“Reading is the basic tool in the living of good life” (Mortimer
Adler, 1967).
INTERNET ITU CEPAT,
BUKAN GRASA-GRUSU.
Kemahiran membaca (reading literacy) merupakan conditio sine quanon bagi kita untuk
memperoleh kemajuan. Kemajuan itu, kini semakin pesat sering dengan adanya
internet. Kecepatan informasi yang diberikan oleh internet membawa kita pada
dunia yang sama sekali baru. Bahkan melahirkan mahluk baru, digital natives, yang sering disebut millenials. Mereka, meskipun merupakan
anak-anak kita, seolah memiliki asal yang berbeda dengan kita. Kecepatan internet
memberikan kita segala kemudahan, seolah menghapus jarak dan waktu. Disamping itu
juga melahirkan sikap : we grab and go.
Bangsa Indonesia,
ditengah riuh rendahnya gerakan literasi yang kian masif didengungkan, adalah potret
keberagaman. Keberagaman dalam konteks ini merupakan keberagaman peradaban dan
kebudayaan literasi. Zaman kelisanan, naskah, literasi, dan kelisanan kedua
terentang secara serempak (simultan) dan bertumpuk (Saryono, tanpa tahun). Kelisanan
sekunder merupakan zaman terkini yang disangga oleh era digital. Zaman ini
menghadirkan bacaan multimodal, yaitu yang melibatkan dua atau lebih sistem
semiotika (sebagai pembanding baca: LITERASI DAN HARI ESOK).
Kehadiran kelisanan
sekunder tanpa adanya fondasi literasi baca-tulis yang kuat akan membuat kita
kikuk, panik, dan ketakutan (simak TENTANG MEMBACA, LITERASI, DAN KITA).
Bagaimana tidak khawatir dengan hadirnya fenomena sumbu pendek dan maraknya
hoaks. Belum lagi hantu pornografi dan sadisme dalam dark web. Disamping itu, musuh intelektualitas, berupa plagiat atau
asal comot tulisan orang lain kian marak.
Sisi negatif sikap we grab and go adalah kemalasan. Hal ini
sebagai akibat dari tidak perlunya lagi kita mencari-cari informasi. Sebaliknya,
informasilah yang menyerbu dan membanjiri kita selama 24 jam tanpa henti. Mereka
menerabas batas-batas ruang privasi kita. Namun harus diingat, infomrasi tersebut
adalah informasi instan. Tak jarang diantaranya merupakan informasi yang cacat,
salah, dan terpapar hoaks.
Terlalu banyak
mengkonsumsi informasi instan tanpa melakukan pendalaman, bisa membuat kita
mengalami kedangkalan berpikir. Lalu, bagaimana cara mengatasinya? Dengan membaca.
MEMBACA ITU PROSES
KESADARAN KRITIS-KREATIF.
Membaca dalam konteks
ini tidak dipisahkan dengan menulis. Sehingga frasa membaca didalamnya sudah
terkandung makna kegiatan baca-tulis (keterkaitan antara menulis dan membaca bisa disimak DISINI).
Dalam konteks ini pula : kegiatan membaca artikel di koran, majalah, atau blog;
membaca lini masa atau chat di media
sosial; membaca pesan singkat atau email.
Semua kegiatan membaca tersebut tidak termasuk dalam kategori membaca yang
dimaksud disini.
Yang dimaksud membaca
disini adalah suatu kegiatan dengan ruang lingkup seperti yang diberikan oleh Goodman
(1967), yaitu : reading by the lines,
reading between the lines, dan reading beyond the lines. Sehingga,
membaca adalah proses recording dan decoding (Anderson, 1972).
Dengan pemahaman
tersebut, berapa banyak diantara kita yang membaca buku secara reguler? Seberapa
sering kita berdialog dengan buku yang kita baca? Atau, untuk para pegiat
literasi, sudahkah kita melakukan sosialisasi tentang bagaimana menjadi pembaca
yang baik? Pernahkah kita memfasilitasi anak-anak kita berdialog dengan buku
yang mereka baca? Seperti apa berdialog dengan buku itu?.
SLOW READING DAN
SCAFFOLDING.
David Mikics (2013)
dalam bukunya Slow Reading in Hurried Age
secara komprehensif menjelaskan mengenai slow
reading hingga penerapannya. Disebutkan jika slow reading merupakan panduan untuk mendapatkan kesenangan
tertinggi dalam membaca. Slow reading
merupakan kegiatan aktif. Semakin serius dan aktif kita membaca maka kita akan
semakin mendalami buku tersebut, meninjau ulang, mengevaluasi kembali, termasuk
mengevaluasi diri.
Slow reading ini merupakan antidote
terhadap dorongan yang kuat terhadap kehidupan yang serba cepat. Membaca merupakan
aktivitas kreatif, sepertihalnya menulis. Sehingga kita membutuhkan fokus dan
kecermatan. Slow reading membawa kita
secara bertahap kepada yang dimaksud oleh penulisnya. Kecermatan berarti
penemuan.
Untuk membentuk
fondasi literasi yang kuat pada anak-anak, banyak pilihan sebenarnya, misalnya kita bisa menggunakan metode scaffolding (mengenai scaffolding dan
penerapannya bisa disimak DISINI).
Dengan scaffolding ini akan memberikan dampak terhadap anak-anak, diantaranya :
(1) memotivasi dan menarik perhatian anak-anak terhadap pembelajaran; (2)
menyederhanakan pembelajaran sehingga lebih mudah dikuasai dan diserap; (3)
membantu anak-anak untuk tetap fokus terhadap sasaran pembelajaran; (4)
menyajikan pembelajaran yang menyenangkan.
Pada akhirnya, hanya
dengan membangun kedekatan dengan buku, minat baca kita akan tumbuh dan
berkembang.
Aris Munandar – Pegiat di Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar