LELAKI INI
Lelaki ini yang kan kau dapati
Lelaki dengan komitmen yang tak mengenal kadaluarsa
Lelaki yang kan memberikan yang terbaik yang mampu dilakukan
Lelaki dengan keutuhan cinta yang paripurna
Lelaki inilah yang kan kau dapati
(fragmen ke-VIII Puisi
: “Prasasti untuk Sebuah Perubahan” dari Buku : “Bintang Timur, Sehimpun Puisi”).
Puisi yang masih
berupa imaji saat ditulis ini seakan menemukan pembuktiannya kembali pada waktu
pelaksanaan Residensi Penggiat TBM bertema Literasi Finansial di Warung Baca
Lebakwangi (WARABAL), Parung-Bogor. Kegiatan itu sendiri dihelat dari tanggal 3
– 6 Juli 2018 atas prakarsa Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan
Pendidikan Masyarakat sub Pendidikan Keaksaraan dan Budaya Baca Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, bersama Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM).
Sosok “lelaki ini”
tersebut langsung saya lekatkan pada Pakde (demikian saya menyebut suami dari
Bude Kiswanti, founder WARABAL). Hal yang tentu saja tidak berlebihan jika kita
menyaksikan peran strategisnya dalam menyukseskan acara tersebut. Beliau memang
tidak menampakan diri dibawah “lampu sorot”, namun pengamatan saya, jelas
sekali bagaimana beliau memastikan segala sesuatunya berjalan dengan baik.
Sejenak kita sedikit
tinjau artikel yang berjudul “Wanita (Tak) Dijajah Pria Sejak Dulu?” yang
dimuat di historia.id (http://historia.id/buku/wanita-tak-dijajah-pria-sejak-dulu/4#detail-article).
Pertentangan kedudukan antara laki-laki dengan perempuan memang memiliki daya
tarik tersendiri. Artikel yang ditulis oleh MF Mukhti tersebut juga sebuah
tinjauan terhadap disertasi Titi Surti Nastiti di Universitas Indonesia, kini
menjadi seorang peneliti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Menarik disimak,
ternyata ketidaksetaraan kedudukan perempuan dari laki-laki didapati setelah
masuknya kebudayaan India. Namun demikian, dalam sejarah kedudukan tersebut
tidak selamanya perempuan lebih rendah dibanding laki-laki, malah ditemukan
kondisi sebaliknya. Dicontohkan bagaimana Sri Isanatunggawijaya adalah seorang
ratu sebagaimana disebutkan dalam prasasti Silet (1019 M) dan prasasti Pucanan
(1037 M dan 1041 M).
Demikian juga,
kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan bukanlah perkara baru bagi kita. Bukti
artefaktual maupun berita Tiongkok dan Portugis menunjukan hal tersebut. Kesetaraan
tersebut dituangkan dalam bentuk pembagian kerja baik di wilayah domestik
maupun publik. Kesetaraan menempatkan laki-laki dengan perempuan sebagai mitra
sejajar.
Kembali ke cerita
Pakde dan akan kita sambung dengan Mas Ariful (Sekjen PP FTBM) yang menggambarkan
daur hidup sebuah entitas (dalam konteks ini WARABAL). Beliau membagi daur
hidup tersebut menjadi terdiri dari tahapan : latar belakang, merintis, tumbuh,
matang, menurun, kemudian diharapkan dapat terlahir kembali. Saya membayangkan
sebuah kekuatan yang menjadi energi bagi WARABAL dari bagaimana dirintis,
tumbuh, matang, hingga sekarang bersiap untuk terlahir kembali oleh generasi
keduanya. Kekuatan tersebut adalah kebesaran hati dari Pakde dalam membungkus
latar belakang atau sebut saja sebagai “dendam” masa lalu Bude Kis menjadi
kekuatan yang positif. Apakah isi dari kebesaran hati tersebut? Tentu saja
cinta yang tak berbatas, cinta yang telah melahirkan generasi kedua WARABAL.
Saya ingin mengatakan
bahwa bagaimana cinta yang tidak buta bisa menempatkan laki-laki denga
perempuan sebagai mitra sejajar, menjalin saling pengertian dalam membagi dan
mendudukan tugas masing-masing. Lebih dari itu, disini keluarga sudah terbangun
sebagai sebuah sistem yang merupakan kesatuan bagian-bagian fungsi untuk
menyelesaikan seperangkat tujuan. Tingkat literasi pada sebuah keluarga juga
memberikan ruang bagi keilmiahan berpikir dalam merumuskan perencanaan dan
pengorganisasian. Seperangkat aspek yang membentuk sistem tersebut difungsikan
untuk menginternalisasi tata nilai, yakni tanggung jawab.
Sudah selayaknya
memang jika para orangtua menjadi teladan bagi anak-anaknya, sehingga mereka
dapat melihat contoh dalam keseharian. Tanggung jawab merupaka bagian dari
paket nilai inti bersama kejujuran dan disiplin. Membangkitkan etos berupa
kerja keras, kemandirian, dan kesederhanaan. Sehingga yang terlihat dalam
keseharian tadi adalah sikap yang adil, berani, dan peduli. Seperangkat tata
nilai yang disebut sebagai integritas.
Pakde dan Bude telah
menjelma menjadi contoh bagi keluarganya, hendaknya kita juga menjadi contoh
bagi keluarga masing-masing. Sebagai penutup, literasi keluarga adalah inti
yang bisa berdimensi ke sekolah dan masyarakat.
Aris Munandar – Pegiat di Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar