, peningkatan kualitas manusia melalui olah hati, olah pikir, olah raga sehingga tercipta daya saing global.

Keempat, Tri Pusat Pendidikan sebagai ruang lingkup pendidikan, dimana proses pendidikan harus berlangsung secara berkelanjutan.

Kelima, fungsi guru sebagai pembimbing.

Keenam, 3 komponen penanggung jawab pendidikan: guru, orangtua, dan masyarakat.

Ketujuh, peran guru sebagai teladan. Untuk itu, guru harus mengemban tanggung jawab dan memberikan keteladanan.


Pratinjau 

Apakah pembangunan manusia sudah menjadi prioritas dalam pembangunan nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa?  

Kita telah memiliki UU Sisdiknas, tapi kenapa kebijakan setiap menteri pendidikan seolah tidak berkesinambungan, apakah demikian? Bagaimana seorang guru melihat pentingnya kesinambungan kebijakan, berikut dampaknya?

Apakah olah hati, olah pikir, dan olah raga ini dilakukan secara terpadu atau parsial di masing-masing pelajaran? Selain daya saing, bagaimana dengan pencapaian daya sanding?

Apakah proses pendidikan di keluarga, sekolah dan masyarakat sudah terjadi secara berkesinambungan? Jika iya, seperti apa contohnya? Jika tidak, apa kendalanya?

Bagaimana gambaran guru pembimbing itu?

Bagaimana peran seorang guru untuk bisa bersinergi dalam melaksanakan tanggung jawabnya bersama keluarga dan masyarakat?

Fungsi tanggung jawab dan keteladanan guru terhadap siswanya, apakah meliputi seluruh sendi kehidupannya ataukah memiliki batasan-batasan tertentu?


Semilir: Literasi-Kita-Kini

Minggu, 05 April 2020

URGENSI PERDA LITERASI, Sebuah Pratinjau

April 05, 2020

Semilir adalah sebuah ajang mengorganisasikan gagasan dan mendiskusikannya. Gagasan tersebut ditulis dalam bentuk esai. Sebelum diterbitkan, gagasan esai tersebut akan didiskusikan terlebih dahulu. Untuk itu, pratinjau ini dimaksudkan sebagai bahan pemantik terhadap diskusi tersebut. Pratinjau ini merupakan tinjauan terhadap gagasan esai yang terdiri dari 2 (dua) bagian. Bagian pertama, memotret gagasan-gagasan dan poin menarik yang ada dalam esai menjadi sebuah ikhtisar. Bagian kedua, catatan-catatan editor terhadap hal-hal yang terkait dengan bagian pertama.

Pemantik diskusi ini sengaja disajikan dalam bentuk pratinjau, karena untuk menjaga originalitas karya penulis. Diskusi kali ini akan menyajikan judul “Urgensi Perda Literasi” dengan narasumber Eko Prasetyo, selaku penulisnya. Esai ini nanti akan bisa dibaca dalam buku SEMILIR: Literasi-Kita-Kini yang akan diterbitkan oleh Matahari Pagi.


Ikhtisar 

Secara garis besar, Eko dalam esainya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, fenomena beralihnya zaman dari era tipografis ke era kelisanan kedua yang memanfaatkan kemajuan teknologi inforrmasi. Zaman peralihan tersebut dikaitkan manusia dalam mencari eksistensinya.

Kedua, opini bahwa pencarian eksistensi seharusnya melalui literasi. Hal ini dianggap sebagai pilihan beradab dalam membangun budaya.

Ketiga, geliat literasi masyarakat belakangan ini, serta tampilnya Kemdikbud dan Perpusnas sebagai motor gerakan literasi.

Keempat, sinergi sebagai kunci mewujudkan masyarakat literat.

Kelima, birokrasi dan anggaran sebagai kendala dan penghambat bagi pemerintah dalam mengelaborasi geliat literasi di masyarakat.

Keenam, otonomi daerah sebagai peluang Pemda untuk memajukan literasi. 

Ketujuh, diajukan contoh Provinsi Lampung melalui Perda dan Kabupaten Way Kanan melalui Perbup.


Pratinjau 

Apakah literasi masih relevan di era digital?  

Apakah eksistensi bisa didapatkan tanpa kehadiraan substansi?

Bagaimana kinerja Kemdikbud dan Perpusnas dalam  memajukan literasi? Apa pencapaiannya dan apa yang masih harus dimaksimalkan?

Apakah antara GLK, GLS, dan GLM sudah sinergis dalam gerakan literasi nasional?

Kenapa birokrasi dan anggaran pemerintah menjadi kendala dan hambatan bagi gerakan literasi?

Apakah Perda Provinsi Lampung dan Perbup Way Kanan mengenai literasi sudah mengakomodir tercapainya substansi dari literasi dan sudah meninggalkan literasi yang bersifat seremonial?


Semilir: Literasi-Kita-Kini

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"