Keluarga sebagai sebuah
sistem yang merupakan kesatuan bagian-bagian fungsi untuk menyelesaikan
seperangkat tujuan, merupakan komponen utama dalam setiap sendi kehidupan,
tidak terkecuali Pendidikan. Anggapan bahwa pendidikan hanya merupakan tanggung
jawab sekolah sebagai pelaksana dan pemerintah sebagai regulator, telah menjadi
anggapan usang. Hal itu tidak lepas dari perubahan yang sedang kita hadapi
sekarang, yakni revolusi industri 4.0.
Perubahan yang
terjadi berbasiskan teknologi informasi, dimana sekarang kita berada pada era internet of things (IoT). Setiap kita
diserbu oleh derasnya beragam informasi selama 24 jam non-stop. Tentu saja, hal tersebut memilik 2 dampak yang saling
bertolak belakang, yakni dampak positif dan negatif. Terhadap keduanya, kita
dituntut cerdas dalam menyikapinya. Tidak terkecuali bagi keluarga, sebagai
satu kesatuan sistem.
Teknologi informasi
sebagai sebuah konfigurasi modern saat ini, maka keluarga pun harus
bertransformasi sehingga dapat relevan dan kontekstual keberadaannya. Ciri
keluarga modern dapat dilihat dari beberapa parameter, yaitu : keilmiahan
berpikir, pemanfaatan relasi birokrasi, sistem administrasi, efektifitas
penggunaan teknologi, pengorganisasian, perencanaan. Dari parameter tersebut
terlihat jelas pendidikan dilingkungan keluarga menjadi semakin vital
keberadaannya.
Senapas dengan hal
tersebut, pemerintah melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud)
menginisiasi Gerakan Literasi Nasional (GLN) yang sudah berjalan sejak tahun
2016. GLN berintikan 6 literasi dasar, yakni : literasi baca-tulis, literasi
numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, literasi budaya
dan kewargaan. Hal tersebut didasari oleh kesadaran bahwa abad 21 sebagai abad
literasi, senada dengan kesepakatan dalam World Economic Forum 2015.
Sebagai salah satu
sasaran GLN, keluarga dianggap sebagai salah satu pilar utama untuk dapat
menciptakan ekosistem pendidikan yang baik. Keluarga literat bukan hanya
anggotanya (orangtua maupun anak) sebagai konsumen informasi dan pengetahuan,
tetapi juga melakukan reproduksi informasi dan pengetahuan. Informasi dan
pengetahuan yang disajikan oleh teknologi internat tidak serta merta kita telan
mentah-mentah. Tetapi terlebih dahulu diendapkan, dipilah, dan diteliti kembali
kesahihannya. Setelah dapat dipertanggungjawabkan sumbernya, kita jadikan yang
demikian sebagai referensi dalam membangun gagasan atau ide kita.
Anak-anak kita adalah
generasi digital (digital natives). Sofie
Dewayani (2017) menggambarkan karakteristik mengenai mereka sebagai yang
memiliki kemampuan untuk memahami perangkat digital dan menggunakannya dengan
mudah. Seolah-olah, mereka terlahir dengan kemampuan untuk memahami “logika” di
balik mekanisme bekerjanya sebuah perangkat digital. Keakraban generasi modern
dengan perangkat teknologi memang masih bersifat pasif. Namun demikian,
anak-anak kita harus dibekali kecakapan sebagai berikut (Dewayani, 2017):
Pertama, anak-anak
kita harus menjadi pengguna yang bijak. Salah satu kemampuan dasar penggunaan teknologi adalah memahami
manfaat teknologi dan menggunakannya dengan bijak sesuai dengan jenjang usia. Misalnya,
dalam mengakses internet, anak-anak kita perlu mengetahui konten yang aman dan
baik untuk mereka.
Kedua, anak-anak kita
harus menjadi pengguna kreatif. Salah satunya, anak-anak dapat menggunakan
teknologi internet untuk mengeksplorasi kreativitas, berkarya, dan mengasah
kepedulian mereka. Saat ini banyak anak muda menggalang dukungan pengguna
sosial media dalam merespons isu-isu sosial dan politik.
Ketiga, anak-anak
kita harus menjadi pengguna kritis. Anak-anak yang memiliki keterampilan untuk
memahami serta mengidentifikasi kepentingan atau ideologi di balik penulisan atau
penyebaran informasi di sosial media.
Keempat, anak-anak
kita harus menjadi pengguna produktif. Perangkat teknologi dapat meningkatkan
kemampuan artikulasi gagasan anak-anak kita. Teknologi memiliki fitur bahasa,
visual, serta audiovisual yang meluaskan ragam penyajian informasi dan gagasan.
Saat ini, pelajaran pemograman bahkan dapat dipelajari oleh anak-anak di
jenjang pendidikan dasar. Keterampilan ini mendorong kemampuan inovasi
anak-anak kita melalui teknologi. Aplikasi dan pemainan daring adalah sedikit
dari inovasi yang dapat diciptakan anak-anak kita dan menjadikan mereka
pengguna teknologi yang produktif.
Dalam keberhasilan
anak-anak kita dalam menempuh pendidikan, salah satunya ditentukan seberapa banyak
mereka memiliki pengetahuan latar (background
knowledge). Kita sebagai orangtua, tentu saja memiliki peran yang sangat
besar dalam memberikan ragam pengetahuan latar yang dapat menunjang keberhasilan
pendidikan mereka. Dua jenis pengalaman yang berasal dari stimulus lingkungan (Garner,
1993), yaitu : crystallizing experiences
dan paralyzing experiences. Crystallizing experiences adalah pengalaman
seseorang dari informasi yang diterima sehingga memberikan kekuatan positif
dirinya. Sedangkan paralyzing experiences
merupakan pengalaman seseorang dari informasi yang mematikan semangat dan
motivasinya dalam proses belajar.
