Asian Games
sebagai Warisan.
Mungkin bukan
mayoritas dan bukan pula gambaran umum bangsa Indonesia, namun mentalitas
rendah diri (inferior) yang kerap kita dengar terjawab dengan lugas melalui
upacara pembukaan (opening ceremony)
Asian Games 2018 tadi malam, 18 Agustus 2018. Indonesia yang menjadi tuan rumah
perhelatan pesta olahraga terbesar bangsa-bangsa di Asia. Konsep yang
disajikannya pun cukup berbeda, kali ini Asian Games diselenggarakan di 2 kota
berbeda, yaitu Jakarta dan Palembang.
Bagi Indonesia,
penyelenggaraan Asian Games ke-18 kali ini sudah menjadi tantangan tersendiri. Bagaimna
tidak, Vietnam yang telah ditunjuk sebelumnya mengundurkan diri dengan alasan
krisis ekonomi yang melandanya. Selain itu, penyelenggaraan Asian Games ke-18
ini pun harus dimajukan satu tahun lebih cepat. Hal tersebut dikarenakan pada
tahun 2019 akan diselenggarakan Pemilu serentak di indonesia.
Secara lebih
spesifik, Erick Thohir selaku ketua panitia pelaksana INASGOC memaparkan
sejumlah tantangan yang akan dihadapinya dalam pagelaran Asian Games ke-18
(republika.co.id, 19 September 2017). Terdapat setidaknya 4 tantangan terberat untuk
menyukseskan perhelatan akbar se-Asia tersebut.
Tidak bisa disangkal
bahwa penyelenggaraan Asian Games ini merupakan kegiatan kehumasan bagi bangsa
Indonesia. Untuk itu, yang menjadi tumpuan dalam menampilkan wajah bangsa kita adalah
upacara pembukaan. Kesuksesan upacara pembukaan akan berdampak langsung pada
citra Indonesia itu sendiri. Dan seperti telah disampaikan diawal, bahwa upacara
pembukaan Asian Games yang dibuka secara resmi oleh Presiden Joko Widodo telah
diselenggarakan dengan sangar sukses.
Rangkaian berikutnya
adalah penyiaran. Melalui penyiaran ini, penyelenggaraan Asian Games dapat
disaksikan keberbagai negara. Bahkan tidak hanya negara-negara Asia, namun
disiarkan juga di negara-negara Amerika Latin. Penyiaran tersebut bertalian
erat juga dengan sistem teknologi informasi. Pada sistem teknologi informasi,
tantangan nyatanya berupa real time
dan on time.
Kehumasan, penyiaran,
dan teknologi merupakan kemasan dari penyelenggaraan pertandingan itu sendiri. Maka
pertandingan-pertandingan yang diselenggarakan pada Asian Games ini pastinya
harus bisa diselenggarakan dengan baik pula.
Kita sebagai bangsa
Indonesia patut berbangga dengan suksesnya upacara pembukaan Asian Games malam
tadi. Erick Thohir menyebutnya sebagai warisan bagi generasi penerus. Sebuah pernyataan
yang tidak berlebihan tentunya jika kita menyaksikan rangkaian kegiatan yang
dipagelarkan. Bukan sekadar kemeriahan acaranya, kita dapat menggali filosofi
simbolik darinya.
Pertama, misalnya,
dalam era internet of things (IoT) dewasa
ini hubungan yang mengedepankan kesamaan (egaliter) sebuah keniscayaan. Hal itu
akan berimbas pula pada model kepemimpinan yang efektif, yakni model
kepemimpinan yang tidak bejarak (merakyat). Kita melihat bagaimana Presiden
Joko Widodo dengan santainya menikmati lagu resmi Asian Games berjudul “Meraih
Bintang” yang dinyanyikan oleh Via Vallen. Pak Presiden bergoyang dayung dengan
jenaka, hal itu tentu saja akan melekat dalam benak rakyatnya dan memberikan
kedekatan secara personal.
Kedua, nasionalisme. Cinta
tanah air dan kebanggaan menjadi rakyat Indonesia merupakan warisan berharga
bagi generasi penerus. Hal ini kita saksikan ketika menyanyikan lagu Indonesia
Raya yang dipimpin oleh penyanyi Tulus. Bagaimana gemuruh seluruh hadirin dalam
menyanyikan lagu kebangsaan tersebut ketika mengiringi penaikan bendera Sang
Merah Putih. Atmosfer dan keharuan dapat kita rasakan, bahkan bagi yang hanya
dapat menyaksikannya melalui layar televisi.
Ketiga, suguhan
kolosal yang menyajikan perpaduan keragaman budaya dan kemajuan teknologi
menjadikannya begitu bermakna. Ketiga hal ini, secara simbolik, merupakan
warisan yang berharga dan lebih dari cukup untuk kita bergerak menuju Indonesia
maju.
Asian Games
dan Kemajuan Indonesia.
Kita yang hidup di
abad ke-21 ini sungguh sangat beruntung. Kita dapat menyaksikan akhir sebuah
zaman, sekaligus mengalami dimulainya zaman baru. Menarik kita simak apa yang
dipaparkan oleh Rhenald Kasali (2017).
Saat ini kita memasuki
era kompetisi untuk berhadapan dengan lawan-lawan yang tidak terlihat. Hal ini
merupakan akibat dari suatu seting baru yang menyebabkan pola konsumsi yang
baru. Mau tidak mau mendorong kita untuk memiliki mindset yang baru pula. Tadi disebutkan
bahwa saat ini kita tengah berada di internet gelombang ketiga, yaitu eranya internet of things (IoT). Yakni suatu
era dimana internet hidup mandiri dan menjadi pelopor perubahan disegala aspek
kehidupan. Perubahan tersebut bercirikan 3 S, yaitu : speed, surprises, dan sudden shift.
Internet membuat
perubahan menjadi sangat cepat. Teknologi informasi yang semakin maju membuat
kecepatan perubahan tidak lagi linerar, melainkan eksponensial. Tidak salah
jika Erick Thohir memetakan sistem teknologi informasi menjadi tantangan untuk
kesuksesan penyelenggaraan Asian Games. Hal tersebut untuk menjawab kebutuhan
informasi yang harus real time dan on time.
Surprises atau kejutan
merupakan ciri tersendiri dari dinamika abad 21. Bagaimana tidak, jika
kecepatan sudah melaju secara eksponensial maka segala kemungkinan bisa saja
terjadi. Salah satu contoh nyata dihadapan kita adalah Bapak Joko Widodo dengan
transformasinya dari walikota, gubernur, hingga kini sebagai presiden. Sebagai presiden,
Bapak Joko Widodo membuka penyelenggaraan Asian Games yang 56 lalu juga
dilakukan oleh Presiden Sukarno ditempat yang sama.
Kenapa kita terkejut
(surprises)? Ini disebabkan adanya
perubahan secara tiba-tiba (sudden shift).
Bukan rahasia lagi jika pasar mulai beralih dari yang konvensional ke online,
muai dari toko online, mobile banking,
crowdfunding, peer to peer lending melalui financial
technology (fintech).
Bukankah sajian
upacara pembukaan Asian Games ke-18 malam tadi juga mengandung unsur speed, surprises, dan sudden shift?
Hasilnya berupa atraksi yang bukan saja kolosal, tetapi juga megah,
spektakuler, dan sakral. Lihat saja bagaimana atraksi yang disimbolkan oleh
Presiden Joko Widodo yang berkendara sepeda motor untuk menerobos kemacetan. Aksi
yang bukan saja fenomenal, melainkan sebuah pesan yang jelas bagi kita semua
bagaimana harus bersikap dan mengambil keputusan.
Ketangkasan merupakan
keterampilan utama yang kita butuhkan. Dengan ketangkasan, kita bisa melihat
situasi secara jernih, membuat keputusan rasional, dan memiliki kekuatan
eksekusi yang memadai. Eksekusi tersebut dimulai dari tataran strategi hingga
implementasi.
Jebakan
Salah Nalar, Bisakah Menjadi Peluang Kemajuan?.
Teknologi informasi
yang sudah demikian maju dewasa ini menyebabkan kita diserbu oleh arus
informasi selama 24 jam tanpa henti. Parahnya, ada sebagian dari kita
menganggap seluruh informasi yang disajikan melalui internet adalah benar. Atau
paling tidak, tidak melakukan pemilhan dan verifikasi kesahihannya terhadap
informasi yang diterima tersebut. Akibatnya, berita bohong (hoax) tersebut menjadi timbunan sampah
yang berakumulasi dan menjadi bahaya tersendiri.
Selain dari
oknum-oknum dengan tujuan dan motif tertentu, adakalanya sebagian dari kita yang
tanpa disadari menjadi penyebar atau bahkan pembuat berita palsu tersebut. Penyebabnya
adalah kekeliruan dalam proses berpikir karena keliru dalam menafsirkan dan
atau menarik suatu kesimpulan. Kekeliruan tersebut bisa disebabkan oleh faktor
emosional, kecerobohan, atau ketidaktahuan (Suparno dan Yunus, 2007).
Hal tersebut kita
kenal sebagai salah nalar (logical
fallacy). Salah nalar tersebut bisa dibedakan menjadi 4 jenis. Suparno dan
Yunus (2007) menguraikan sebagai berikut :
Generalisasi yang
terlalu luas dikarenakan kurangnya data yang dijadikan sebagai dasar, adanya
sikap “menggampangkan”, malas mengumpulkan dan menguji data secara memadai,
atau ingin segera meyakinkan orang lain dengan data yang terbatas. Dengan penyebab
tersebut, terdapat 2 bentuk kesalahan yang biasa muncul, yaitu : generalisasi
sepintas (hasty or sweeping generalization)
dan generalisasi apriori. Generalisasi sepintas disebabkan kurangnya data
pendukung. Sedangkan generalisasi apriori lebih disebabkan karena adanya
prasangka sehingga tidak melakukan pengujian lebih lanjut terhadap gejala atau
peristiwa yang terjadi.
Kedua, generalisasi
analogi yaitu generalisasi yang disebabkan oleh penggunaan analogi yang tidak
tepat. Misalnya memperbandingkan dua hal yang tidak memiliki kesamaan esensial
(pokok).
Ketiga, kekeliruan
kausalitas (sebab-akibat). Hal ini terjadi apabila kita keliru menentukan
dengan tepat sebab dari suatu peristiwa atau hasil (akibat) dari suatu
kejadian. Penyebab ini dalam bahasa latin disebut sebagai post hoc ergo propter hoc “sesudah itu, karena itu menyebabkan ini”.
Terakhir, kesalahan
relevansi. Kesalahan relevansi disebabkan oleh bukti, peristiwa, atau alasan
yang dijadikan rujukan tidak berhubungan atau tidak menunjang sebuah kesimpulan
(Guinn dan Marder, 1987). Jenisnya terdiri dari : pengabaian persoalan (ignoring the question), penyembunyian
persoalan (hiding the question), dan kurang
memahami persoalan.
Salah nalar ini perlu
kita telaah karena akan menjadi penghambat kemajuan, atau bahkan mematikan
kemajuan itu sendiri. Namun, bagi orang-orang yang tangkas, ancaman tersebut
justeru dijadikan peluang bagi keberhasilan mereka. Contohnya? Diawal tulisan
ini disajikan gambaran, bagaimana upacara pembukaan Asian Games ke-18 Jakarta
Palembang adalah jawaban lugas dan tuntas bagi mereka yang memiliki mentalitas
rendah diri (inferior). Bukan tidak mungkin mentalitas tersebut dikarenakan
terjebak dalam perangkap salah nalar.
Literasi
adalah Kekuatan Menuju Kemajuan Indonesia.
Geliat literasi sudah
kita rasakan oleh kita akhir-akhir ini. Pemerintah melalui Kemdikbud pun sudah
mengulirkan Gerakan Literasi Nasional sejak tahun 2016. Bahkan, Bapak Presiden
dengan terbuka menerima perwakilan para pegiat literasi Indonesia. Ditambah lagi,
melalui PT Pos Indonesia, pemerintah menggratiskan pengiriman paket donasi buku
pada tanggal 17 setiap bulannya.
Tak pelak hal
tersebut membangkitkan literasi sebagai kegairahan di masyarakat Indonesia. Kegairahan
tersebut memiliki ciri yang cukup beragam, unik, dan kreatif. Ada yang
mengusung misi mementahkan hasil survei Unesco yang menyebutkan rendahnya minat
baca kita. Ada pula yang mengusung pentingnya 6 Literasi Dasar untuk menunjang
tercapainya kecakapan hidup abad 21.
Apapun bentuknya,
literasi memungkinkan kita untuk memaknai kehidupan kita supaya tetap
kontekstual dan relevan. Upacara pembukaan Asian Games membuktikan hal
tersebut. Tantangan abad 21 dimaknai dengan kemajuan teknologi yang berakar
kuat pada keragaman budaya. Sajian atraktif terebut merupakan mahakarya dari
literasi era baru, yang bersendikan pada literasi informasi dan literasi
teknologi. Tidak mengherankan jika literasi disebutkan sebagai kunci kemajuan
suatu bangsa.
Kegairahan literasi
yang ada di masyarakat kita hendaknya dipupuk dan diberdayakan supaya bisa
lebih kolaboratif, sinergis, dan holistik. Diperlukan peta jalan dan strategi
terintegrasi yang dapat mewadahi seluruh pihak yang terlibat. Jika sudah
demikian, baru kita bisa memproklamasikan bahwa literasi sebagai energi menuju
kemajuan Indonesia.
Aris
Munandar.
Pegiat di Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar