Kamis, 18 Juni 2020

LITERASI KEPROK-KEPROK, Sebuah Pratinjau

Juni 18, 2020
Semilir adalah sebuah ajang mengorganisasikan gagasan dan mendiskusikannya. Gagasan tersebut ditulis dalam bentuk esai. Sebelum diterbitkan, gagasan esai tersebut akan didiskusikan terlebih dahulu. Untuk itu, pratinjau ini dimaksudkan sebagai bahan pemantik terhadap diskusi tersebut. Pratinjau ini merupakan tinjauan terhadap gagasan esai yang terdiri dari 2 (dua) bagian. Bagian pertama, memotret gagasan-gagasan dan poin menarik yang ada dalam esai menjadi sebuah ikhtisar. Bagian kedua, catatan-catatan editor terhadap hal-hal yang terkait dengan bagian pertama.

Pemantik diskusi ini sengaja disajikan dalam bentuk pratinjau, karena untuk menjaga originalitas karya penulis. Diskusi kali ini akan menyajikan judul “Literasi Kepork-Keprok” dengan narasumber Nirma Herlina Ghanie, selaku penulisnya. Esai ini nanti akan bisa dibaca dalam buku SEMILIR: Literasi-Kita-Kini yang akan diterbitkan oleh Matahari Pagi.


Ikhtisar 

Secara garis besar, Nirma dalam esainya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, sinergi antara GLK, GLS, dan GLM.

Kedua, 3 penaut literasi saat ini: “pamer diri”, ‘senyum sana-sini” dan konsistensi.

Ketiga, membuat gerakan menjadi bermakna.

Keempat, komunitas literasi: inklusif vs ekslusif.

Kelima, memaknai perbedaan dalam gerakan  literasi di masyarakat.

Keenam, perlunya mengapresiasi setiap potensi, kompetensi, dan kontribusi.

Ketujuh, urgensi keteladanan pada GLK dan GLS.


Pratinjau 

Akan seperti apa pola gerakan literasi, baik GLK, GLS, maupun GLM, pada Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB)?

Sejauh mana efektifitas ‘pamer  diri” dan “senyum sana-sini”” dalam  mempromosikan substansi literasi?

Apa faktor penentu konsistensi?

Seperti apa sebuah gerakan bisa dikategorikan  bermakna?

Apakah hadirnya komunitas yang ekslusif  dan inklusif berkaitan dengan pembentukan identitas?

Apakah perbedaan dalam gerakan literasi itu sebagai sumber kekuatan  atau malah  menjadi titik lemah?

Apresiasi seperti apa yang dapat menstimulasi gerakan literasi?

Bagaiamana cara menghadirkan keteladanan dalam berliterasi di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat? Apakah sekarang sudah terbentuk? Jika belum, butuh waktu berapa lama menghadirkannya?


Semilir: Literasi-Kita-Kini

  

Selasa, 09 Juni 2020

MEMBANGKITKAN GAIRAH MENULIS MELALUI KOMUNITAS MENGHADAPI ERA REVOLUSI 4.0, Sebuah Pratinjau

Juni 09, 2020
Semilir adalah sebuah ajang mengorganisasikan gagasan dan mendiskusikannya. Gagasan tersebut ditulis dalam bentuk esai. Sebelum diterbitkan, gagasan esai tersebut akan didiskusikan terlebih dahulu. Untuk itu, pratinjau ini dimaksudkan sebagai bahan pemantik terhadap diskusi tersebut. Pratinjau ini merupakan tinjauan terhadap gagasan esai yang terdiri dari 2 (dua) bagian. Bagian pertama, memotret gagasan-gagasan dan poin menarik yang ada dalam esai menjadi sebuah ikhtisar. Bagian kedua, catatan-catatan editor terhadap hal-hal yang terkait dengan bagian pertama.

Pemantik diskusi ini sengaja disajikan dalam bentuk pratinjau, karena untuk menjaga originalitas karya penulis. Diskusi kali ini akan menyajikan judul “Membangkitkan Gairah Menulis Melalui Komunitas Dalam Menghadapi Era Revolusi 4.0” dengan narasumber Prawiro Sudirjo, selaku penulisnya. Esai ini nanti akan bisa dibaca dalam buku SEMILIR: Literasi-Kita-Kini yang akan diterbitkan oleh Matahari Pagi.


Ikhtisar 

Secara garis besar, Prawiro dalam esainya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, Sawedi tambah sawedi jadi setengah wedi – kebersamaan akan mengurangi ketakutan.

Kedua, komunitas menulis dapat membantu mengurangi ketakutan menulis.

Ketiga, literasi rendah di era post truth.

Keempat, komunitas dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi hoax, ujaran kebencian, meme asal-asalan, dan postingan nyinyir.

Kelima, menulis dapat dijadikan ajang untuk mempromosikan pemikiran logis, argumentatif, dan pentingnya dialog sehat.

Keenam, peran komunitas sebagai agen perubahan.

Ketujuh, mengangkat tema kekinian dan konten yang kreatif.

Kedelapan, sinergi dan kolaborasi kunci kegairahan menulis.

Kesembilan, revolusi 4.0 mendisrupsi media cetak.

Kesepuluh, idealisme sebagai fondasi komunitas menulis.

Kesebelas, peran komunitas di era informasi.

Keduabelas, upaya-upaya menuju juara di bidang literasi.


Pratinjau 

Bagaimana merawat kebersaamaan supaya tidak bergeser menjadi kerumunan?

Kenapa banyak yang takut menulis, padahal keterampilan menulis jadi menu utama mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi?

Apa itu era post truth dan bagaimana dampaknya jika tingkat literasi kita tetap rendah?

Apakah hoax, ujaran kebencian, meme asal-asalan, dan postingan nyinyir terkait dengan karakter? Jika iya, bagaimana cara komunitas menulis membangun karakter?

Bagaimana komunitas menulis dapat mengarahkan agar penulis bisa lebih argumentatif dibanding “curhat”?

Komunitas dalam perannya sebagai agen perubahan pasti pertama kali akan berhadapaan dengan paaradigma pro status quo, bagaimana kiat menanggulanginya?

Apa parameter dari kategori tema kekinian dan konten yang kreatif? Apakah salah kita membuat tema dan konten yang memancing click bait dan viral?

Bagaimana mendesain kegairahan menulis supaya bisa menjadi atmosfer?

Apakah keterampilan menulis dapat terdisrupsi?

Apakah idealisme dan hal-hal yang abstrak masih relevan ditengah tren visual yang kongkrit?

Kini sering disebut dengan era informasi, kenapa hoax justru merajalela?

Sinergi dan kolaborasi adalah barang mewah di tengah masih kuatnya ego sektoral, seberapa optimis upaya-upaya menuju juara di bidang literasi dapat terealisasi dan membutuhkan waktu berapa lama?


Semilir: Literasi-Kita-Kini

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"