Rabu, 29 Agustus 2018

Senin, 20 Agustus 2018

ASIAN GAMES 2018 : MENUJU INDONESIA MAJU

Agustus 20, 2018



Asian Games sebagai Warisan.

Mungkin bukan mayoritas dan bukan pula gambaran umum bangsa Indonesia, namun mentalitas rendah diri (inferior) yang kerap kita dengar terjawab dengan lugas melalui upacara pembukaan (opening ceremony) Asian Games 2018 tadi malam, 18 Agustus 2018. Indonesia yang menjadi tuan rumah perhelatan pesta olahraga terbesar bangsa-bangsa di Asia. Konsep yang disajikannya pun cukup berbeda, kali ini Asian Games diselenggarakan di 2 kota berbeda, yaitu Jakarta dan Palembang.

Bagi Indonesia, penyelenggaraan Asian Games ke-18 kali ini sudah menjadi tantangan tersendiri. Bagaimna tidak, Vietnam yang telah ditunjuk sebelumnya mengundurkan diri dengan alasan krisis ekonomi yang melandanya. Selain itu, penyelenggaraan Asian Games ke-18 ini pun harus dimajukan satu tahun lebih cepat. Hal tersebut dikarenakan pada tahun 2019 akan diselenggarakan Pemilu serentak di indonesia.

Secara lebih spesifik, Erick Thohir selaku ketua panitia pelaksana INASGOC memaparkan sejumlah tantangan yang akan dihadapinya dalam pagelaran Asian Games ke-18 (republika.co.id, 19 September 2017). Terdapat setidaknya 4 tantangan terberat untuk menyukseskan perhelatan akbar se-Asia tersebut.

Tidak bisa disangkal bahwa penyelenggaraan Asian Games ini merupakan kegiatan kehumasan bagi bangsa Indonesia. Untuk itu, yang menjadi tumpuan dalam menampilkan wajah bangsa kita adalah upacara pembukaan. Kesuksesan upacara pembukaan akan berdampak langsung pada citra Indonesia itu sendiri. Dan seperti telah disampaikan diawal, bahwa upacara pembukaan Asian Games yang dibuka secara resmi oleh Presiden Joko Widodo telah diselenggarakan dengan sangar sukses.

Rangkaian berikutnya adalah penyiaran. Melalui penyiaran ini, penyelenggaraan Asian Games dapat disaksikan keberbagai negara. Bahkan tidak hanya negara-negara Asia, namun disiarkan juga di negara-negara Amerika Latin. Penyiaran tersebut bertalian erat juga dengan sistem teknologi informasi. Pada sistem teknologi informasi, tantangan nyatanya berupa real time dan on time.

Kehumasan, penyiaran, dan teknologi merupakan kemasan dari penyelenggaraan pertandingan itu sendiri. Maka pertandingan-pertandingan yang diselenggarakan pada Asian Games ini pastinya harus bisa diselenggarakan dengan baik pula.

Kita sebagai bangsa Indonesia patut berbangga dengan suksesnya upacara pembukaan Asian Games malam tadi. Erick Thohir menyebutnya sebagai warisan bagi generasi penerus. Sebuah pernyataan yang tidak berlebihan tentunya jika kita menyaksikan rangkaian kegiatan yang dipagelarkan. Bukan sekadar kemeriahan acaranya, kita dapat menggali filosofi simbolik darinya.

Pertama, misalnya, dalam era internet of things (IoT) dewasa ini hubungan yang mengedepankan kesamaan (egaliter) sebuah keniscayaan. Hal itu akan berimbas pula pada model kepemimpinan yang efektif, yakni model kepemimpinan yang tidak bejarak (merakyat). Kita melihat bagaimana Presiden Joko Widodo dengan santainya menikmati lagu resmi Asian Games berjudul “Meraih Bintang” yang dinyanyikan oleh Via Vallen. Pak Presiden bergoyang dayung dengan jenaka, hal itu tentu saja akan melekat dalam benak rakyatnya dan memberikan kedekatan secara personal.

Kedua, nasionalisme. Cinta tanah air dan kebanggaan menjadi rakyat Indonesia merupakan warisan berharga bagi generasi penerus. Hal ini kita saksikan ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dipimpin oleh penyanyi Tulus. Bagaimana gemuruh seluruh hadirin dalam menyanyikan lagu kebangsaan tersebut ketika mengiringi penaikan bendera Sang Merah Putih. Atmosfer dan keharuan dapat kita rasakan, bahkan bagi yang hanya dapat menyaksikannya melalui layar televisi.

Ketiga, suguhan kolosal yang menyajikan perpaduan keragaman budaya dan kemajuan teknologi menjadikannya begitu bermakna. Ketiga hal ini, secara simbolik, merupakan warisan yang berharga dan lebih dari cukup untuk kita bergerak menuju Indonesia maju.



Asian Games dan Kemajuan Indonesia.

Kita yang hidup di abad ke-21 ini sungguh sangat beruntung. Kita dapat menyaksikan akhir sebuah zaman, sekaligus mengalami dimulainya zaman baru. Menarik kita simak apa yang dipaparkan oleh Rhenald Kasali (2017).

Saat ini kita memasuki era kompetisi untuk berhadapan dengan lawan-lawan yang tidak terlihat. Hal ini merupakan akibat dari suatu seting baru yang menyebabkan pola konsumsi yang baru. Mau tidak mau mendorong kita untuk memiliki mindset yang baru pula. Tadi disebutkan bahwa saat ini kita tengah berada di internet gelombang ketiga, yaitu eranya internet of things (IoT). Yakni suatu era dimana internet hidup mandiri dan menjadi pelopor perubahan disegala aspek kehidupan. Perubahan tersebut bercirikan 3 S, yaitu : speed, surprises, dan sudden shift.

Internet membuat perubahan menjadi sangat cepat. Teknologi informasi yang semakin maju membuat kecepatan perubahan tidak lagi linerar, melainkan eksponensial. Tidak salah jika Erick Thohir memetakan sistem teknologi informasi menjadi tantangan untuk kesuksesan penyelenggaraan Asian Games. Hal tersebut untuk menjawab kebutuhan informasi yang harus real time dan on time.

Surprises atau kejutan merupakan ciri tersendiri dari dinamika abad 21. Bagaimana tidak, jika kecepatan sudah melaju secara eksponensial maka segala kemungkinan bisa saja terjadi. Salah satu contoh nyata dihadapan kita adalah Bapak Joko Widodo dengan transformasinya dari walikota, gubernur, hingga kini sebagai presiden. Sebagai presiden, Bapak Joko Widodo membuka penyelenggaraan Asian Games yang 56 lalu juga dilakukan oleh Presiden Sukarno ditempat yang sama.

Kenapa kita terkejut (surprises)? Ini disebabkan adanya perubahan secara tiba-tiba (sudden shift). Bukan rahasia lagi jika pasar mulai beralih dari yang konvensional ke online, muai dari toko online, mobile banking, crowdfunding, peer to peer lending melalui financial technology (fintech).

Bukankah sajian upacara pembukaan Asian Games ke-18 malam tadi juga mengandung unsur speed, surprises, dan sudden shift? Hasilnya berupa atraksi yang bukan saja kolosal, tetapi juga megah, spektakuler, dan sakral. Lihat saja bagaimana atraksi yang disimbolkan oleh Presiden Joko Widodo yang berkendara sepeda motor untuk menerobos kemacetan. Aksi yang bukan saja fenomenal, melainkan sebuah pesan yang jelas bagi kita semua bagaimana harus bersikap dan mengambil keputusan.

Ketangkasan merupakan keterampilan utama yang kita butuhkan. Dengan ketangkasan, kita bisa melihat situasi secara jernih, membuat keputusan rasional, dan memiliki kekuatan eksekusi yang memadai. Eksekusi tersebut dimulai dari tataran strategi hingga implementasi.



Jebakan Salah Nalar, Bisakah Menjadi Peluang Kemajuan?.

Teknologi informasi yang sudah demikian maju dewasa ini menyebabkan kita diserbu oleh arus informasi selama 24 jam tanpa henti. Parahnya, ada sebagian dari kita menganggap seluruh informasi yang disajikan melalui internet adalah benar. Atau paling tidak, tidak melakukan pemilhan dan verifikasi kesahihannya terhadap informasi yang diterima tersebut. Akibatnya, berita bohong (hoax) tersebut menjadi timbunan sampah yang berakumulasi dan menjadi bahaya tersendiri.

Selain dari oknum-oknum dengan tujuan dan motif tertentu, adakalanya sebagian dari kita yang tanpa disadari menjadi penyebar atau bahkan pembuat berita palsu tersebut. Penyebabnya adalah kekeliruan dalam proses berpikir karena keliru dalam menafsirkan dan atau menarik suatu kesimpulan. Kekeliruan tersebut bisa disebabkan oleh faktor emosional, kecerobohan, atau ketidaktahuan (Suparno dan Yunus, 2007).

Hal tersebut kita kenal sebagai salah nalar (logical fallacy). Salah nalar tersebut bisa dibedakan menjadi 4 jenis. Suparno dan Yunus (2007) menguraikan sebagai berikut :

Generalisasi yang terlalu luas dikarenakan kurangnya data yang dijadikan sebagai dasar, adanya sikap “menggampangkan”, malas mengumpulkan dan menguji data secara memadai, atau ingin segera meyakinkan orang lain dengan data yang terbatas. Dengan penyebab tersebut, terdapat 2 bentuk kesalahan yang biasa muncul, yaitu : generalisasi sepintas (hasty or sweeping generalization) dan generalisasi apriori. Generalisasi sepintas disebabkan kurangnya data pendukung. Sedangkan generalisasi apriori lebih disebabkan karena adanya prasangka sehingga tidak melakukan pengujian lebih lanjut terhadap gejala atau peristiwa yang terjadi.

Kedua, generalisasi analogi yaitu generalisasi yang disebabkan oleh penggunaan analogi yang tidak tepat. Misalnya memperbandingkan dua hal yang tidak memiliki kesamaan esensial (pokok).

Ketiga, kekeliruan kausalitas (sebab-akibat). Hal ini terjadi apabila kita keliru menentukan dengan tepat sebab dari suatu peristiwa atau hasil (akibat) dari suatu kejadian. Penyebab ini dalam bahasa latin disebut sebagai post hoc ergo propter hoc “sesudah itu, karena itu menyebabkan ini”.


Terakhir, kesalahan relevansi. Kesalahan relevansi disebabkan oleh bukti, peristiwa, atau alasan yang dijadikan rujukan tidak berhubungan atau tidak menunjang sebuah kesimpulan (Guinn dan Marder, 1987). Jenisnya terdiri dari : pengabaian persoalan (ignoring the question), penyembunyian persoalan (hiding the question), dan kurang memahami persoalan.

Salah nalar ini perlu kita telaah karena akan menjadi penghambat kemajuan, atau bahkan mematikan kemajuan itu sendiri. Namun, bagi orang-orang yang tangkas, ancaman tersebut justeru dijadikan peluang bagi keberhasilan mereka. Contohnya? Diawal tulisan ini disajikan gambaran, bagaimana upacara pembukaan Asian Games ke-18 Jakarta Palembang adalah jawaban lugas dan tuntas bagi mereka yang memiliki mentalitas rendah diri (inferior). Bukan tidak mungkin mentalitas tersebut dikarenakan terjebak dalam perangkap salah nalar.



Literasi adalah Kekuatan Menuju Kemajuan Indonesia.

Geliat literasi sudah kita rasakan oleh kita akhir-akhir ini. Pemerintah melalui Kemdikbud pun sudah mengulirkan Gerakan Literasi Nasional sejak tahun 2016. Bahkan, Bapak Presiden dengan terbuka menerima perwakilan para pegiat literasi Indonesia. Ditambah lagi, melalui PT Pos Indonesia, pemerintah menggratiskan pengiriman paket donasi buku pada tanggal 17 setiap bulannya.

Tak pelak hal tersebut membangkitkan literasi sebagai kegairahan di masyarakat Indonesia. Kegairahan tersebut memiliki ciri yang cukup beragam, unik, dan kreatif. Ada yang mengusung misi mementahkan hasil survei Unesco yang menyebutkan rendahnya minat baca kita. Ada pula yang mengusung pentingnya 6 Literasi Dasar untuk menunjang tercapainya kecakapan hidup abad 21.

Apapun bentuknya, literasi memungkinkan kita untuk memaknai kehidupan kita supaya tetap kontekstual dan relevan. Upacara pembukaan Asian Games membuktikan hal tersebut. Tantangan abad 21 dimaknai dengan kemajuan teknologi yang berakar kuat pada keragaman budaya. Sajian atraktif terebut merupakan mahakarya dari literasi era baru, yang bersendikan pada literasi informasi dan literasi teknologi. Tidak mengherankan jika literasi disebutkan sebagai kunci kemajuan suatu bangsa.

Kegairahan literasi yang ada di masyarakat kita hendaknya dipupuk dan diberdayakan supaya bisa lebih kolaboratif, sinergis, dan holistik. Diperlukan peta jalan dan strategi terintegrasi yang dapat mewadahi seluruh pihak yang terlibat. Jika sudah demikian, baru kita bisa memproklamasikan bahwa literasi sebagai energi menuju kemajuan Indonesia.


Aris Munandar. Pegiat di Matahari Pagi.

Jumat, 17 Agustus 2018

PERJALANAN RESIDENSI LITERASI FINANSIAL : LELAKI INI

Agustus 17, 2018



LELAKI INI

Lelaki ini yang kan kau dapati
Lelaki dengan komitmen yang tak mengenal kadaluarsa
Lelaki yang kan memberikan yang terbaik yang mampu dilakukan
Lelaki dengan keutuhan cinta yang paripurna

Lelaki inilah yang kan kau dapati

(fragmen ke-VIII Puisi : “Prasasti untuk Sebuah Perubahan” dari Buku : “Bintang Timur, Sehimpun Puisi”).

Puisi yang masih berupa imaji saat ditulis ini seakan menemukan pembuktiannya kembali pada waktu pelaksanaan Residensi Penggiat TBM bertema Literasi Finansial di Warung Baca Lebakwangi (WARABAL), Parung-Bogor. Kegiatan itu sendiri dihelat dari tanggal 3 – 6 Juli 2018 atas prakarsa Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat sub Pendidikan Keaksaraan dan Budaya Baca Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, bersama Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM).

Sosok “lelaki ini” tersebut langsung saya lekatkan pada Pakde (demikian saya menyebut suami dari Bude Kiswanti, founder WARABAL). Hal yang tentu saja tidak berlebihan jika kita menyaksikan peran strategisnya dalam menyukseskan acara tersebut. Beliau memang tidak menampakan diri dibawah “lampu sorot”, namun pengamatan saya, jelas sekali bagaimana beliau memastikan segala sesuatunya berjalan dengan baik.

Sejenak kita sedikit tinjau artikel yang berjudul “Wanita (Tak) Dijajah Pria Sejak Dulu?” yang dimuat di historia.id (http://historia.id/buku/wanita-tak-dijajah-pria-sejak-dulu/4#detail-article). Pertentangan kedudukan antara laki-laki dengan perempuan memang memiliki daya tarik tersendiri. Artikel yang ditulis oleh MF Mukhti tersebut juga sebuah tinjauan terhadap disertasi Titi Surti Nastiti di Universitas Indonesia, kini menjadi seorang peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Menarik disimak, ternyata ketidaksetaraan kedudukan perempuan dari laki-laki didapati setelah masuknya kebudayaan India. Namun demikian, dalam sejarah kedudukan tersebut tidak selamanya perempuan lebih rendah dibanding laki-laki, malah ditemukan kondisi sebaliknya. Dicontohkan bagaimana Sri Isanatunggawijaya adalah seorang ratu sebagaimana disebutkan dalam prasasti Silet (1019 M) dan prasasti Pucanan (1037 M dan 1041 M).

