"what
they think of, what they can see on the pictures, depends upon what they expect
they would see and also that they would learn something from that“, W Singer (2010).
Tulisan ini merupakan
tinjauan lain terhadap literasi visual. Jika dalam tulisan sebelumnya (MenulisTanpa Kata) kita melihat bagaimana pengaruh literasi visual terhadap tumbuh
kembang anak. Kali ini kita akan melihat lebih dalam apa itu literasi visual
dan bagaimana peranannya terhadap masa depan.
PENGERTIAN.
Seperti dunia
literasi yang dinamis pada umumnya, kita hampir tidak bisa mendefiniskan apa
itu literasi visual secara baku.
Literasi visual digambarkan
sebagai kemampuan memahami, menganalisis, dan menggunakan bahasa visual dalam
menyampaikan gagasan (Dewayani, 2017).
Sementara itu, Dave
Gray merumuskan literasi visual sebagai kemampuan membaca dan menuliskan
informasi secara visual; kemampuan untuk belajar secara visual; berpikir dan
memcahkan masalah dalam lingkup visual.
Ada lagi yang
mengidentifikasi literasi visual sebagai literasi baca-tulis melalui media
gambar. Dalam literasi visual, memahami gambar sama dengan membaca dan
menyampaikan pesan melalui gambar sama dengan menulis.
Terakhir, literasi
visual diartikan sebagai kemampuan untuk memahami, menginterpretasi, dan mengevaluasi
pesan-pesan visual (Bristor & Drake, 1994).
ANATOMI LITERASI.
Kemajuan teknologi
informasi dan globalisasi membawa kita pada kebutuhan keterampilan-keterampilan
baru. Pada prinsipnya kita dihadapkan pada tantangan untuk bagaimana mengelola
4 literasi kunci, yakni : literasi komunikasi, literasi informasi, literasi
multikultural, dan literasi visual.
Literasi visual
sebenarnya bagian dari literasi komunikasi dan literasi informasi.
Dalam literasi
komunikasi, literasi visual (baca: komunikasi visual) dikelompokan bersama
komunikasi tertulis dan komunikasi verbal.
Sedangkan berdasarkan
Deklarasi Praha, oleh Unesco pada tahun 2003, literasi visual dikelompokan
dalam literasi informasi bersama dengan literasi dasar, literasi perpustakaan,
literasi media, dan literasi teknologi.
Literasi dasar inilah
yang kita kenal sebagai 6 literasi dasar, yang terdiri dari literasi
baca-tulis, literasi sains, literasi digital, literasi numerasi, literasi
finansial, serta literasi budaya dan kewargaan.
Sedangkan literasi
multikultural memberikan perhatian kepada perbedaan, persamaan, dan keadilan
sosial.
KONSEP DASAR DAN
PENDEKATAN.
Berdasarkan banyak
pendapat para ahli, yang menjadi dasar visual literasi adalah konsep-konsep :
pemikiran visual, persepsi visual, komunikasi visual, dan kemampuan belajar
secara visual.
Elemen visual terdiri
dari : bentuk warna, ukuran objek, sudut pandang, dan garis. Setiap elemen
visual memiliki makna tersendiri. Gambar adalah sebuah konstruksi sosial. Konstruksi
ini membentuk suatu kode yang membentuk makna (Kress & van Leeuwen, 2000).
3 (tiga) pendekatan
literasi visual :
(1). Sudut pandang
teoritis, meliputi : filsafat, psikologi, dan aspek psikologi dalam
pembelajaran.
(2). Sudut pandang
pembelajaran dan pengembangan bahasa visual, meliputi : pendekatan yang
difokuskan untuk membantu seseorang menjadi literat secara visual dengan memberinya stimulasi visual.
(3). Berdasarkan
pendekatan pendidikan, fokus pada mengembangkan proses komunikasi melalui
stimulasi visual.
Literasi visual pada
akhirnya merupakan proses pemaknaan terhadap elemen visual sehingga membentuk
persepsi. Rangkaiannya meliputi : melihat, mengamati, menjelaskan, menganalisa,
dan menginterpretasikan.
LITERASI VISUAL DALAM
KEHIDUPAN MANUSIA.
