Jumat, 25 Januari 2019

BUKAN PEMBACA YANG GRASA-GRUSU

Januari 25, 2019


“Reading is the basic tool in the living of good life” (Mortimer Adler, 1967).


INTERNET ITU CEPAT, BUKAN GRASA-GRUSU.

Kemahiran membaca (reading literacy) merupakan conditio sine quanon bagi kita untuk memperoleh kemajuan. Kemajuan itu, kini semakin pesat sering dengan adanya internet. Kecepatan informasi yang diberikan oleh internet membawa kita pada dunia yang sama sekali baru. Bahkan melahirkan mahluk baru, digital natives, yang sering disebut millenials. Mereka, meskipun merupakan anak-anak kita, seolah memiliki asal yang berbeda dengan kita. Kecepatan internet memberikan kita segala kemudahan, seolah menghapus jarak dan waktu. Disamping itu juga melahirkan sikap : we grab and go.

Bangsa Indonesia, ditengah riuh rendahnya gerakan literasi yang kian masif didengungkan, adalah potret keberagaman. Keberagaman dalam konteks ini merupakan keberagaman peradaban dan kebudayaan literasi. Zaman kelisanan, naskah, literasi, dan kelisanan kedua terentang secara serempak (simultan) dan bertumpuk (Saryono, tanpa tahun). Kelisanan sekunder merupakan zaman terkini yang disangga oleh era digital. Zaman ini menghadirkan bacaan multimodal, yaitu yang melibatkan dua atau lebih sistem semiotika (sebagai pembanding baca: LITERASI DAN HARI ESOK).

Kehadiran kelisanan sekunder tanpa adanya fondasi literasi baca-tulis yang kuat akan membuat kita kikuk, panik, dan ketakutan (simak TENTANG MEMBACA, LITERASI, DAN KITA). Bagaimana tidak khawatir dengan hadirnya fenomena sumbu pendek dan maraknya hoaks. Belum lagi hantu pornografi dan sadisme dalam dark web. Disamping itu, musuh intelektualitas, berupa plagiat atau asal comot tulisan orang lain kian marak.

Sisi negatif sikap we grab and go adalah kemalasan. Hal ini sebagai akibat dari tidak perlunya lagi kita mencari-cari informasi. Sebaliknya, informasilah yang menyerbu dan membanjiri kita selama 24 jam tanpa henti. Mereka menerabas batas-batas ruang privasi kita. Namun harus diingat, infomrasi tersebut adalah informasi instan. Tak jarang diantaranya merupakan informasi yang cacat, salah, dan terpapar hoaks.

Terlalu banyak mengkonsumsi informasi instan tanpa melakukan pendalaman, bisa membuat kita mengalami kedangkalan berpikir. Lalu, bagaimana cara mengatasinya? Dengan membaca.


MEMBACA ITU PROSES KESADARAN KRITIS-KREATIF.

Membaca dalam konteks ini tidak dipisahkan dengan menulis. Sehingga frasa membaca didalamnya sudah terkandung makna kegiatan baca-tulis (keterkaitan antara menulis  dan membaca bisa disimak DISINI). Dalam konteks ini pula : kegiatan membaca artikel di koran, majalah, atau blog; membaca lini masa atau chat di media sosial; membaca pesan singkat atau email. Semua kegiatan membaca tersebut tidak termasuk dalam kategori membaca yang dimaksud disini.

Yang dimaksud membaca disini adalah suatu kegiatan dengan ruang lingkup seperti yang diberikan oleh Goodman (1967), yaitu : reading by the lines, reading between the lines, dan reading beyond the lines. Sehingga, membaca adalah proses recording dan decoding (Anderson, 1972).

Dengan pemahaman tersebut, berapa banyak diantara kita yang membaca buku secara reguler? Seberapa sering kita berdialog dengan buku yang kita baca? Atau, untuk para pegiat literasi, sudahkah kita melakukan sosialisasi tentang bagaimana menjadi pembaca yang baik? Pernahkah kita memfasilitasi anak-anak kita berdialog dengan buku yang mereka baca? Seperti apa berdialog dengan buku itu?.


