Kamis, 10 Januari 2019

RUMAH KITA





“...Lebih baik disini, rumah kita sendiri...” (God Bless. Sumber: liriklaguindonesia.com).

TIGA RUMAH PENDIDIKAN INDONESIA.

Pemerintah dalam mengemban amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa telah beritikad baik. Melalui Undang-Undang (UU) No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengakomodasi seluruh masyarakat melalui 3 rumah (baca: jalur) pendidikan, yaitu formal, non formal, dan informal.

Pendidikan informal, dalam UU tersebut, diartikan sebagai jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Dalam Kamu Besar Bahasa Indonesia sendiri, ‘informal’ diartikan “tidak resmi”. Ini artinya, berbeda dengan jalur pendidikan formal dan non formal yang menysratkan adanya legalitas dalam penyelenggaraannya. Jalur pendidikan informal tentu saja tidak diharuskan adanya legalitas tersebut.

Meskipun demikian, Pemerintah tetap saja bertanggung jawab dalam menjamin mutu jalur pendidikan informal. Hal tersebut seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan.

Hal ini dilakukan didasarkan atas satu kesadaran bahwa tantangan yang dihadapi berasal dari tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan juga global. Dewasa ini tuntutan itu berasal dari hadirnya Revolusi Industri 4.0. Revolusi ini berbasis semakin pesatnya digitalisasi manufaktur. Terdapat 4 faktor yang menjadi pendorongnya, yaitu : (1) peningkatan volume data, kekuatan komputasi, dan konektivitas; (2) munculnya analisis, kemampuan, dan kecerdasan bisnis; (3) terjadinya bentuk interaksi baru antara manusia dengan mesin; (4) perbaikan instruksi transfer digital ke dunia fisik (Lee dkk, 2013 dalam Yahya, 2018).

Paralel dengan fenomena tersebut, World Economic Forum 2015 merilis The Future Jobs Report yang berisi 10 keterampilan yang dibutuhkan pada tahun 2020. 3 posisi teratas ditempati oleh keterampilan pemecahan masalah, kreatifitas, dan kolaborasi. Kesemuanya berintikan literasi.

LITERASI JIWA PENDIDIKAN ZAMAN NOW.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, dalam sambutan pada buku Materi Pendukung Gerakan Literasi Nasional menyatakan bahwa masyarakat yang besar ditandai dengan masyarakatnya yang literat, yang memiliki peradaban tinggi, dan aktif memajukan masyarakat dunia. Lebih jauh lagi beliau memaparkan jika keliterasian bukan hanya masalah bagaimana suatu bangsa bebas dari buta aksara, melainkan juga yang lebih penting, bagaimana warga bangsa memiliki kecakapan hidup agar mampu bersaing dan bersanding dengan bangsa lain untuk menciptakan kesejahteraan dunia. Dengan kata lain, bangsa dengan budaya literasi tinggi menunjukkan  kemampuan  bangsa  tersebut  berkolaborasi,  berpikir  kritis, kreatif, komunikatif sehingga dapat memenangi persaingan global.

Konferensi Unesco mengukuhkan literasi informasi sebagai tatanan budaya literasi dunia, yang meliputi tahapan, yaitu : literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi teknologi, dan literasi visual (Iskandar, 2018). Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang dicanangkan pada tahun 2016 fokus pada 6 literasi dasar, yakni: literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, serta literasi budaya dan kewargaan. GLN dimaksudkan untuk membangun budaya literasi diseluruh ranah pendidikan. Literasi merupakan jiwa dari 3 rumah pendidikan Indonesia, baik itu formal, non formal, maupun informal.

DIKEMANAKAN RUMAH KITA?.

Dalam peraturan perundang-undangan, supaya dapat dilaksanakan memerlukan peraturan pelaksananya. Dalam hal ini, UU No.20 tentang Sisdiknas memberi waktu selama 2 tahun. Salah satu peraturan pelaksana tersebut dalah Permendiknas No. 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan.

Kita ambil contoh kasus sebagai gambaran, jika ada Rumah Baca, Taman Baca, Taman Bacaan Masyarakat, Komunitas Literasi (selanjutnya disebut TBM) yang ada di suatu daerah. Sebagian diantara mereka tergabung dalam wadah, forum, atau apapun. Sebagian besar yang tergabung itu, mereka berada di rumah informal, atau bergerak di jalur pendidikan informal. Hal ini adalah sebuah pilihan, sama seperti pilihan kawan-kawan mereka yang bergerak di rumah/jalur pendidikan formal dan non formal.