Demikian juga, kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan bukanlah perkara baru bagi kita. Bukti artefaktual maupun berita Tiongkok dan Portugis menunjukan hal tersebut. Kesetaraan tersebut dituangkan dalam bentuk pembagian kerja baik di wilayah domestik maupun publik. Kesetaraan menempatkan laki-laki dengan perempuan sebagai mitra sejajar.

Kembali ke cerita Pakde dan akan kita sambung dengan Mas Ariful (Sekjen PP FTBM) yang menggambarkan daur hidup sebuah entitas (dalam konteks ini WARABAL). Beliau membagi daur hidup tersebut menjadi terdiri dari tahapan : latar belakang, merintis, tumbuh, matang, menurun, kemudian diharapkan dapat terlahir kembali. Saya membayangkan sebuah kekuatan yang menjadi energi bagi WARABAL dari bagaimana dirintis, tumbuh, matang, hingga sekarang bersiap untuk terlahir kembali oleh generasi keduanya. Kekuatan tersebut adalah kebesaran hati dari Pakde dalam membungkus latar belakang atau sebut saja sebagai “dendam” masa lalu Bude Kis menjadi kekuatan yang positif. Apakah isi dari kebesaran hati tersebut? Tentu saja cinta yang tak berbatas, cinta yang telah melahirkan generasi kedua WARABAL.

Saya ingin mengatakan bahwa bagaimana cinta yang tidak buta bisa menempatkan laki-laki denga perempuan sebagai mitra sejajar, menjalin saling pengertian dalam membagi dan mendudukan tugas masing-masing. Lebih dari itu, disini keluarga sudah terbangun sebagai sebuah sistem yang merupakan kesatuan bagian-bagian fungsi untuk menyelesaikan seperangkat tujuan. Tingkat literasi pada sebuah keluarga juga memberikan ruang bagi keilmiahan berpikir dalam merumuskan perencanaan dan pengorganisasian. Seperangkat aspek yang membentuk sistem tersebut difungsikan untuk menginternalisasi tata nilai, yakni tanggung jawab.

Sudah selayaknya memang jika para orangtua menjadi teladan bagi anak-anaknya, sehingga mereka dapat melihat contoh dalam keseharian. Tanggung jawab merupaka bagian dari paket nilai inti bersama kejujuran dan disiplin. Membangkitkan etos berupa kerja keras, kemandirian, dan kesederhanaan. Sehingga yang terlihat dalam keseharian tadi adalah sikap yang adil, berani, dan peduli. Seperangkat tata nilai yang disebut sebagai integritas.

Pakde dan Bude telah menjelma menjadi contoh bagi keluarganya, hendaknya kita juga menjadi contoh bagi keluarga masing-masing. Sebagai penutup, literasi keluarga adalah inti yang bisa berdimensi ke sekolah dan masyarakat.


Aris Munandar – Pegiat di Matahari Pagi.

Selasa, 14 Agustus 2018

KELUARGA LITERAT, ANAK CERDAS

Agustus 14, 2018


Keluarga sebagai sebuah sistem yang merupakan kesatuan bagian-bagian fungsi untuk menyelesaikan seperangkat tujuan, merupakan komponen utama dalam setiap sendi kehidupan, tidak terkecuali Pendidikan. Anggapan bahwa pendidikan hanya merupakan tanggung jawab sekolah sebagai pelaksana dan pemerintah sebagai regulator, telah menjadi anggapan usang. Hal itu tidak lepas dari perubahan yang sedang kita hadapi sekarang, yakni revolusi industri 4.0.


Perubahan yang terjadi berbasiskan teknologi informasi, dimana sekarang kita berada pada era internet of things (IoT). Setiap kita diserbu oleh derasnya beragam informasi selama 24 jam non-stop. Tentu saja, hal tersebut memilik 2 dampak yang saling bertolak belakang, yakni dampak positif dan negatif. Terhadap keduanya, kita dituntut cerdas dalam menyikapinya. Tidak terkecuali bagi keluarga, sebagai satu kesatuan sistem.


Teknologi informasi sebagai sebuah konfigurasi modern saat ini, maka keluarga pun harus bertransformasi sehingga dapat relevan dan kontekstual keberadaannya. Ciri keluarga modern dapat dilihat dari beberapa parameter, yaitu : keilmiahan berpikir, pemanfaatan relasi birokrasi, sistem administrasi, efektifitas penggunaan teknologi, pengorganisasian, perencanaan. Dari parameter tersebut terlihat jelas pendidikan dilingkungan keluarga menjadi semakin vital keberadaannya.


Senapas dengan hal tersebut, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menginisiasi Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang sudah berjalan sejak tahun 2016. GLN berintikan 6 literasi dasar, yakni : literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, literasi budaya dan kewargaan. Hal tersebut didasari oleh kesadaran bahwa abad 21 sebagai abad literasi, senada dengan kesepakatan dalam World Economic Forum 2015.


Sebagai salah satu sasaran GLN, keluarga dianggap sebagai salah satu pilar utama untuk dapat menciptakan ekosistem pendidikan yang baik. Keluarga literat bukan hanya anggotanya (orangtua maupun anak) sebagai konsumen informasi dan pengetahuan, tetapi juga melakukan reproduksi informasi dan pengetahuan. Informasi dan pengetahuan yang disajikan oleh teknologi internat tidak serta merta kita telan mentah-mentah. Tetapi terlebih dahulu diendapkan, dipilah, dan diteliti kembali kesahihannya. Setelah dapat dipertanggungjawabkan sumbernya, kita jadikan yang demikian sebagai referensi dalam membangun gagasan atau ide kita.