SLOW READING DAN SCAFFOLDING.

David Mikics (2013) dalam bukunya Slow Reading in Hurried Age secara komprehensif menjelaskan mengenai slow reading hingga penerapannya. Disebutkan jika slow reading merupakan panduan untuk mendapatkan kesenangan tertinggi dalam membaca. Slow reading merupakan kegiatan aktif. Semakin serius dan aktif kita membaca maka kita akan semakin mendalami buku tersebut, meninjau ulang, mengevaluasi kembali, termasuk mengevaluasi diri.

Slow reading ini merupakan antidote terhadap dorongan yang kuat terhadap kehidupan yang serba cepat. Membaca merupakan aktivitas kreatif, sepertihalnya menulis. Sehingga kita membutuhkan fokus dan kecermatan. Slow reading membawa kita secara bertahap kepada yang dimaksud oleh penulisnya. Kecermatan berarti penemuan.

Untuk membentuk fondasi literasi yang kuat pada anak-anak, banyak pilihan sebenarnya, misalnya kita bisa menggunakan metode scaffolding (mengenai scaffolding dan penerapannya bisa disimak DISINI). Dengan scaffolding ini akan memberikan dampak terhadap anak-anak, diantaranya : (1) memotivasi dan menarik perhatian anak-anak terhadap pembelajaran; (2) menyederhanakan pembelajaran sehingga lebih mudah dikuasai dan diserap; (3) membantu anak-anak untuk tetap fokus terhadap sasaran pembelajaran; (4) menyajikan pembelajaran yang menyenangkan.

Pada akhirnya, hanya dengan membangun kedekatan dengan buku, minat baca kita akan tumbuh dan berkembang.


Aris Munandar – Pegiat di Matahari Pagi.

Senin, 14 Januari 2019

LITERASI VISUAL DAN HARI ESOK

Januari 14, 2019


"what they think of, what they can see on the pictures, depends upon what they expect they would see and also that they would learn something from that“, W Singer (2010).

Tulisan ini merupakan tinjauan lain terhadap literasi visual. Jika dalam tulisan sebelumnya (MenulisTanpa Kata) kita melihat bagaimana pengaruh literasi visual terhadap tumbuh kembang anak. Kali ini kita akan melihat lebih dalam apa itu literasi visual dan bagaimana peranannya terhadap masa depan.


PENGERTIAN.
Seperti dunia literasi yang dinamis pada umumnya, kita hampir tidak bisa mendefiniskan apa itu literasi visual secara baku.

Literasi visual digambarkan sebagai kemampuan memahami, menganalisis, dan menggunakan bahasa visual dalam menyampaikan gagasan (Dewayani, 2017).

Sementara itu, Dave Gray merumuskan literasi visual sebagai kemampuan membaca dan menuliskan informasi secara visual; kemampuan untuk belajar secara visual; berpikir dan memcahkan masalah dalam lingkup visual.

Ada lagi yang mengidentifikasi literasi visual sebagai literasi baca-tulis melalui media gambar. Dalam literasi visual, memahami gambar sama dengan membaca dan menyampaikan pesan melalui gambar sama dengan menulis.

Terakhir, literasi visual diartikan sebagai kemampuan untuk memahami, menginterpretasi, dan mengevaluasi pesan-pesan visual (Bristor & Drake, 1994).


ANATOMI LITERASI.
Kemajuan teknologi informasi dan globalisasi membawa kita pada kebutuhan keterampilan-keterampilan baru. Pada prinsipnya kita dihadapkan pada tantangan untuk bagaimana mengelola 4 literasi kunci, yakni : literasi komunikasi, literasi informasi, literasi multikultural, dan literasi visual.

