Selasa, 14 Agustus 2018

KELUARGA LITERAT, ANAK CERDAS



Keluarga sebagai sebuah sistem yang merupakan kesatuan bagian-bagian fungsi untuk menyelesaikan seperangkat tujuan, merupakan komponen utama dalam setiap sendi kehidupan, tidak terkecuali Pendidikan. Anggapan bahwa pendidikan hanya merupakan tanggung jawab sekolah sebagai pelaksana dan pemerintah sebagai regulator, telah menjadi anggapan usang. Hal itu tidak lepas dari perubahan yang sedang kita hadapi sekarang, yakni revolusi industri 4.0.


Perubahan yang terjadi berbasiskan teknologi informasi, dimana sekarang kita berada pada era internet of things (IoT). Setiap kita diserbu oleh derasnya beragam informasi selama 24 jam non-stop. Tentu saja, hal tersebut memilik 2 dampak yang saling bertolak belakang, yakni dampak positif dan negatif. Terhadap keduanya, kita dituntut cerdas dalam menyikapinya. Tidak terkecuali bagi keluarga, sebagai satu kesatuan sistem.


Teknologi informasi sebagai sebuah konfigurasi modern saat ini, maka keluarga pun harus bertransformasi sehingga dapat relevan dan kontekstual keberadaannya. Ciri keluarga modern dapat dilihat dari beberapa parameter, yaitu : keilmiahan berpikir, pemanfaatan relasi birokrasi, sistem administrasi, efektifitas penggunaan teknologi, pengorganisasian, perencanaan. Dari parameter tersebut terlihat jelas pendidikan dilingkungan keluarga menjadi semakin vital keberadaannya.


Senapas dengan hal tersebut, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menginisiasi Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang sudah berjalan sejak tahun 2016. GLN berintikan 6 literasi dasar, yakni : literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, literasi budaya dan kewargaan. Hal tersebut didasari oleh kesadaran bahwa abad 21 sebagai abad literasi, senada dengan kesepakatan dalam World Economic Forum 2015.


Sebagai salah satu sasaran GLN, keluarga dianggap sebagai salah satu pilar utama untuk dapat menciptakan ekosistem pendidikan yang baik. Keluarga literat bukan hanya anggotanya (orangtua maupun anak) sebagai konsumen informasi dan pengetahuan, tetapi juga melakukan reproduksi informasi dan pengetahuan. Informasi dan pengetahuan yang disajikan oleh teknologi internat tidak serta merta kita telan mentah-mentah. Tetapi terlebih dahulu diendapkan, dipilah, dan diteliti kembali kesahihannya. Setelah dapat dipertanggungjawabkan sumbernya, kita jadikan yang demikian sebagai referensi dalam membangun gagasan atau ide kita.


Anak-anak kita adalah generasi digital (digital natives). Sofie Dewayani (2017) menggambarkan karakteristik mengenai mereka sebagai yang memiliki kemampuan untuk memahami perangkat digital dan menggunakannya dengan mudah. Seolah-olah, mereka terlahir dengan kemampuan untuk memahami “logika” di balik mekanisme bekerjanya sebuah perangkat digital. Keakraban generasi modern dengan perangkat teknologi memang masih bersifat pasif. Namun demikian, anak-anak kita harus dibekali kecakapan sebagai berikut (Dewayani, 2017):


Pertama, anak-anak kita harus menjadi pengguna yang bijak. Salah satu kemampuan  dasar penggunaan teknologi adalah memahami manfaat teknologi dan menggunakannya dengan bijak sesuai dengan jenjang usia. Misalnya, dalam mengakses internet, anak-anak kita perlu mengetahui konten yang aman dan baik untuk mereka.

Kedua, anak-anak kita harus menjadi pengguna kreatif. Salah satunya, anak-anak dapat menggunakan teknologi internet untuk mengeksplorasi kreativitas, berkarya, dan mengasah kepedulian mereka. Saat ini banyak anak muda menggalang dukungan pengguna sosial media dalam merespons isu-isu sosial dan politik.

Ketiga, anak-anak kita harus menjadi pengguna kritis. Anak-anak yang memiliki keterampilan untuk memahami serta mengidentifikasi kepentingan atau ideologi di balik penulisan atau penyebaran informasi di sosial media.

Keempat, anak-anak kita harus menjadi pengguna produktif. Perangkat teknologi dapat meningkatkan kemampuan artikulasi gagasan anak-anak kita. Teknologi memiliki fitur bahasa, visual, serta audiovisual yang meluaskan ragam penyajian informasi dan gagasan. Saat ini, pelajaran pemograman bahkan dapat dipelajari oleh anak-anak di jenjang pendidikan dasar. Keterampilan ini mendorong kemampuan inovasi anak-anak kita melalui teknologi. Aplikasi dan pemainan daring adalah sedikit dari inovasi yang dapat diciptakan anak-anak kita dan menjadikan mereka pengguna teknologi yang produktif.

Dalam keberhasilan anak-anak kita dalam menempuh pendidikan, salah satunya ditentukan seberapa banyak mereka memiliki pengetahuan latar (background knowledge). Kita sebagai orangtua, tentu saja memiliki peran yang sangat besar dalam memberikan ragam pengetahuan latar yang dapat menunjang keberhasilan pendidikan mereka. Dua jenis pengalaman yang berasal dari stimulus lingkungan (Garner, 1993), yaitu : crystallizing experiences dan paralyzing experiences. Crystallizing experiences adalah pengalaman seseorang dari informasi yang diterima sehingga memberikan kekuatan positif dirinya. Sedangkan paralyzing experiences merupakan pengalaman seseorang dari informasi yang mematikan semangat dan motivasinya dalam proses belajar.

Selain itu menurut Anisa Cahya Ningrum, psikolog dari Unversitas Respati Indonesia (Jakarta) dan juga alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada Jakarta serta Founder Cahya Communication (diakses dari : https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4693) bahwa terdapat 6 aspek dari anak, terutama yang telah memasuki masa remaja, yang harus mendapatkan perhatian orangtua.

Pertama adalah aspek fisik. Memasuki usia remaja, anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan perubahan tubuh, namun organ seksualnya belum berfungsi, faktor hormonal, mengubah tubuh, bertambah besar dan tinggi, emosional, sensitif, sosialnya berubah. Orang tua perlu memastikan bahwa dari sisi fisik, anak remajanya  tumbuh dengan baik.

Kedua, aspek kognitif. Pada perkembangan ini orang tua harus memahami kecerdasan pada menstimulasi sesuai tahapan. Anak harus mulai difasilitasi kebutuhan eksplorasi, mengajak diskusi, memberi kesempatan berpendapat, dan tidak memaksakan di luar kemampuan kognitifnya.

Ketiga, aspek emosi. Pada tahapan ini kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati, keterampilan sosial. Orangtua harus memberikan kesadaran tentang ekspresi emosi, memotivasi untuk berekspresi secara baik, memberikan contoh pengendalian diri, mengapresiasi perilaku empati, dan mempraktikkan berinteraksi sosial dengan baik.

Keempat, aspek sosial. Pada tahapan ini orang tua harus memposisikan selalu hadir ketika dibutuhkan, memberi apresiasi atas usaha yang dilakukan, mendukung untuk berkreasi dan produktif, mengenali kelebihan dan kekurangan diri, dan menjadi  contoh cara berinteraksi dengan orang lain.

Kelima, aspek moral. Remaja harus diberikan pemahaman bahwa aturan itu penting. Pentingnya konsisten menerapkan aturan, pengenalan magic word, dan tanamkan kepercayaan.

Keenam, aspek psikoseksual. Pada diri remaja, harus ada tanamkan budaya malu, menggunakan istilah netral, mengajarkan tentang privasi, mengenalkan kondisi darurat dan cara menghadapinya, dan yang terakhir adalah memberikan pendidikan seksual.

Keenam aspek ini harus dilakukan secara bertahap dan konsisten. Remaja harus dipahami secara benar sehingga karakternya menjadi pribadi baik. Perkembangan pola pikir dan perilaku mereka harus disiapkan dengan tepat. Untuk itu dibutuhkan tipe orangtua yang tepat untuk dapat mempersiapkan anak-anaknya.

Tipe orangtua seperti apakah yang dibutuhkan oleh anak-anak untuk mengoptimalkan tumbuh kembangnya?. Tiper orangtua tersebut mencerminkan pola asuh yang dilakukan terhadap anak-anaknya. Tidak jarang pola asuh tersebut menimbulkan kesalahan dalam pengasuhan atau miseducation. Setidaknya terdapat 8 pola pengasuhan (parenting style) yang dapat dikenali (Elkind, 1989). Pola asuh yang ideal adalah tipe milk and cookies parents. Selain itu ada tipe college degree parents (orangtua intelek) dan do-it yourself parents. Yang bisa menyebabkan miseducation adalah tipe gourmet parents (orangtua borju), gold medal parents (orangtua selebriti), outward bound parents (orangtua paranoid), prodigy parents (orangtua instan),encounter group parents (orangtua ngerumpi).

Mengenali harus seperti apa tipe kita sebagai orangtua dalam mendidik anak sangat berguna nantinya. Hal tersebut karena terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan pendidikan anak kita nantinya. Pola asuh hendaknya menjadikan kita (orangtua dan anak sebagai satu kesatuan sistem dalam keluarga) menjadi semakin dekat secara emosi, dapat berkomunikasi dengan sehat, menemukan “makna” (konsep) diri, membina rasa tanggung jawab, dan lebih terikat sebagai sahabat.

Keluarga sebagai titik awal pendidikan, terutama bagi anak-anak kita, adalah tempat mempersiapkan supaya dapat berhasil menempuhnya. Meskipun sistem pendidikan kita lebih menekankan keberhasilan dari sisi akademik, sebagai orangtua, kita harus dapat mengakomodir seluruh potensi mereka.

Misalkan apabila anak kita mengalami kesulitan dalam belajar atau bersosialisasi di sekolah, maka pengetahuan kita mengenai gaya belajar dan karakter mereka akan dapat membantu memecahkan persoalan tersebut. Apakah dalam belajar anak kita bergaya visual learner, auditory learner, atau tactile learner. Begitupun dengan karakter yang mereka miliki, apakah mereka bertempramen dominan, intim, stabil, atau cermat.

Sudah jelas keberadaan keluarga modern (baca : literat) adalah kunci dalam melahirkan generasi cerdas.


#sahabatkeluarga


Aris Munandar. Matahari Pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"