Jumat, 17 Agustus 2018

PERJALANAN RESIDENSI LITERASI FINANSIAL : LELAKI INI




LELAKI INI

Lelaki ini yang kan kau dapati
Lelaki dengan komitmen yang tak mengenal kadaluarsa
Lelaki yang kan memberikan yang terbaik yang mampu dilakukan
Lelaki dengan keutuhan cinta yang paripurna

Lelaki inilah yang kan kau dapati

(fragmen ke-VIII Puisi : “Prasasti untuk Sebuah Perubahan” dari Buku : “Bintang Timur, Sehimpun Puisi”).

Puisi yang masih berupa imaji saat ditulis ini seakan menemukan pembuktiannya kembali pada waktu pelaksanaan Residensi Penggiat TBM bertema Literasi Finansial di Warung Baca Lebakwangi (WARABAL), Parung-Bogor. Kegiatan itu sendiri dihelat dari tanggal 3 – 6 Juli 2018 atas prakarsa Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat sub Pendidikan Keaksaraan dan Budaya Baca Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, bersama Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM).

Sosok “lelaki ini” tersebut langsung saya lekatkan pada Pakde (demikian saya menyebut suami dari Bude Kiswanti, founder WARABAL). Hal yang tentu saja tidak berlebihan jika kita menyaksikan peran strategisnya dalam menyukseskan acara tersebut. Beliau memang tidak menampakan diri dibawah “lampu sorot”, namun pengamatan saya, jelas sekali bagaimana beliau memastikan segala sesuatunya berjalan dengan baik.

Sejenak kita sedikit tinjau artikel yang berjudul “Wanita (Tak) Dijajah Pria Sejak Dulu?” yang dimuat di historia.id (http://historia.id/buku/wanita-tak-dijajah-pria-sejak-dulu/4#detail-article). Pertentangan kedudukan antara laki-laki dengan perempuan memang memiliki daya tarik tersendiri. Artikel yang ditulis oleh MF Mukhti tersebut juga sebuah tinjauan terhadap disertasi Titi Surti Nastiti di Universitas Indonesia, kini menjadi seorang peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Menarik disimak, ternyata ketidaksetaraan kedudukan perempuan dari laki-laki didapati setelah masuknya kebudayaan India. Namun demikian, dalam sejarah kedudukan tersebut tidak selamanya perempuan lebih rendah dibanding laki-laki, malah ditemukan kondisi sebaliknya. Dicontohkan bagaimana Sri Isanatunggawijaya adalah seorang ratu sebagaimana disebutkan dalam prasasti Silet (1019 M) dan prasasti Pucanan (1037 M dan 1041 M).

Demikian juga, kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan bukanlah perkara baru bagi kita. Bukti artefaktual maupun berita Tiongkok dan Portugis menunjukan hal tersebut. Kesetaraan tersebut dituangkan dalam bentuk pembagian kerja baik di wilayah domestik maupun publik. Kesetaraan menempatkan laki-laki dengan perempuan sebagai mitra sejajar.

Kembali ke cerita Pakde dan akan kita sambung dengan Mas Ariful (Sekjen PP FTBM) yang menggambarkan daur hidup sebuah entitas (dalam konteks ini WARABAL). Beliau membagi daur hidup tersebut menjadi terdiri dari tahapan : latar belakang, merintis, tumbuh, matang, menurun, kemudian diharapkan dapat terlahir kembali. Saya membayangkan sebuah kekuatan yang menjadi energi bagi WARABAL dari bagaimana dirintis, tumbuh, matang, hingga sekarang bersiap untuk terlahir kembali oleh generasi keduanya. Kekuatan tersebut adalah kebesaran hati dari Pakde dalam membungkus latar belakang atau sebut saja sebagai “dendam” masa lalu Bude Kis menjadi kekuatan yang positif. Apakah isi dari kebesaran hati tersebut? Tentu saja cinta yang tak berbatas, cinta yang telah melahirkan generasi kedua WARABAL.

Saya ingin mengatakan bahwa bagaimana cinta yang tidak buta bisa menempatkan laki-laki denga perempuan sebagai mitra sejajar, menjalin saling pengertian dalam membagi dan mendudukan tugas masing-masing. Lebih dari itu, disini keluarga sudah terbangun sebagai sebuah sistem yang merupakan kesatuan bagian-bagian fungsi untuk menyelesaikan seperangkat tujuan. Tingkat literasi pada sebuah keluarga juga memberikan ruang bagi keilmiahan berpikir dalam merumuskan perencanaan dan pengorganisasian. Seperangkat aspek yang membentuk sistem tersebut difungsikan untuk menginternalisasi tata nilai, yakni tanggung jawab.

Sudah selayaknya memang jika para orangtua menjadi teladan bagi anak-anaknya, sehingga mereka dapat melihat contoh dalam keseharian. Tanggung jawab merupaka bagian dari paket nilai inti bersama kejujuran dan disiplin. Membangkitkan etos berupa kerja keras, kemandirian, dan kesederhanaan. Sehingga yang terlihat dalam keseharian tadi adalah sikap yang adil, berani, dan peduli. Seperangkat tata nilai yang disebut sebagai integritas.

Pakde dan Bude telah menjelma menjadi contoh bagi keluarganya, hendaknya kita juga menjadi contoh bagi keluarga masing-masing. Sebagai penutup, literasi keluarga adalah inti yang bisa berdimensi ke sekolah dan masyarakat.


Aris Munandar – Pegiat di Matahari Pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"