Jumat, 03 Agustus 2018

PERJALANAN RESIDENSI FINANSIAL : KETERGESAAN YANG MELANDAI


Pagi itu, sekitar pukul 7:00 WIB, saya tiba di statsiun Paledang-Bogor dari statsiun Cibadak-Sukabumi. Berangkat menggunakan kereta api Pangrango yang berangkat pukul 5:53 WIB, selama perjalanan disuguhi kerja pagi mengurai kabut menjadi embun dan menghisapnya membentuk awan. Perjalanan untuk memenuhi undangan sebagai salah satu peserta kegiatan Residensi Penggiat TBM bertema Literasi Finansial di Warung Baca Lebakwangi (WARABAL), Parung-Bogor.

Saya sengaja menunda sejenak untuk bercerita mengenai Warabal dengan Bude Kis-nya yang ibarat mata air, tak henti menginspirasi. Pun, mengenai kegiatan yang diprakarsai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat sub Pendidikan Keaksaraan dan Budaya Baca Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, bersama Forum Taman Bacaan Masyarakat.

Tiba terlalu pagi, mengingat kegiatan baru akan dimulai pukul 16:00 WIB, saya putuskan untuk menikmati seberapa mistis nuansa didaerah sekitarannya. Berjalan lurus, seperti yang selalu dilakukan oleh orang-orang suci, dari arah statsiun Paledang menuju pasar Anyar. Menyebrangi jalan dengan lalu lintas yang masih belum terlalu ramai. Dikejauhan terlihat statsiun Bogor bagaikan lubang hitam (black hole) yang menyedot setiap orang yang memasukinya kedalam ketergesaan.

Statsiun Bogor merupakan salah satu awal jalur Kereta Rel Listrik (KRL/commuter line) menuju ibu kota, Jakarta. Ketergesaan yang nampak disana adalah atmosfer yang terbawa dari kota metropolitan tersebut, yang disebut-sebut kota yang tidak pernah tertidur. Tentunya diantara kita ada yang pernah memuja bagaimana ketergesaan Jepang dengan industrialisasinya. Termasuk manusia diperlakukan seperti mesin, serba mekanis dan otomatis, yang dikontrol oleh instrumen bernama target (objectives).

Masa dimana kita dituntut untuk melakukan hal sama yang lebih baik (kaizen) semakin terlihat jauh dibelakang. Bahkan tuntutan untuk melakukan ha-hail baru (inovasi) pun seolah tidak lagi relevan. Orientasi pada kuantitas dan penguasaan yang mewajibkan kita untuk berlari mengejar, telah menjadi lembar kemarin.

Revolusi industri yang diinspirasi oleh Wealth Nations-nya Adam Smith dan di-gong-kan oleh mesin uap James Watt dalam perjalanannya telah menjadi seperti kue lapis.

Mesin uap seolah menjadi pendorong utama sehingga memicu mekanisasi produksi pada revolusi industri lapisan pertama. Lapisan berikutnya, energi listrik dan kebutuhan buruh untuk mendorong lini produksi yang berbasis assembling. Pada era ini, Marx mengimajinasikan jika buruh sebagai salah satu faktor produksi akan tampil sebagai aktor utama dalam proses kesejahteraan dunia. Lapisan ketiga dihadirkan oleh perangkat elektronik dan teknologi informasi. Pada era ini, Jepang tampil menyihir dunia dengan akrobatnya yang meminggirkan strategi (management strategic).

Industrialisasi yang telah berlapis-lapis itu tidak memberikan pilihan pada kita untuk berevolusi, untuk bergerak serba cepat, tergesa-gesa.

Hingga pada suatu ketika kita dikejutkan oleh sudut pandang lain. Dengan memasukan variabel baru, kita disuguhkan lansekap yang benar-benar baru. Kita seoelah terdampar di negeri antah berantah.

Pada awalnya di bidang pendidikan. Dunia diguncangkan dengan munculnya Finlandia sebagai negara terunggul berdasarkan hasil studi internasional mengenai kemampuan anak-anak berusia 15 tahun yang berhubungan dengan keterampilan membaca, matematika, dan sains, atau yang kita kenal sebagai PISA (Programe for International Student Assesment/Program Penilaian Siswa Internasional). Studi yang dipublikasikan oleh OEDC (Organization for Economic Development and Cooperation/Organisasi Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi) pada tahun 2001.

Pasi Sahlberg dalam pengantarnya di buku Teach Like Finland karya Timothy D Walker (2017) membongkar kiat dibalik keberhasilan tersebut. Prestasi tersebut bukanlah sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit atau hasil dari kerja mantra sim salabim. Pencapaian itu adalah buah dari reformasi yang dilakukan terhadap sistem pendidikan mereka. Menurut Sahlberg menyebutkan 5 kunci keberhasilan reformasi tersebut.

Pertama, sekolah komprehensif tempat anak-anak mulai belajar belajar ketika beranjak 7 tahun menyediakan pendidikan dan perkembangan yang seimbang, menyeluruh, dan berorientasi pada anak, serta meletakan suatu fondasi pembelajaran yang baik.

Kedua, penyelenggaraan pelatihan guru-guru yang lebih baik dan mampu menunjang keberhasilan dalam mengajar di kelas heterogen.

Ketiga, pengembangan mekanisme yang permanen demi mengamankan serta meningkatkan kesejahteraan dan kesehatan di semua sekolah.

Keempat, penguatan kepemimpinan di level tengah, yakni kepala sekolah yang juga memiliki kemampuan mengajar yang baik. Hal tersebut menciptakan hierarki yang relatif horizontal. Para pemimpin adalah para guru dan para guru adalah para pemimpin (pedagogis).

Kelima, relasi yang kuat antara sekolah, orangtua, dan masyarakat. Pengalaman sosial yang mereka lakukan pada waktu luangnya diluar sekolah akan memberikan pengetahuan latar (background knowledge) bagi mereka.  Faktor tersebut menjadi kunci dalam mendukung mereka, baik secara akademik maupun kesuksesannya kelak.

Setelah berlalu dari pemandangan ketergesaan lubang hitam statsiun Bogor, saya menyadari jika yang digaung-gaungkan saat ini sebagai revolusi industri lapis keempat adalah wajah baru. Industri yang memproduksi pengetahuan berbasis internet of things. Yang berevolusi, yang bergerak dalam ketergesaan, adalah informasi. Informasi inilah yang menginvasi kita hingga jauh ke ruang privat kita, tepat langsung membidik benak. Secara psikologis, dalam posisi yang demikian, kebanyakan kita tidak siap sehingga menjadi gagap, latah, dan membabi buta.

6 literasi dasar, terdiri dari : literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan, yang menjadi menu utama Gerakan Literasi Nasional, hanyalah sebuah awal. Kita membutuhkan keterampilan multi literasi, atau disebut sebagai literasi baru, yang saat ini sudah memasuki fase keduanya. Literasi adalah senjata kita supaya tidak tergilas oleh revolusi industri lapis keempat ini.

Seolah terenggut kembali, setelah mengembara ke puncak-puncak cakrawala terjauh. Justru karenanya saya menemukan aura mistis pagi pada keceriaan para pedagang kaki lima ketika menggelar dagangannya, pada kepul asap kopinya, dan pada semangkuk bubur yang menjadi sarapanku kali ini. Pagi di Bogor yang landai lebih menjanjikan kegairahan dibanding ketergesaan. Karena untuk menyikapi deras informasi, kita harus mampu memaknai.



Aris Munandar - Pegiat di Matahari Pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"