Anak-anak kita adalah generasi digital (digital natives). Sofie Dewayani (2017) menggambarkan karakteristik mengenai mereka sebagai yang memiliki kemampuan untuk memahami perangkat digital dan menggunakannya dengan mudah. Seolah-olah, mereka terlahir dengan kemampuan untuk memahami “logika” di balik mekanisme bekerjanya sebuah perangkat digital. Keakraban generasi modern dengan perangkat teknologi memang masih bersifat pasif. Namun demikian, anak-anak kita harus dibekali kecakapan sebagai berikut (Dewayani, 2017):


Pertama, anak-anak kita harus menjadi pengguna yang bijak. Salah satu kemampuan  dasar penggunaan teknologi adalah memahami manfaat teknologi dan menggunakannya dengan bijak sesuai dengan jenjang usia. Misalnya, dalam mengakses internet, anak-anak kita perlu mengetahui konten yang aman dan baik untuk mereka.

Kedua, anak-anak kita harus menjadi pengguna kreatif. Salah satunya, anak-anak dapat menggunakan teknologi internet untuk mengeksplorasi kreativitas, berkarya, dan mengasah kepedulian mereka. Saat ini banyak anak muda menggalang dukungan pengguna sosial media dalam merespons isu-isu sosial dan politik.

Ketiga, anak-anak kita harus menjadi pengguna kritis. Anak-anak yang memiliki keterampilan untuk memahami serta mengidentifikasi kepentingan atau ideologi di balik penulisan atau penyebaran informasi di sosial media.

Keempat, anak-anak kita harus menjadi pengguna produktif. Perangkat teknologi dapat meningkatkan kemampuan artikulasi gagasan anak-anak kita. Teknologi memiliki fitur bahasa, visual, serta audiovisual yang meluaskan ragam penyajian informasi dan gagasan. Saat ini, pelajaran pemograman bahkan dapat dipelajari oleh anak-anak di jenjang pendidikan dasar. Keterampilan ini mendorong kemampuan inovasi anak-anak kita melalui teknologi. Aplikasi dan pemainan daring adalah sedikit dari inovasi yang dapat diciptakan anak-anak kita dan menjadikan mereka pengguna teknologi yang produktif.

Dalam keberhasilan anak-anak kita dalam menempuh pendidikan, salah satunya ditentukan seberapa banyak mereka memiliki pengetahuan latar (background knowledge). Kita sebagai orangtua, tentu saja memiliki peran yang sangat besar dalam memberikan ragam pengetahuan latar yang dapat menunjang keberhasilan pendidikan mereka. Dua jenis pengalaman yang berasal dari stimulus lingkungan (Garner, 1993), yaitu : crystallizing experiences dan paralyzing experiences. Crystallizing experiences adalah pengalaman seseorang dari informasi yang diterima sehingga memberikan kekuatan positif dirinya. Sedangkan paralyzing experiences merupakan pengalaman seseorang dari informasi yang mematikan semangat dan motivasinya dalam proses belajar.

Selain itu menurut Anisa Cahya Ningrum, psikolog dari Unversitas Respati Indonesia (Jakarta) dan juga alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada Jakarta serta Founder Cahya Communication (diakses dari : https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4693) bahwa terdapat 6 aspek dari anak, terutama yang telah memasuki masa remaja, yang harus mendapatkan perhatian orangtua.

Pertama adalah aspek fisik. Memasuki usia remaja, anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan perubahan tubuh, namun organ seksualnya belum berfungsi, faktor hormonal, mengubah tubuh, bertambah besar dan tinggi, emosional, sensitif, sosialnya berubah. Orang tua perlu memastikan bahwa dari sisi fisik, anak remajanya  tumbuh dengan baik.

Kedua, aspek kognitif. Pada perkembangan ini orang tua harus memahami kecerdasan pada menstimulasi sesuai tahapan. Anak harus mulai difasilitasi kebutuhan eksplorasi, mengajak diskusi, memberi kesempatan berpendapat, dan tidak memaksakan di luar kemampuan kognitifnya.

Ketiga, aspek emosi. Pada tahapan ini kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati, keterampilan sosial. Orangtua harus memberikan kesadaran tentang ekspresi emosi, memotivasi untuk berekspresi secara baik, memberikan contoh pengendalian diri, mengapresiasi perilaku empati, dan mempraktikkan berinteraksi sosial dengan baik.

Keempat, aspek sosial. Pada tahapan ini orang tua harus memposisikan selalu hadir ketika dibutuhkan, memberi apresiasi atas usaha yang dilakukan, mendukung untuk berkreasi dan produktif, mengenali kelebihan dan kekurangan diri, dan menjadi  contoh cara berinteraksi dengan orang lain.

Kelima, aspek moral. Remaja harus diberikan pemahaman bahwa aturan itu penting. Pentingnya konsisten menerapkan aturan, pengenalan magic word, dan tanamkan kepercayaan.

Keenam, aspek psikoseksual. Pada diri remaja, harus ada tanamkan budaya malu, menggunakan istilah netral, mengajarkan tentang privasi, mengenalkan kondisi darurat dan cara menghadapinya, dan yang terakhir adalah memberikan pendidikan seksual.

Keenam aspek ini harus dilakukan secara bertahap dan konsisten. Remaja harus dipahami secara benar sehingga karakternya menjadi pribadi baik. Perkembangan pola pikir dan perilaku mereka harus disiapkan dengan tepat. Untuk itu dibutuhkan tipe orangtua yang tepat untuk dapat mempersiapkan anak-anaknya.

Tipe orangtua seperti apakah yang dibutuhkan oleh anak-anak untuk mengoptimalkan tumbuh kembangnya?. Tiper orangtua tersebut mencerminkan pola asuh yang dilakukan terhadap anak-anaknya. Tidak jarang pola asuh tersebut menimbulkan kesalahan dalam pengasuhan atau miseducation. Setidaknya terdapat 8 pola pengasuhan (parenting style) yang dapat dikenali (Elkind, 1989). Pola asuh yang ideal adalah tipe milk and cookies parents. Selain itu ada tipe college degree parents (orangtua intelek) dan do-it yourself parents. Yang bisa menyebabkan miseducation adalah tipe gourmet parents (orangtua borju), gold medal parents (orangtua selebriti), outward bound parents (orangtua paranoid), prodigy parents (orangtua instan),encounter group parents (orangtua ngerumpi).

Mengenali harus seperti apa tipe kita sebagai orangtua dalam mendidik anak sangat berguna nantinya. Hal tersebut karena terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan anak kita nantinya. Pola asuh hendaknya menjadikan kita (orangtua dan anak sebagai satu kesatuan sistem dalam keluarga) menjadi semakin dekat secara emosi, dapat berkomunikasi dengan sehat, menemukan “makna” (konsep) diri, membina rasa tanggung jawab, dan lebih terikat sebagai sahabat.

Keluarga sebagai titik awal pendidikan, terutama bagi anak-anak kita, adalah tempat mempersiapkan supaya dapat berhasil menempuhnya. Meskipun sistem pendidikan kita lebih menekankan keberhasilan dari sisi akademik, sebagai orangtua, kita harus dapat mengakomodir seluruh potensi mereka.

Misalkan apabila anak kita mengalami kesulitan dalam belajar atau bersosialisasi di sekolah, maka pengetahuan kita mengenai gaya belajar dan karakter mereka akan dapat membantu memecahkan persoalan tersebut. Apakah dalam belajar anak kita bergaya visual learner, auditory learner, atau tactile learner. Begitupun dengan karakter yang mereka miliki, apakah mereka bertempramen dominan, intim, stabil, atau cermat.

Sudah jelas keberadaan keluarga modern (baca : literat) adalah kunci dalam melahirkan generasi cerdas.


#sahabatkeluarga


Aris Munandar. Matahari Pagi.

Jumat, 03 Agustus 2018

PERJALANAN RESIDENSI LITERASI FINANSIAL : JENJANG MEMBACA DAN REPRODUKSI PENGETAHUAN

Agustus 03, 2018


MENINJAU MEMBACA SEBAGAI KETERAMPILAN ABAD 21.

Kita sering mendengar jika abad 21 merupakan abad literasi. Pada perkembangan tersebut membaca (dan menulis) termasuk kedalam salah satu dari 6 literasi dasar. Posisi vital dari membaca menjadikan istilah tersebut sangat identik dengan literasi itu sendiri.

Membaca merupakan aktivitas untuk memahami isi teks tertulis, baik yang tersirat maupun yang tersurat, dan menggunakannya untuk mengembangkan pengetahuan dan potensi diri (Materi Pendukung Literasi Baca Tulis, Gerakan Literasi Nasional, Kemdikbud, 2017).

Pemahaman ini menjadi penting bagi kita sebagai pengelola taman bacaan dengan layanan pustaka sebagai layanan utamanya. Baik itu hanya berupa : layanan ruang baca, sirkulasi bahan pustaka, atau bahkan layanan kelompok pembaca.

Jika kita menyediakan layanan kelompok membaca, maka pengetahuan mengenai membaca akan sangat membantu tugas kita.

JENJANG MEMBACA.

Penjenjangan membaca diperlukan supaya pembaca dapat memilih bacaan yang tepat.

Pada umumnya kita sering melakukan penjenjangan berdasarkan usia/umur pembaca, padahal sebaiknya kita mengidentifikasi jenjang membaca seseorang berdasarkan kriteria “kedewasaan” seseorang dalam membaca.

Terdapat 7 jenjang membaca, yaitu : pra membaca, membaca dini, membaca awal, membaca lancar, membaca lanjut, membaca mahir, dan membaca kritis.

Catatan untuk pra membaca : aktivitas difokuskan pada membangkitkan minat baca, memberikan model membaca yang fasih, dan memperkenalkan tulisan yang baik sebelum dapat membaca mandiri.

Jenjang tersebut memiliki kriteria berdasarkan isi, bahasa dan grafika.

Dengan penjenjangan ini, kita dapat menyelaraskan bahan bacaan dengan kecakapan pembaca. Hal itu menjadi penting, karena nantinya membaca akan memberikan pengalaman yang menyenangkan.

MENGIDENTIFIKASI JENJANG MEMBACA DAN MEREPRODUKSI PENGETAHUAN.

2 cara pokok dalam mengidentifikasi jenjang membaca, yaitu : respons lisan dengan menceritakan kembali dan respons tertulis.