Literasi visual sebenarnya bagian dari literasi komunikasi dan literasi informasi.

Dalam literasi komunikasi, literasi visual (baca: komunikasi visual) dikelompokan bersama komunikasi tertulis dan komunikasi verbal.

Sedangkan berdasarkan Deklarasi Praha, oleh Unesco pada tahun 2003, literasi visual dikelompokan dalam literasi informasi bersama dengan literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, dan literasi teknologi.

Literasi dasar inilah yang kita kenal sebagai 6 literasi dasar, yang terdiri dari literasi baca-tulis, literasi sains, literasi digital, literasi numerasi, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan.

Sedangkan literasi multikultural memberikan perhatian kepada perbedaan, persamaan, dan keadilan sosial.


KONSEP DASAR DAN PENDEKATAN.
Berdasarkan banyak pendapat para ahli, yang menjadi dasar visual literasi adalah konsep-konsep : pemikiran visual, persepsi visual, komunikasi visual, dan kemampuan belajar secara visual.

Elemen visual terdiri dari : bentuk warna, ukuran objek, sudut pandang, dan garis. Setiap elemen visual memiliki makna tersendiri. Gambar adalah sebuah konstruksi sosial. Konstruksi ini membentuk suatu kode yang membentuk makna (Kress & van Leeuwen, 2000).

3 (tiga) pendekatan literasi visual :
(1). Sudut pandang teoritis, meliputi : filsafat, psikologi, dan aspek psikologi dalam pembelajaran.
(2). Sudut pandang pembelajaran dan pengembangan bahasa visual, meliputi : pendekatan yang difokuskan untuk membantu seseorang menjadi literat secara visual  dengan memberinya stimulasi visual.
(3). Berdasarkan pendekatan pendidikan, fokus pada mengembangkan proses komunikasi melalui stimulasi visual.

Literasi visual pada akhirnya merupakan proses pemaknaan terhadap elemen visual sehingga membentuk persepsi. Rangkaiannya meliputi : melihat, mengamati, menjelaskan, menganalisa, dan menginterpretasikan.


LITERASI VISUAL DALAM KEHIDUPAN MANUSIA.
Imajinasi visual memiliki sejarah yang panjang dalam kebudayaan manusia. Dimulai ketika manusia mengembangkan cara hidup bermasyarakat, manusia telah membuat mural di goa-goa. Hingga kini seiring perkembangan teknologi informasi, mulai dari era televisi hingga Internet of Things. Bahasa visual adalah sesuatu yang purba dan sesungguhnya inheren dalam struktur berpikir manusia (Dewayani, 2017).

Fenomena instagram menunjukan jika kita tengah mengalami pergeseran dari persepsi verbal ke persepsi visual. Dunia pariwisata, restoran, cafe, dan tempat-tempat umum seakan wajib menyediakan space khusus yang instragamable. Hal itu tak heran karena pengguna Instagram sudah mengalahkan Facebook, Whatapps, dan Snapchat (Business Insider, 2018). Literasi visual menjadi kecakapan penting di era digital. Kemampuan literasi visual adalah kecakapan hidup di era modern.


LITERASI VISUAL, POST-TRUTH, DAN FRAMING.
No pict = hoax, is seeing believing?.

Visualitas dapat mempengaruhi perasaan, persepsi, dan opini, untuk itu semakin erat pengaruhnya terhadap kehidupan manusia, apalagi di era post-truth saat ini. Post-truth merupakan  kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal (Oxford Dictionary).
Dalam istilah lain, kita saat ini sedang berada dalam peradaban kamera yang sedang mentransformasi kehidupan kita secara besar-besaran. Kamera di saku setiap orang sedang membentuk masa depan. Peradaban kamera adalah sebuah peradaban di depan lensa yang secepat kilat memantulkan citra, muncul, tayang, dan beredar (Kasali, 2013).

Hampir tidak ada lagi yang asli, semua hasil dari framing. Framing adalah proses penyajian informasi untuk mempengaruhi persfektif penerima pesan. Berpikir kritis menjadi sangat penting dalam menyikapi hal ini.


LITERASI VISUAL DAN BERPIKIR KRITIS DALAM SISTEM PENDIDIKAN KITA.
Anak-anak kita dibanjiri oleh stimulasi visual, namun pemahaman dan sikap kritis terhadap materi ini belum dibangun secara sistematis dalam kurikulum kita. Dalam kurikulum pendidikan formal di jenjang dasar dan menengah di Indonesia, elemen gambar masih terabaikan peranannya sebagai medium komunikasi. Pembelajaran menggambar sekalipun belum ditujukan untuk meningkatkan kecakapan komunikasi visual, bentuk ekspresi kreatif. Menggambar hanya untuk mengasah kecakapan seni saja.

Padahal bentuk berpikir kritis terhadap elemen visual dapat meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi (high order thinking skill). Pembelajaran dengan melakukan analisis dan menginterpretasikan makna elemen visual, tidak hanya sampai memahaminya, melainkan juga harus mengerti bagaimana keterkaitan elemen visual tersebut dengan diri mereka. Menjadikan literasi visual sebagai bentuk berpikir kritis dapat meningkatkan kapasitas intelektual kita, melalui cara :
(1). Menginterpretasikan konten-konten yang terkandung dalam gambar.
(2). Menyelidiki dampak yang ditimbulkan oleh suatu gambar.
(3). Mendikusikan berbagai kemungkinan makna dari suatu gambar.
(4). Membaca dan menginterpretasikan suatu gambar.
(5). Membuat opini mengenai keakuratan, validitas, dan kandungan suatu gambar.


HARI ESOK.
Vincent van Gogh mengatakan : “A good picture is equivalent to a good deed”. Apakah persoalan karakter yang tak kunjung ada titik temu dalam pendidikan kita dikarenakan masih diabaikannya literasi visual? Lalu, dengan apa kita menghadapi hoax dan era post-truth? Akankah anak-anak kita menjadi generasi emas seperti yang kita impikan?.


Aris Munandar – Rumah Matahari Pagi.

Kamis, 10 Januari 2019

RUMAH KITA

Januari 10, 2019




“...Lebih baik disini, rumah kita sendiri...” (God Bless. Sumber: liriklaguindonesia.com).

TIGA RUMAH PENDIDIKAN INDONESIA.

Pemerintah dalam mengemban amanat UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa telah beritikad baik. Melalui Undang-Undang (UU) No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) mengakomodasi seluruh masyarakat melalui 3 rumah (baca: jalur) pendidikan, yaitu formal, non formal, dan informal.

Pendidikan informal, dalam UU tersebut, diartikan sebagai jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Dalam Kamu Besar Bahasa Indonesia sendiri, ‘informal’ diartikan “tidak resmi”. Ini artinya, berbeda dengan jalur pendidikan formal dan non formal yang menysratkan adanya legalitas dalam penyelenggaraannya. Jalur pendidikan informal tentu saja tidak diharuskan adanya legalitas tersebut.

Meskipun demikian, Pemerintah tetap saja bertanggung jawab dalam menjamin mutu jalur pendidikan informal. Hal tersebut seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan.

Hal ini dilakukan didasarkan atas satu kesadaran bahwa tantangan yang dihadapi berasal dari tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan juga global. Dewasa ini tuntutan itu berasal dari hadirnya Revolusi Industri 4.0. Revolusi ini berbasis semakin pesatnya digitalisasi manufaktur. Terdapat 4 faktor yang menjadi pendorongnya, yaitu : (1) peningkatan volume data, kekuatan komputasi, dan konektivitas; (2) munculnya analisis, kemampuan, dan kecerdasan bisnis; (3) terjadinya bentuk interaksi baru antara manusia dengan mesin; (4) perbaikan instruksi transfer digital ke dunia fisik (Lee dkk, 2013 dalam Yahya, 2018).

Paralel dengan fenomena tersebut, World Economic Forum 2015 merilis The Future Jobs Report yang berisi 10 keterampilan yang dibutuhkan pada tahun 2020. 3 posisi teratas ditempati oleh keterampilan pemecahan masalah, kreatifitas, dan kolaborasi. Kesemuanya berintikan literasi.

LITERASI JIWA PENDIDIKAN ZAMAN NOW.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, dalam sambutan pada buku Materi Pendukung Gerakan Literasi Nasional menyatakan bahwa masyarakat yang besar ditandai dengan masyarakatnya yang literat, yang memiliki peradaban tinggi, dan aktif memajukan masyarakat dunia. Lebih jauh lagi beliau memaparkan jika keliterasian bukan hanya masalah bagaimana suatu bangsa bebas dari buta aksara, melainkan juga yang lebih penting, bagaimana warga bangsa memiliki kecakapan hidup agar mampu bersaing dan bersanding dengan bangsa lain untuk menciptakan kesejahteraan dunia. Dengan kata lain, bangsa dengan budaya literasi tinggi menunjukkan  kemampuan  bangsa  tersebut  berkolaborasi,  berpikir  kritis, kreatif, komunikatif sehingga dapat memenangi persaingan global.

Konferensi Unesco mengukuhkan literasi informasi sebagai tatanan budaya literasi dunia, yang meliputi tahapan, yaitu : literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi teknologi, dan literasi visual (Iskandar, 2018). Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang dicanangkan pada tahun 2016 fokus pada 6 literasi dasar, yakni: literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, serta literasi budaya dan kewargaan. GLN dimaksudkan untuk membangun budaya literasi diseluruh ranah pendidikan. Literasi merupakan jiwa dari 3 rumah pendidikan Indonesia, baik itu formal, non formal, maupun informal.

DIKEMANAKAN RUMAH KITA?.

Dalam peraturan perundang-undangan, supaya dapat dilaksanakan memerlukan peraturan pelaksananya. Dalam hal ini, UU No.20 tentang Sisdiknas memberi waktu selama 2 tahun. Salah satu peraturan pelaksana tersebut dalah Permendiknas No. 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan.

Kita ambil contoh kasus sebagai gambaran, jika ada Rumah Baca, Taman Baca, Taman Bacaan Masyarakat, Komunitas Literasi (selanjutnya disebut TBM) yang ada di suatu daerah. Sebagian diantara mereka tergabung dalam wadah, forum, atau apapun. Sebagian besar yang tergabung itu, mereka berada di rumah informal, atau bergerak di jalur pendidikan informal. Hal ini adalah sebuah pilihan, sama seperti pilihan kawan-kawan mereka yang bergerak di rumah/jalur pendidikan formal dan non formal.

Dalam Permendiknas  No. 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan disebutkan bahwa penjaminan mutu pendidikan informal dilaksanakan oleh masyarakat baik secara perseorangan, kelompok, maupun kelembagaan (pasal 9 ayat (1)). Penjaminan mutu pendidikan informal oleh masyarakat dapat dibantu dan/atau diberi kemudahan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah (pasal 9 ayat (2)). Bantuan dan/atau kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berbentuk: (a). pendirian perpustakaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan; (b). penyediaan bahan pustaka pada Perpustakaan Nasional, perpustakaan daerah provinsi, perpustakaan daerah kabupaten atau kota, perpustakaan kecamatan, perpustakaan desa, dan/atau taman bacaan masyarakat (TBM); (c). pemberian bantuan dan/atau kemudahan pendirian dan/atau pengoperasian perpustakaan milik masyarakat seperti perpustakaan di tempat ibadah; (d). pemberian kemudahan akses ke sumber belajar multi media di perpustakaan bukan satuan pendidikan formal dan nonformal. (e). pemberian bantuan dan/atau kemudahan pendirian dan/atau pengoperasian toko buku kategori usaha kecil milik masyarakat di daerah yang belum memiliki toko buku atau jumlah toko bukunya belum mencukupi kebutuhan; (f). kebijakan perbukuan nonteks yang mendorong harga buku nonteks terjangkau oleh rakyat banyak; (g). pemberian subsidi atau penghargaan kepada penulis buku nonteks dan nonjurnal-ilmiah yang berprestasi dalam pendidikan informal; (h). pemberian penghargaan kepada media masa yang berprestasi dalam menyiarkan atau mempublikasikan materi pembelajaran informal kepada masyarakat; (i). pemberian penghargaan kepada anggota masyarakat yang berprestasi atau kreatif dalam menghasilkan film hiburan yang sarat pembelajaran informal; (j). pemberian penghargaan kepada tokoh masyarakat yang berprestasi atau kreatif dalam pembelajaran informal masyarakat ; (k). pemberian penghargaan kepada anggota masyarakat yang sukses melakukan pembelajaran informal secara otodidaktif; (l). pemberian layanan ujian kesetaraan sesuai peraturan perundang-undangan; serta (m). kegiatan lain yang membantu dan/atau mempermudah pembelajaran informal oleh masyarakat (pasal 9 ayat (3)).

Lalu, bagaimana jika ada pemerintah daerah (atau pejabat dinas tertentu di pemerintah daerah, yang kita sebut saja Pemda karena mewakili institusi tersebut), entah itu ditingkat provinsi atau di tingkat kota/kabupaten dan entah dimana pula. Jika ada Pemda yang “menggusur” mereka yang berada dirumah pendidikan informal. Kemudian, “memaksa” mereka supaya masuk ke rumah pendidikan non formal.

Pertanyaan pertama: apakah pemerataan kesempatan pendidikan dapat terjamin?. Pertanyaan kedua dan seribu pertanyaan berikutnya kita ilustrasikan saja. Bahwa rendahnya minat baca Indonesia, dalam banyak kasus telah dibuktikan, lebih dikarenakan sangat kurangnya masyarakat terhadap akses bahan pustaka. Bagaimana jadinya jika masyarakat seperti yang disebutkan dalam contoh kasus diatas, mereka yang memilih berada di rumah informal. Mereka yang memiliki kesadaran, kepedulian, dan empati untuk menyediakan akses terhadap bahan pustaka. Mereka yang hanya untuk menyelenggarakan kegiatannya saja berjuang mati-matian. Kemudian dibenturkan pada “keharusan” memiliki legalitas menjadi lembaga pendidikan non formal. Apakah kesadaran, kepedulian, dan empati tersebut harus “kalah”?.

SEBAIK-BAIKNYA, SEHORMAT-HORMATNYA.

Meminjam perkataan Pramoedya Ananta Toer dalam salah satu fragmen novel Bumi Manusia bahwa kita harus “melawan” dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Dalam konteks keliterasian, tulisan ini merupakan dalam rangka hal tersebut. Menulis (tentu saja bernilai sama dengan membaca tulisan ini) sebagai upaya mengembangkan budaya literasi. Pintu masuk untuk mengembangkan budaya literasi bangsa adalah melalui penyediaan bahan bacaan dan peningkatan minat baca. Sebagai  bagian  penting  dari  penumbuhan  budi  pekerti,  minat  baca perlu selalu dipupuk. Minat baca yang  tinggi,  didukung  dengan  ketersediaan  bahan  bacaan  yang  bermutu dan terjangkau, akan mendorong pembiasaan membaca dan menulis. Dengan kemampuan membaca ini pula literasi dasar berikutnya (numerasi, sains, digital, finansial, serta budaya dan kewargaan) dapat ditumbuhkembangkan (Effendy, 2018).


Aris Munandar - Matahari Pagi.

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"