Dalam Permendiknas  No. 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan disebutkan bahwa penjaminan mutu pendidikan informal dilaksanakan oleh masyarakat baik secara perseorangan, kelompok, maupun kelembagaan (pasal 9 ayat (1)). Penjaminan mutu pendidikan informal oleh masyarakat dapat dibantu dan/atau diberi kemudahan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah (pasal 9 ayat (2)). Bantuan dan/atau kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berbentuk: (a). pendirian perpustakaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (b). penyediaan bahan pustaka pada Perpustakaan Nasional, perpustakaan daerah provinsi, perpustakaan daerah kabupaten atau kota, perpustakaan kecamatan, perpustakaan desa, dan/atau taman bacaan masyarakat (TBM); (c). pemberian bantuan dan/atau kemudahan pendirian dan/atau pengoperasian perpustakaan milik masyarakat seperti perpustakaan di tempat ibadah; (d). pemberian kemudahan akses ke sumber belajar multi media di perpustakaan bukan satuan pendidikan formal dan nonformal. (e). pemberian bantuan dan/atau kemudahan pendirian dan/atau pengoperasian toko buku kategori usaha kecil milik masyarakat di daerah yang belum memiliki toko buku atau jumlah toko bukunya belum mencukupi kebutuhan; (f). kebijakan perbukuan nonteks yang mendorong harga buku nonteks terjangkau oleh rakyat banyak; (g). pemberian subsidi atau penghargaan kepada penulis buku nonteks dan nonjurnal-ilmiah yang berprestasi dalam pendidikan informal; (h). pemberian penghargaan kepada media masa yang berprestasi dalam menyiarkan atau mempublikasikan materi pembelajaran informal kepada masyarakat; (i). pemberian penghargaan kepada anggota masyarakat yang berprestasi atau kreatif dalam menghasilkan film hiburan yang sarat pembelajaran informal; (j). pemberian penghargaan kepada tokoh masyarakat yang berprestasi atau kreatif dalam pembelajaran informal masyarakat ; (k). pemberian penghargaan kepada anggota masyarakat yang sukses melakukan pembelajaran informal secara otodidaktif; (l). pemberian layanan ujian kesetaraan sesuai peraturan perundang-undangan; serta (m). kegiatan lain yang membantu dan/atau mempermudah pembelajaran informal oleh masyarakat (pasal 9 ayat (3)).

Lalu, bagaimana jika ada pemerintah daerah (atau pejabat dinas tertentu di pemerintah daerah, yang kita sebut saja Pemda karena mewakili institusi tersebut), entah itu ditingkat provinsi atau di tingkat kota/kabupaten dan entah dimana pula. Jika ada Pemda yang “menggusur” mereka yang berada dirumah pendidikan informal. Kemudian, “memaksa” mereka supaya masuk ke rumah pendidikan non formal.

Pertanyaan pertama: apakah pemerataan kesempatan pendidikan dapat terjamin?. Pertanyaan kedua dan seribu pertanyaan berikutnya kita ilustrasikan saja. Bahwa rendahnya minat baca Indonesia, dalam banyak kasus telah dibuktikan, lebih dikarenakan sangat kurangnya masyarakat terhadap akses bahan pustaka. Bagaimana jadinya jika masyarakat seperti yang disebutkan dalam contoh kasus diatas, mereka yang memilih berada di rumah informal. Mereka yang memiliki kesadaran, kepedulian, dan empati untuk menyediakan akses terhadap bahan pustaka. Mereka yang hanya untuk menyelenggarakan kegiatannya saja berjuang mati-matian. Kemudian dibenturkan pada “keharusan” memiliki legalitas menjadi lembaga pendidikan non formal. Apakah kesadaran, kepedulian, dan empati tersebut harus “kalah”?.

SEBAIK-BAIKNYA, SEHORMAT-HORMATNYA.

Meminjam perkataan Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu fragmen novel Bumi Manusia bahwa kita harus “melawan” dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Dalam konteks keliterasian, tulisan ini merupakan dalam rangka hal tersebut. Menulis (tentu saja bernilai sama dengan membaca tulisan ini) sebagai upaya mengembangkan budaya literasi. Pintu masuk untuk mengembangkan budaya literasi bangsa adalah melalui penyediaan bahan bacaan dan peningkatan minat baca. Sebagai  bagian  penting  dari  penumbuhan  budi  pekerti,  minat  baca perlu selalu dipupuk. Minat baca yang  tinggi,  didukung  dengan  ketersediaan  bahan  bacaan  yang  bermutu dan terjangkau, akan mendorong pembiasaan membaca dan menulis. Dengan kemampuan membaca ini pula literasi dasar berikutnya (numerasi, sains, digital, finansial, serta budaya dan kewargaan) dapat ditumbuhkembangkan (Effendy, 2018).


Aris Munandar - Matahari Pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"