Imajinasi visual
memiliki sejarah yang panjang dalam kebudayaan manusia. Dimulai ketika manusia
mengembangkan cara hidup bermasyarakat, manusia telah membuat mural di goa-goa.
Hingga kini seiring perkembangan teknologi informasi, mulai dari era televisi
hingga Internet of Things. Bahasa
visual adalah sesuatu yang purba dan sesungguhnya inheren dalam struktur
berpikir manusia (Dewayani, 2017).
Fenomena instagram
menunjukan jika kita tengah mengalami pergeseran dari persepsi verbal ke
persepsi visual. Dunia pariwisata, restoran, cafe, dan tempat-tempat umum
seakan wajib menyediakan space khusus yang instragamable. Hal itu tak heran
karena pengguna Instagram sudah mengalahkan Facebook, Whatapps, dan Snapchat
(Business Insider, 2018). Literasi visual menjadi kecakapan penting di era
digital. Kemampuan literasi visual adalah kecakapan hidup di era modern.
LITERASI VISUAL, POST-TRUTH, DAN FRAMING.
No pict
= hoax, is seeing believing?.
Visualitas dapat
mempengaruhi perasaan, persepsi, dan opini, untuk itu semakin erat pengaruhnya
terhadap kehidupan manusia, apalagi di era post-truth
saat ini. Post-truth merupakan kondisi di mana fakta tidak terlalu
berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal
(Oxford Dictionary).
Dalam istilah lain,
kita saat ini sedang berada dalam peradaban kamera yang sedang mentransformasi
kehidupan kita secara besar-besaran. Kamera di saku setiap orang sedang
membentuk masa depan. Peradaban kamera adalah sebuah peradaban di depan lensa
yang secepat kilat memantulkan citra, muncul, tayang, dan beredar (Kasali,
2013).
Hampir tidak ada lagi
yang asli, semua hasil dari framing. Framing adalah proses penyajian
informasi untuk mempengaruhi persfektif penerima pesan. Berpikir kritis menjadi
sangat penting dalam menyikapi hal ini.
LITERASI VISUAL DAN
BERPIKIR KRITIS DALAM SISTEM PENDIDIKAN KITA.
Anak-anak kita
dibanjiri oleh stimulasi visual, namun pemahaman dan sikap kritis terhadap
materi ini belum dibangun secara sistematis dalam kurikulum kita. Dalam
kurikulum pendidikan formal di jenjang dasar dan menengah di Indonesia, elemen
gambar masih terabaikan peranannya sebagai medium komunikasi. Pembelajaran
menggambar sekalipun belum ditujukan untuk meningkatkan kecakapan komunikasi
visual, bentuk ekspresi kreatif. Menggambar hanya untuk mengasah kecakapan seni
saja.
Padahal bentuk
berpikir kritis terhadap elemen visual dapat meningkatkan keterampilan berpikir
tingkat tinggi (high order thinking skill).
Pembelajaran dengan melakukan analisis dan menginterpretasikan makna elemen
visual, tidak hanya sampai memahaminya, melainkan juga harus mengerti bagaimana
keterkaitan elemen visual tersebut dengan diri mereka. Menjadikan literasi
visual sebagai bentuk berpikir kritis dapat meningkatkan kapasitas intelektual
kita, melalui cara :
(1). Menginterpretasikan
konten-konten yang terkandung dalam gambar.
(2). Menyelidiki
dampak yang ditimbulkan oleh suatu gambar.
(3). Mendikusikan
berbagai kemungkinan makna dari suatu gambar.
(4). Membaca dan
menginterpretasikan suatu gambar.
(5). Membuat opini
mengenai keakuratan, validitas, dan kandungan suatu gambar.
HARI ESOK.
Vincent van Gogh
mengatakan : “A good picture is
equivalent to a good deed”. Apakah persoalan karakter yang tak kunjung ada
titik temu dalam pendidikan kita dikarenakan masih diabaikannya literasi
visual? Lalu, dengan apa kita menghadapi hoax dan era post-truth? Akankah anak-anak kita menjadi generasi emas seperti
yang kita impikan?.
Aris
Munandar – Rumah Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar