Senin, 20 Agustus 2018

ASIAN GAMES 2018 : MENUJU INDONESIA MAJU




Asian Games sebagai Warisan.

Mungkin bukan mayoritas dan bukan pula gambaran umum bangsa Indonesia, namun mentalitas rendah diri (inferior) yang kerap kita dengar terjawab dengan lugas melalui upacara pembukaan (opening ceremony) Asian Games 2018 tadi malam, 18 Agustus 2018. Indonesia yang menjadi tuan rumah perhelatan pesta olahraga terbesar bangsa-bangsa di Asia. Konsep yang disajikannya pun cukup berbeda, kali ini Asian Games diselenggarakan di 2 kota berbeda, yaitu Jakarta dan Palembang.

Bagi Indonesia, penyelenggaraan Asian Games ke-18 kali ini sudah menjadi tantangan tersendiri. Bagaimna tidak, Vietnam yang telah ditunjuk sebelumnya mengundurkan diri dengan alasan krisis ekonomi yang melandanya. Selain itu, penyelenggaraan Asian Games ke-18 ini pun harus dimajukan satu tahun lebih cepat. Hal tersebut dikarenakan pada tahun 2019 akan diselenggarakan Pemilu serentak di indonesia.

Secara lebih spesifik, Erick Thohir selaku ketua panitia pelaksana INASGOC memaparkan sejumlah tantangan yang akan dihadapinya dalam pagelaran Asian Games ke-18 (republika.co.id, 19 September 2017). Terdapat setidaknya 4 tantangan terberat untuk menyukseskan perhelatan akbar se-Asia tersebut.

Tidak bisa disangkal bahwa penyelenggaraan Asian Games ini merupakan kegiatan kehumasan bagi bangsa Indonesia. Untuk itu, yang menjadi tumpuan dalam menampilkan wajah bangsa kita adalah upacara pembukaan. Kesuksesan upacara pembukaan akan berdampak langsung pada citra Indonesia itu sendiri. Dan seperti telah disampaikan diawal, bahwa upacara pembukaan Asian Games yang dibuka secara resmi oleh Presiden Joko Widodo telah diselenggarakan dengan sangar sukses.

Rangkaian berikutnya adalah penyiaran. Melalui penyiaran ini, penyelenggaraan Asian Games dapat disaksikan keberbagai negara. Bahkan tidak hanya negara-negara Asia, namun disiarkan juga di negara-negara Amerika Latin. Penyiaran tersebut bertalian erat juga dengan sistem teknologi informasi. Pada sistem teknologi informasi, tantangan nyatanya berupa real time dan on time.

Kehumasan, penyiaran, dan teknologi merupakan kemasan dari penyelenggaraan pertandingan itu sendiri. Maka pertandingan-pertandingan yang diselenggarakan pada Asian Games ini pastinya harus bisa diselenggarakan dengan baik pula.

Kita sebagai bangsa Indonesia patut berbangga dengan suksesnya upacara pembukaan Asian Games malam tadi. Erick Thohir menyebutnya sebagai warisan bagi generasi penerus. Sebuah pernyataan yang tidak berlebihan tentunya jika kita menyaksikan rangkaian kegiatan yang dipagelarkan. Bukan sekadar kemeriahan acaranya, kita dapat menggali filosofi simbolik darinya.

Pertama, misalnya, dalam era internet of things (IoT) dewasa ini hubungan yang mengedepankan kesamaan (egaliter) sebuah keniscayaan. Hal itu akan berimbas pula pada model kepemimpinan yang efektif, yakni model kepemimpinan yang tidak bejarak (merakyat). Kita melihat bagaimana Presiden Joko Widodo dengan santainya menikmati lagu resmi Asian Games berjudul “Meraih Bintang” yang dinyanyikan oleh Via Vallen. Pak Presiden bergoyang dayung dengan jenaka, hal itu tentu saja akan melekat dalam benak rakyatnya dan memberikan kedekatan secara personal.

Kedua, nasionalisme. Cinta tanah air dan kebanggaan menjadi rakyat Indonesia merupakan warisan berharga bagi generasi penerus. Hal ini kita saksikan ketika menyanyikan lagu Indonesia Raya yang dipimpin oleh penyanyi Tulus. Bagaimana gemuruh seluruh hadirin dalam menyanyikan lagu kebangsaan tersebut ketika mengiringi penaikan bendera Sang Merah Putih. Atmosfer dan keharuan dapat kita rasakan, bahkan bagi yang hanya dapat menyaksikannya melalui layar televisi.

Ketiga, suguhan kolosal yang menyajikan perpaduan keragaman budaya dan kemajuan teknologi menjadikannya begitu bermakna. Ketiga hal ini, secara simbolik, merupakan warisan yang berharga dan lebih dari cukup untuk kita bergerak menuju Indonesia maju.



Asian Games dan Kemajuan Indonesia.

Kita yang hidup di abad ke-21 ini sungguh sangat beruntung. Kita dapat menyaksikan akhir sebuah zaman, sekaligus mengalami dimulainya zaman baru. Menarik kita simak apa yang dipaparkan oleh Rhenald Kasali (2017).

Saat ini kita memasuki era kompetisi untuk berhadapan dengan lawan-lawan yang tidak terlihat. Hal ini merupakan akibat dari suatu seting baru yang menyebabkan pola konsumsi yang baru. Mau tidak mau mendorong kita untuk memiliki mindset yang baru pula. Tadi disebutkan bahwa saat ini kita tengah berada di internet gelombang ketiga, yaitu eranya internet of things (IoT). Yakni suatu era dimana internet hidup mandiri dan menjadi pelopor perubahan disegala aspek kehidupan. Perubahan tersebut bercirikan 3 S, yaitu : speed, surprises, dan sudden shift.

Internet membuat perubahan menjadi sangat cepat. Teknologi informasi yang semakin maju membuat kecepatan perubahan tidak lagi linerar, melainkan eksponensial. Tidak salah jika Erick Thohir memetakan sistem teknologi informasi menjadi tantangan untuk kesuksesan penyelenggaraan Asian Games. Hal tersebut untuk menjawab kebutuhan informasi yang harus real time dan on time.

Surprises atau kejutan merupakan ciri tersendiri dari dinamika abad 21. Bagaimana tidak, jika kecepatan sudah melaju secara eksponensial maka segala kemungkinan bisa saja terjadi. Salah satu contoh nyata dihadapan kita adalah Bapak Joko Widodo dengan transformasinya dari walikota, gubernur, hingga kini sebagai presiden. Sebagai presiden, Bapak Joko Widodo membuka penyelenggaraan Asian Games yang 56 lalu juga dilakukan oleh Presiden Sukarno ditempat yang sama.

Kenapa kita terkejut (surprises)? Ini disebabkan adanya perubahan secara tiba-tiba (sudden shift). Bukan rahasia lagi jika pasar mulai beralih dari yang konvensional ke online, muai dari toko online, mobile banking, crowdfunding, peer to peer lending melalui financial technology (fintech).

Bukankah sajian upacara pembukaan Asian Games ke-18 malam tadi juga mengandung unsur speed, surprises, dan sudden shift? Hasilnya berupa atraksi yang bukan saja kolosal, tetapi juga megah, spektakuler, dan sakral. Lihat saja bagaimana atraksi yang disimbolkan oleh Presiden Joko Widodo yang berkendara sepeda motor untuk menerobos kemacetan. Aksi yang bukan saja fenomenal, melainkan sebuah pesan yang jelas bagi kita semua bagaimana harus bersikap dan mengambil keputusan.

Ketangkasan merupakan keterampilan utama yang kita butuhkan. Dengan ketangkasan, kita bisa melihat situasi secara jernih, membuat keputusan rasional, dan memiliki kekuatan eksekusi yang memadai. Eksekusi tersebut dimulai dari tataran strategi hingga implementasi.



Jebakan Salah Nalar, Bisakah Menjadi Peluang Kemajuan?.

Teknologi informasi yang sudah demikian maju dewasa ini menyebabkan kita diserbu oleh arus informasi selama 24 jam tanpa henti. Parahnya, ada sebagian dari kita menganggap seluruh informasi yang disajikan melalui internet adalah benar. Atau paling tidak, tidak melakukan pemilhan dan verifikasi kesahihannya terhadap informasi yang diterima tersebut. Akibatnya, berita bohong (hoax) tersebut menjadi timbunan sampah yang berakumulasi dan menjadi bahaya tersendiri.

Selain dari oknum-oknum dengan tujuan dan motif tertentu, adakalanya sebagian dari kita yang tanpa disadari menjadi penyebar atau bahkan pembuat berita palsu tersebut. Penyebabnya adalah kekeliruan dalam proses berpikir karena keliru dalam menafsirkan dan atau menarik suatu kesimpulan. Kekeliruan tersebut bisa disebabkan oleh faktor emosional, kecerobohan, atau ketidaktahuan (Suparno dan Yunus, 2007).