Respons tertulis, secara umum membahas : alur (awal-tengah-akhir) dan narasi cerita, menjelaskan latar, membuat karakter yang kuat, membuat akhir yang berkesan, bermain dengan sudut pandang.

Respons terhadap bacaan oleh pembaca merupakan langkah awal menuju ke menulis. Sehingga literasi baca-tulis merupakan satu kesatuan proses. Respons ini sebagai reproduksi pengetahuan secara sederhana, berdasarkan pengalaman membaca.


PEMBELAJAR SEPANJANG HAYAT, REPRODUKSI PENGETAHUAN DAN KECERDASAN MAJEMUK.

Kecerdasan majemuk, terdiri dari : linguistik, musikal, logis matematis, visual spasial, kinestetis, intrapersonal, interpersonal, dan naturalis. Teori yang dikemukakan oleh Howard Grdner (1995) ini adalah teori kecerdasan yang sangat dekat dengan isu literasi.

Secara awam, pastinya aktivitas membaca ini akan langsung kita hubungkan hanya dengan kecerdasan linguistik. Kemampuan menghubungkan pengetahuan baru dengan berbagai pengalaman sebelumnya.

Padahal membaca juga dapat mengaktifkan jenis kecerdasan lainnya. Salah satunya adalah kecerdasan visual spasial. Dengan membaca kita akan ditantang untuk dapat menghubungkan konsep, ide, dan pola-pola unik lainnya.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, jika membaca mendorong kita untuk memberikan respons berupa reproduksi pengetahuan. Dengan mereproduksi pengetahuan, kita sedang membentuk diri sebagai pembelajar sepanjang hayat.

BUKU JENDELA DUNIA.

Melalui penjenjangan membaca dan reproduksi pengetahuan, kita menjadikan buku sebagai jendela dunia. Ini senada dengan Konsep living books menurut Charlotte Mason (Dewayani, 2017), yaitu :

Buku yang menginspirasi dan mengajarkan tentang kehidupan melalui keindahan kata-kata, cerita dan gambar.

Buku yang dapat membawa anak masuk ke dalam cerita, mampu membawa anak berada pada waktu dan kejadian berbeda pada saat pelajaran sejarah, mampu membawa anak berada pada daerah dan iklim yang berbeda ketika belajar geografi.

Buku yang mampu membangkitkan aspek keindahan, kreativitas, imajinasi dan memperkaya pengetahuan anak.

Buku yang secara sadar dan dibaca pada waktu luang.

Buku yang membimbing kita untuk berpikir.

Buku menjadikan kita pembelajar sepanjang hayat.

MANFAAT MEMBACA KRITIS.

Pada akhirnya, pada jenjang membaca kritis dapat memberikan keterampilan yang kita butuhkan dalam menjalani era Industri 4.0 (Dewayani, 2017), yaitu :

Menjadi pengguna yang bijak (mengakses konten yang aman dan bermanfaat).

Menjadi pengguna kreatif (berbasis pada karya dan memiliki kepedulian sosial).

Menjadi pengguna kritis (selalu memastikan sumber yang kredibel).

Menjadi pengguna produktif (tidak hanya sebagai pengakses informasi tetapi juga penghasil informasi).



Aris Munandar - Pegiat di Matahari Pagi.

PERJALANAN RESIDENSI FINANSIAL : KETERGESAAN YANG MELANDAI

Agustus 03, 2018

Pagi itu, sekitar pukul 7:00 WIB, saya tiba di statsiun Paledang-Bogor dari statsiun Cibadak-Sukabumi. Berangkat menggunakan kereta api Pangrango yang berangkat pukul 5:53 WIB, selama perjalanan disuguhi kerja pagi mengurai kabut menjadi embun dan menghisapnya membentuk awan. Perjalanan untuk memenuhi undangan sebagai salah satu peserta kegiatan Residensi Penggiat TBM bertema Literasi Finansial di Warung Baca Lebakwangi (WARABAL), Parung-Bogor.

Saya sengaja menunda sejenak untuk bercerita mengenai Warabal dengan Bude Kis-nya yang ibarat mata air, tak henti menginspirasi. Pun, mengenai kegiatan yang diprakarsai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat sub Pendidikan Keaksaraan dan Budaya Baca Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, bersama Forum Taman Bacaan Masyarakat.

Tiba terlalu pagi, mengingat kegiatan baru akan dimulai pukul 16:00 WIB, saya putuskan untuk menikmati seberapa mistis nuansa didaerah sekitarannya. Berjalan lurus, seperti yang selalu dilakukan oleh orang-orang suci, dari arah statsiun Paledang menuju pasar Anyar. Menyebrangi jalan dengan lalu lintas yang masih belum terlalu ramai. Dikejauhan terlihat statsiun Bogor bagaikan lubang hitam (black hole) yang menyedot setiap orang yang memasukinya kedalam ketergesaan.

Statsiun Bogor merupakan salah satu awal jalur Kereta Rel Listrik (KRL/commuter line) menuju ibu kota, Jakarta. Ketergesaan yang nampak disana adalah atmosfer yang terbawa dari kota metropolitan tersebut, yang disebut-sebut kota yang tidak pernah tertidur. Tentunya diantara kita ada yang pernah memuja bagaimana ketergesaan Jepang dengan industrialisasinya. Termasuk manusia diperlakukan seperti mesin, serba mekanis dan otomatis, yang dikontrol oleh instrumen bernama target (objectives).