Selain itu menurut Anisa
Cahya Ningrum, psikolog dari Unversitas Respati Indonesia (Jakarta) dan juga
alumnus Psikologi Universitas Gadjah Mada Jakarta serta Founder Cahya
Communication (diakses dari : https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4693)
bahwa terdapat 6 aspek dari anak, terutama yang telah memasuki masa remaja,
yang harus mendapatkan perhatian orangtua.
Pertama adalah aspek
fisik. Memasuki usia remaja, anak memasuki masa pubertas yang ditandai dengan
perubahan tubuh, namun organ seksualnya belum berfungsi, faktor hormonal,
mengubah tubuh, bertambah besar dan tinggi, emosional, sensitif, sosialnya
berubah. Orang tua perlu memastikan bahwa dari sisi fisik, anak remajanya tumbuh dengan baik.
Kedua, aspek
kognitif. Pada perkembangan ini orang tua harus memahami kecerdasan pada
menstimulasi sesuai tahapan. Anak harus mulai difasilitasi kebutuhan
eksplorasi, mengajak diskusi, memberi kesempatan berpendapat, dan tidak
memaksakan di luar kemampuan kognitifnya.
Ketiga, aspek emosi. Pada
tahapan ini kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati,
keterampilan sosial. Orangtua harus memberikan kesadaran tentang ekspresi
emosi, memotivasi untuk berekspresi secara baik, memberikan contoh pengendalian
diri, mengapresiasi perilaku empati, dan mempraktikkan berinteraksi sosial
dengan baik.
Keempat, aspek
sosial. Pada tahapan ini orang tua harus memposisikan selalu hadir ketika
dibutuhkan, memberi apresiasi atas usaha yang dilakukan, mendukung untuk
berkreasi dan produktif, mengenali kelebihan dan kekurangan diri, dan
menjadi contoh cara berinteraksi dengan
orang lain.
Kelima, aspek moral. Remaja
harus diberikan pemahaman bahwa aturan itu penting. Pentingnya konsisten
menerapkan aturan, pengenalan magic word,
dan tanamkan kepercayaan.
Keenam, aspek
psikoseksual. Pada diri remaja, harus ada tanamkan budaya malu, menggunakan
istilah netral, mengajarkan tentang privasi, mengenalkan kondisi darurat dan
cara menghadapinya, dan yang terakhir adalah memberikan pendidikan seksual.
Keenam aspek ini
harus dilakukan secara bertahap dan konsisten. Remaja harus dipahami secara
benar sehingga karakternya menjadi pribadi baik. Perkembangan pola pikir dan
perilaku mereka harus disiapkan dengan tepat. Untuk itu dibutuhkan tipe
orangtua yang tepat untuk dapat mempersiapkan anak-anaknya.
Tipe orangtua seperti
apakah yang dibutuhkan oleh anak-anak untuk mengoptimalkan tumbuh kembangnya?. Tiper
orangtua tersebut mencerminkan pola asuh yang dilakukan terhadap anak-anaknya. Tidak
jarang pola asuh tersebut menimbulkan kesalahan dalam pengasuhan atau miseducation. Setidaknya terdapat 8 pola
pengasuhan (parenting style) yang
dapat dikenali (Elkind, 1989). Pola asuh yang ideal adalah tipe milk and cookies parents. Selain itu ada
tipe college degree parents (orangtua
intelek) dan do-it yourself parents. Yang
bisa menyebabkan miseducation adalah
tipe gourmet parents (orangtua
borju), gold medal parents (orangtua
selebriti), outward bound parents
(orangtua paranoid), prodigy parents
(orangtua instan),encounter group parents
(orangtua ngerumpi).
Mengenali harus
seperti apa tipe kita sebagai orangtua dalam mendidik anak sangat berguna
nantinya. Hal tersebut karena terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi
keberhasilan pendidikan anak kita nantinya. Pola asuh hendaknya menjadikan kita
(orangtua dan anak sebagai satu kesatuan sistem dalam keluarga) menjadi semakin
dekat secara emosi, dapat berkomunikasi dengan sehat, menemukan “makna”
(konsep) diri, membina rasa tanggung jawab, dan lebih terikat sebagai sahabat.
Keluarga sebagai
titik awal pendidikan, terutama bagi anak-anak kita, adalah tempat
mempersiapkan supaya dapat berhasil menempuhnya. Meskipun sistem pendidikan
kita lebih menekankan keberhasilan dari sisi akademik, sebagai orangtua, kita
harus dapat mengakomodir seluruh potensi mereka.
Misalkan apabila anak
kita mengalami kesulitan dalam belajar atau bersosialisasi di sekolah, maka
pengetahuan kita mengenai gaya belajar dan karakter mereka akan dapat membantu
memecahkan persoalan tersebut. Apakah dalam belajar anak kita bergaya visual learner, auditory learner, atau tactile
learner. Begitupun dengan karakter yang mereka miliki, apakah mereka
bertempramen dominan, intim, stabil, atau cermat.
Sudah jelas keberadaan
keluarga modern (baca : literat) adalah kunci dalam melahirkan generasi cerdas.
#sahabatkeluarga
Aris
Munandar. Matahari
Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar