“...Lebih baik disini, rumah kita sendiri...” (God Bless. Sumber:
liriklaguindonesia.com).
TIGA RUMAH PENDIDIKAN
INDONESIA.
Pemerintah dalam
mengemban amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa telah beritikad
baik. Melalui Undang-Undang (UU) No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) mengakomodasi seluruh masyarakat melalui 3 rumah (baca:
jalur) pendidikan, yaitu formal, non formal, dan informal.
Pendidikan informal,
dalam UU tersebut, diartikan sebagai jalur pendidikan keluarga dan lingkungan.
Dalam Kamu Besar Bahasa Indonesia sendiri, ‘informal’ diartikan “tidak resmi”.
Ini artinya, berbeda dengan jalur pendidikan formal dan non formal yang
menysratkan adanya legalitas dalam penyelenggaraannya. Jalur pendidikan
informal tentu saja tidak diharuskan adanya legalitas tersebut.
Meskipun demikian,
Pemerintah tetap saja bertanggung jawab dalam menjamin mutu jalur pendidikan
informal. Hal tersebut seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan
Nasional (Permendiknas) No.63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu
Pendidikan.
Hal ini dilakukan
didasarkan atas satu kesadaran bahwa tantangan yang dihadapi berasal dari
tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan juga global. Dewasa ini
tuntutan itu berasal dari hadirnya Revolusi Industri 4.0. Revolusi ini berbasis
semakin pesatnya digitalisasi manufaktur. Terdapat 4 faktor yang menjadi
pendorongnya, yaitu : (1) peningkatan volume data, kekuatan komputasi, dan
konektivitas; (2) munculnya analisis, kemampuan, dan kecerdasan bisnis; (3)
terjadinya bentuk interaksi baru antara manusia dengan mesin; (4) perbaikan
instruksi transfer digital ke dunia fisik (Lee dkk, 2013 dalam Yahya, 2018).
Paralel dengan
fenomena tersebut, World Economic Forum
2015 merilis The Future Jobs Report yang
berisi 10 keterampilan yang dibutuhkan pada tahun 2020. 3 posisi teratas
ditempati oleh keterampilan pemecahan masalah, kreatifitas, dan kolaborasi.
Kesemuanya berintikan literasi.
LITERASI JIWA
PENDIDIKAN ZAMAN NOW.
Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Muhadjir Effendy, dalam sambutan pada buku Materi Pendukung Gerakan
Literasi Nasional menyatakan bahwa masyarakat yang besar ditandai dengan
masyarakatnya yang literat, yang memiliki peradaban tinggi, dan aktif memajukan
masyarakat dunia. Lebih jauh lagi beliau memaparkan jika keliterasian bukan
hanya masalah bagaimana suatu bangsa bebas dari buta aksara, melainkan juga
yang lebih penting, bagaimana warga bangsa memiliki kecakapan hidup agar mampu
bersaing dan bersanding dengan bangsa lain untuk menciptakan kesejahteraan
dunia. Dengan kata lain, bangsa dengan budaya literasi tinggi menunjukkan kemampuan
bangsa tersebut berkolaborasi, berpikir
kritis, kreatif, komunikatif sehingga dapat memenangi persaingan global.
Konferensi Unesco mengukuhkan
literasi informasi sebagai tatanan budaya literasi dunia, yang meliputi
tahapan, yaitu : literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi teknologi, dan
literasi visual (Iskandar, 2018). Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang
dicanangkan pada tahun 2016 fokus pada 6 literasi dasar, yakni: literasi
baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, serta literasi
budaya dan kewargaan. GLN dimaksudkan untuk membangun budaya literasi diseluruh
ranah pendidikan. Literasi merupakan jiwa dari 3 rumah pendidikan Indonesia,
baik itu formal, non formal, maupun informal.
DIKEMANAKAN RUMAH
KITA?.
Dalam peraturan
perundang-undangan, supaya dapat dilaksanakan memerlukan peraturan
pelaksananya. Dalam hal ini, UU No.20 tentang Sisdiknas memberi waktu selama 2
tahun. Salah satu peraturan pelaksana tersebut dalah Permendiknas No. 63 Tahun
2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan.
Kita ambil contoh
kasus sebagai gambaran, jika ada Rumah Baca, Taman Baca, Taman Bacaan
Masyarakat, Komunitas Literasi (selanjutnya disebut TBM) yang ada di suatu
daerah. Sebagian diantara mereka tergabung dalam wadah, forum, atau apapun.
Sebagian besar yang tergabung itu, mereka berada di rumah informal, atau
bergerak di jalur pendidikan informal. Hal ini adalah sebuah pilihan, sama
seperti pilihan kawan-kawan mereka yang bergerak di rumah/jalur pendidikan
formal dan non formal.