Masa dimana kita dituntut untuk melakukan hal sama yang lebih baik (kaizen) semakin terlihat jauh dibelakang. Bahkan tuntutan untuk melakukan ha-hail baru (inovasi) pun seolah tidak lagi relevan. Orientasi pada kuantitas dan penguasaan yang mewajibkan kita untuk berlari mengejar, telah menjadi lembar kemarin.

Revolusi industri yang diinspirasi oleh Wealth Nations-nya Adam Smith dan di-gong-kan oleh mesin uap James Watt dalam perjalanannya telah menjadi seperti kue lapis.

Mesin uap seolah menjadi pendorong utama sehingga memicu mekanisasi produksi pada revolusi industri lapisan pertama. Lapisan berikutnya, energi listrik dan kebutuhan buruh untuk mendorong lini produksi yang berbasis assembling. Pada era ini, Marx mengimajinasikan jika buruh sebagai salah satu faktor produksi akan tampil sebagai aktor utama dalam proses kesejahteraan dunia. Lapisan ketiga dihadirkan oleh perangkat elektronik dan teknologi informasi. Pada era ini, Jepang tampil menyihir dunia dengan akrobatnya yang meminggirkan strategi (management strategic).

Industrialisasi yang telah berlapis-lapis itu tidak memberikan pilihan pada kita untuk berevolusi, untuk bergerak serba cepat, tergesa-gesa.

Hingga pada suatu ketika kita dikejutkan oleh sudut pandang lain. Dengan memasukan variabel baru, kita disuguhkan lansekap yang benar-benar baru. Kita seoelah terdampar di negeri antah berantah.

Pada awalnya di bidang pendidikan. Dunia diguncangkan dengan munculnya Finlandia sebagai negara terunggul berdasarkan hasil studi internasional mengenai kemampuan anak-anak berusia 15 tahun yang berhubungan dengan keterampilan membaca, matematika, dan sains, atau yang kita kenal sebagai PISA (Programe for International Student Assesment/Program Penilaian Siswa Internasional). Studi yang dipublikasikan oleh OEDC (Organization for Economic Development and Cooperation/Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi) pada tahun 2001.

Pasi Sahlberg dalam pengantarnya di buku Teach Like Finland karya Timothy D Walker (2017) membongkar kiat dibalik keberhasilan tersebut. Prestasi tersebut bukanlah sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit atau hasil dari kerja mantra sim salabim. Pencapaian itu adalah buah dari reformasi yang dilakukan terhadap sistem pendidikan mereka. Menurut Sahlberg menyebutkan 5 kunci keberhasilan reformasi tersebut.

Pertama, sekolah komprehensif tempat anak-anak mulai belajar belajar ketika beranjak 7 tahun menyediakan pendidikan dan perkembangan yang seimbang, menyeluruh, dan berorientasi pada anak, serta meletakan suatu fondasi pembelajaran yang baik.

Kedua, penyelenggaraan pelatihan guru-guru yang lebih baik dan mampu menunjang keberhasilan dalam mengajar di kelas heterogen.

Ketiga, pengembangan mekanisme yang permanen demi mengamankan serta meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan di semua sekolah.

Keempat, penguatan kepemimpinan di level tengah, yakni kepala sekolah yang juga memiliki kemampuan mengajar yang baik. Hal tersebut menciptakan hierarki yang relatif horizontal. Para pemimpin adalah para guru dan para guru adalah para pemimpin (pedagogis).

Kelima, relasi yang kuat antara sekolah, orangtua, dan masyarakat. Pengalaman sosial yang mereka lakukan pada waktu luangnya diluar sekolah akan memberikan pengetahuan latar (background knowledge) bagi mereka.  Faktor tersebut menjadi kunci dalam mendukung mereka, baik secara akademik maupun kesuksesannya kelak.

Setelah berlalu dari pemandangan ketergesaan lubang hitam statsiun Bogor, saya menyadari jika yang digaung-gaungkan saat ini sebagai revolusi industri lapis keempat adalah wajah baru. Industri yang memproduksi pengetahuan berbasis internet of things. Yang berevolusi, yang bergerak dalam ketergesaan, adalah informasi. Informasi inilah yang menginvasi kita hingga jauh ke ruang privat kita, tepat langsung membidik benak. Secara psikologis, dalam posisi yang demikian, kebanyakan kita tidak siap sehingga menjadi gagap, latah, dan membabi buta.

6 literasi dasar, terdiri dari : literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan, yang menjadi menu utama Gerakan Literasi Nasional, hanyalah sebuah awal. Kita membutuhkan keterampilan multi literasi, atau disebut sebagai literasi baru, yang saat ini sudah memasuki fase keduanya. Literasi adalah senjata kita supaya tidak tergilas oleh revolusi industri lapis keempat ini.

Seolah terenggut kembali, setelah mengembara ke puncak-puncak cakrawala terjauh. Justru karenanya saya menemukan aura mistis pagi pada keceriaan para pedagang kaki lima ketika menggelar dagangannya, pada kepul asap kopinya, dan pada semangkuk bubur yang menjadi sarapanku kali ini. Pagi di Bogor yang landai lebih menjanjikan kegairahan dibanding ketergesaan. Karena untuk menyikapi deras informasi, kita harus mampu memaknai.



Aris Munandar - Pegiat di Matahari Pagi.
"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"