Hal tersebut kita kenal sebagai salah nalar (logical fallacy). Salah nalar tersebut bisa dibedakan menjadi 4 jenis. Suparno dan Yunus (2007) menguraikan sebagai berikut :

Generalisasi yang terlalu luas dikarenakan kurangnya data yang dijadikan sebagai dasar, adanya sikap “menggampangkan”, malas mengumpulkan dan menguji data secara memadai, atau ingin segera meyakinkan orang lain dengan data yang terbatas. Dengan penyebab tersebut, terdapat 2 bentuk kesalahan yang biasa muncul, yaitu : generalisasi sepintas (hasty or sweeping generalization) dan generalisasi apriori. Generalisasi sepintas disebabkan kurangnya data pendukung. Sedangkan generalisasi apriori lebih disebabkan karena adanya prasangka sehingga tidak melakukan pengujian lebih lanjut terhadap gejala atau peristiwa yang terjadi.

Kedua, generalisasi analogi yaitu generalisasi yang disebabkan oleh penggunaan analogi yang tidak tepat. Misalnya memperbandingkan dua hal yang tidak memiliki kesamaan esensial (pokok).

Ketiga, kekeliruan kausalitas (sebab-akibat). Hal ini terjadi apabila kita keliru menentukan dengan tepat sebab dari suatu peristiwa atau hasil (akibat) dari suatu kejadian. Penyebab ini dalam bahasa latin disebut sebagai post hoc ergo propter hoc “sesudah itu, karena itu menyebabkan ini”.


Terakhir, kesalahan relevansi. Kesalahan relevansi disebabkan oleh bukti, peristiwa, atau alasan yang dijadikan rujukan tidak berhubungan atau tidak menunjang sebuah kesimpulan (Guinn dan Marder, 1987). Jenisnya terdiri dari : pengabaian persoalan (ignoring the question), penyembunyian persoalan (hiding the question), dan kurang memahami persoalan.

Salah nalar ini perlu kita telaah karena akan menjadi penghambat kemajuan, atau bahkan mematikan kemajuan itu sendiri. Namun, bagi orang-orang yang tangkas, ancaman tersebut justeru dijadikan peluang bagi keberhasilan mereka. Contohnya? Diawal tulisan ini disajikan gambaran, bagaimana upacara pembukaan Asian Games ke-18 Jakarta Palembang adalah jawaban lugas dan tuntas bagi mereka yang memiliki mentalitas rendah diri (inferior). Bukan tidak mungkin mentalitas tersebut dikarenakan terjebak dalam perangkap salah nalar.



Literasi adalah Kekuatan Menuju Kemajuan Indonesia.

Geliat literasi sudah kita rasakan oleh kita akhir-akhir ini. Pemerintah melalui Kemdikbud pun sudah mengulirkan Gerakan Literasi Nasional sejak tahun 2016. Bahkan, Bapak Presiden dengan terbuka menerima perwakilan para pegiat literasi Indonesia. Ditambah lagi, melalui PT Pos Indonesia, pemerintah menggratiskan pengiriman paket donasi buku pada tanggal 17 setiap bulannya.

Tak pelak hal tersebut membangkitkan literasi sebagai kegairahan di masyarakat Indonesia. Kegairahan tersebut memiliki ciri yang cukup beragam, unik, dan kreatif. Ada yang mengusung misi mementahkan hasil survei Unesco yang menyebutkan rendahnya minat baca kita. Ada pula yang mengusung pentingnya 6 Literasi Dasar untuk menunjang tercapainya kecakapan hidup abad 21.

Apapun bentuknya, literasi memungkinkan kita untuk memaknai kehidupan kita supaya tetap kontekstual dan relevan. Upacara pembukaan Asian Games membuktikan hal tersebut. Tantangan abad 21 dimaknai dengan kemajuan teknologi yang berakar kuat pada keragaman budaya. Sajian atraktif terebut merupakan mahakarya dari literasi era baru, yang bersendikan pada literasi informasi dan literasi teknologi. Tidak mengherankan jika literasi disebutkan sebagai kunci kemajuan suatu bangsa.

Kegairahan literasi yang ada di masyarakat kita hendaknya dipupuk dan diberdayakan supaya bisa lebih kolaboratif, sinergis, dan holistik. Diperlukan peta jalan dan strategi terintegrasi yang dapat mewadahi seluruh pihak yang terlibat. Jika sudah demikian, baru kita bisa memproklamasikan bahwa literasi sebagai energi menuju kemajuan Indonesia.


Aris Munandar. Pegiat di Matahari Pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"