Dalam Permendiknas No. 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan
Mutu Pendidikan disebutkan bahwa penjaminan mutu pendidikan informal
dilaksanakan oleh masyarakat baik secara perseorangan, kelompok, maupun
kelembagaan (pasal 9 ayat (1)). Penjaminan mutu pendidikan informal oleh
masyarakat dapat dibantu dan/atau diberi kemudahan oleh Pemerintah dan
pemerintah daerah (pasal 9 ayat (2)). Bantuan dan/atau kemudahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat berbentuk: (a). pendirian perpustakaan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan; (b). penyediaan bahan pustaka pada
Perpustakaan Nasional, perpustakaan daerah provinsi, perpustakaan daerah
kabupaten atau kota, perpustakaan kecamatan, perpustakaan desa, dan/atau taman
bacaan masyarakat (TBM); (c). pemberian bantuan dan/atau kemudahan pendirian
dan/atau pengoperasian perpustakaan milik masyarakat seperti perpustakaan di
tempat ibadah; (d). pemberian kemudahan akses ke sumber belajar multi media di
perpustakaan bukan satuan pendidikan formal dan nonformal. (e). pemberian bantuan
dan/atau kemudahan pendirian dan/atau pengoperasian toko buku kategori usaha
kecil milik masyarakat di daerah yang belum memiliki toko buku atau jumlah toko
bukunya belum mencukupi kebutuhan; (f). kebijakan perbukuan nonteks yang
mendorong harga buku nonteks terjangkau oleh rakyat banyak; (g). pemberian
subsidi atau penghargaan kepada penulis buku nonteks dan nonjurnal-ilmiah yang
berprestasi dalam pendidikan informal; (h). pemberian penghargaan kepada media
masa yang berprestasi dalam menyiarkan atau mempublikasikan materi pembelajaran
informal kepada masyarakat; (i). pemberian penghargaan kepada anggota
masyarakat yang berprestasi atau kreatif dalam menghasilkan film hiburan yang
sarat pembelajaran informal; (j). pemberian penghargaan kepada tokoh masyarakat
yang berprestasi atau kreatif dalam pembelajaran informal masyarakat ; (k).
pemberian penghargaan kepada anggota masyarakat yang sukses melakukan
pembelajaran informal secara otodidaktif; (l). pemberian layanan ujian
kesetaraan sesuai peraturan perundang-undangan; serta (m). kegiatan lain yang
membantu dan/atau mempermudah pembelajaran informal oleh masyarakat (pasal 9
ayat (3)).
Lalu, bagaimana jika
ada pemerintah daerah (atau pejabat dinas tertentu di pemerintah daerah, yang
kita sebut saja Pemda karena mewakili institusi tersebut), entah itu ditingkat
provinsi atau di tingkat kota/kabupaten dan entah dimana pula. Jika ada Pemda
yang “menggusur” mereka yang berada dirumah pendidikan informal. Kemudian,
“memaksa” mereka supaya masuk ke rumah pendidikan non formal.
Pertanyaan pertama:
apakah pemerataan kesempatan pendidikan dapat terjamin?. Pertanyaan kedua dan
seribu pertanyaan berikutnya kita ilustrasikan saja. Bahwa rendahnya minat baca
Indonesia, dalam banyak kasus telah dibuktikan, lebih dikarenakan sangat
kurangnya masyarakat terhadap akses bahan pustaka. Bagaimana jadinya jika
masyarakat seperti yang disebutkan dalam contoh kasus diatas, mereka yang
memilih berada di rumah informal. Mereka yang memiliki kesadaran, kepedulian,
dan empati untuk menyediakan akses terhadap bahan pustaka. Mereka yang hanya
untuk menyelenggarakan kegiatannya saja berjuang mati-matian. Kemudian
dibenturkan pada “keharusan” memiliki legalitas menjadi lembaga pendidikan non
formal. Apakah kesadaran, kepedulian, dan empati tersebut harus “kalah”?.
SEBAIK-BAIKNYA,
SEHORMAT-HORMATNYA.
Meminjam perkataan
Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu fragmen novel Bumi Manusia bahwa kita
harus “melawan” dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Dalam konteks
keliterasian, tulisan ini merupakan dalam rangka hal tersebut. Menulis (tentu
saja bernilai sama dengan membaca tulisan ini) sebagai upaya mengembangkan
budaya literasi. Pintu masuk untuk mengembangkan budaya literasi bangsa adalah
melalui penyediaan bahan bacaan dan peningkatan minat baca. Sebagai bagian
penting dari penumbuhan
budi pekerti, minat
baca perlu selalu dipupuk. Minat baca yang tinggi,
didukung dengan ketersediaan
bahan bacaan yang
bermutu dan terjangkau, akan mendorong pembiasaan membaca dan menulis.
Dengan kemampuan membaca ini pula literasi dasar berikutnya (numerasi, sains,
digital, finansial, serta budaya dan kewargaan) dapat ditumbuhkembangkan
(Effendy, 2018).
Aris Munandar - Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar