Pagi itu, sekitar
pukul 7:00 WIB, saya tiba di statsiun Paledang-Bogor dari statsiun Cibadak-Sukabumi.
Berangkat menggunakan kereta api Pangrango yang berangkat pukul 5:53 WIB,
selama perjalanan disuguhi kerja pagi mengurai kabut menjadi embun dan
menghisapnya membentuk awan. Perjalanan untuk memenuhi undangan sebagai salah
satu peserta kegiatan Residensi Penggiat TBM bertema Literasi Finansial di
Warung Baca Lebakwangi (WARABAL), Parung-Bogor.
Saya sengaja menunda
sejenak untuk bercerita mengenai Warabal dengan Bude Kis-nya yang ibarat mata
air, tak henti menginspirasi. Pun, mengenai kegiatan yang diprakarsai oleh
Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat sub
Pendidikan Keaksaraan dan Budaya Baca Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan,
bersama Forum Taman Bacaan Masyarakat.
Tiba terlalu pagi,
mengingat kegiatan baru akan dimulai pukul 16:00 WIB, saya putuskan untuk
menikmati seberapa mistis nuansa didaerah sekitarannya. Berjalan lurus, seperti
yang selalu dilakukan oleh orang-orang suci, dari arah statsiun Paledang menuju
pasar Anyar. Menyebrangi jalan dengan lalu lintas yang masih belum terlalu
ramai. Dikejauhan terlihat statsiun Bogor bagaikan lubang hitam (black hole) yang menyedot setiap orang
yang memasukinya kedalam ketergesaan.
Statsiun Bogor
merupakan salah satu awal jalur Kereta Rel Listrik (KRL/commuter line) menuju ibu kota, Jakarta. Ketergesaan yang nampak
disana adalah atmosfer yang terbawa dari kota metropolitan tersebut, yang
disebut-sebut kota yang tidak pernah tertidur. Tentunya diantara kita ada yang
pernah memuja bagaimana ketergesaan Jepang dengan industrialisasinya. Termasuk manusia
diperlakukan seperti mesin, serba mekanis dan otomatis, yang dikontrol oleh
instrumen bernama target (objectives).
Masa dimana kita
dituntut untuk melakukan hal sama yang lebih baik (kaizen) semakin terlihat jauh dibelakang. Bahkan tuntutan untuk
melakukan ha-hail baru (inovasi) pun seolah tidak lagi relevan. Orientasi pada
kuantitas dan penguasaan yang mewajibkan kita untuk berlari mengejar, telah menjadi
lembar kemarin.
Revolusi industri yang
diinspirasi oleh Wealth Nations-nya
Adam Smith dan di-gong-kan oleh mesin uap James Watt dalam perjalanannya telah
menjadi seperti kue lapis.
Mesin uap seolah
menjadi pendorong utama sehingga memicu mekanisasi produksi pada revolusi
industri lapisan pertama. Lapisan berikutnya, energi listrik dan kebutuhan
buruh untuk mendorong lini produksi yang berbasis assembling. Pada era ini,
Marx mengimajinasikan jika buruh sebagai salah satu faktor produksi akan tampil
sebagai aktor utama dalam proses kesejahteraan dunia. Lapisan ketiga dihadirkan
oleh perangkat elektronik dan teknologi informasi. Pada era ini, Jepang tampil
menyihir dunia dengan akrobatnya yang meminggirkan strategi (management strategic).
Industrialisasi yang
telah berlapis-lapis itu tidak memberikan pilihan pada kita untuk berevolusi,
untuk bergerak serba cepat, tergesa-gesa.
Hingga pada suatu
ketika kita dikejutkan oleh sudut pandang lain. Dengan memasukan variabel baru,
kita disuguhkan lansekap yang benar-benar baru. Kita seoelah terdampar di
negeri antah berantah.
Pada awalnya di bidang
pendidikan. Dunia diguncangkan dengan munculnya Finlandia sebagai negara
terunggul berdasarkan hasil studi internasional mengenai kemampuan anak-anak
berusia 15 tahun yang berhubungan dengan keterampilan membaca, matematika, dan
sains, atau yang kita kenal sebagai PISA (Programe
for International Student Assesment/Program Penilaian Siswa Internasional).
Studi yang dipublikasikan oleh OEDC (Organization
for Economic Development and Cooperation/Organisasi Kerjasama dan
Pengembangan Ekonomi) pada tahun 2001.
Pasi Sahlberg dalam
pengantarnya di buku Teach Like Finland
karya Timothy D Walker (2017) membongkar kiat dibalik keberhasilan tersebut. Prestasi
tersebut bukanlah sesuatu yang tiba-tiba jatuh dari langit atau hasil dari
kerja mantra sim salabim. Pencapaian itu adalah buah dari reformasi yang
dilakukan terhadap sistem pendidikan mereka. Menurut Sahlberg menyebutkan 5
kunci keberhasilan reformasi tersebut.
Pertama, sekolah
komprehensif tempat anak-anak mulai belajar belajar ketika beranjak 7 tahun
menyediakan pendidikan dan perkembangan yang seimbang, menyeluruh, dan
berorientasi pada anak, serta meletakan suatu fondasi pembelajaran yang baik.
Kedua, penyelenggaraan
pelatihan guru-guru yang lebih baik dan mampu menunjang keberhasilan dalam
mengajar di kelas heterogen.
Ketiga, pengembangan
mekanisme yang permanen demi mengamankan serta meningkatkan kesejahteraan dan
kesehatan di semua sekolah.
Keempat, penguatan
kepemimpinan di level tengah, yakni kepala sekolah yang juga memiliki kemampuan
mengajar yang baik. Hal tersebut menciptakan hierarki yang relatif horizontal. Para
pemimpin adalah para guru dan para guru adalah para pemimpin (pedagogis).
Kelima, relasi yang
kuat antara sekolah, orangtua, dan masyarakat. Pengalaman sosial yang mereka
lakukan pada waktu luangnya diluar sekolah akan memberikan pengetahuan latar (background knowledge) bagi mereka. Faktor tersebut menjadi kunci dalam mendukung
mereka, baik secara akademik maupun kesuksesannya kelak.
Setelah berlalu dari
pemandangan ketergesaan lubang hitam statsiun Bogor, saya menyadari jika yang
digaung-gaungkan saat ini sebagai revolusi industri lapis keempat adalah wajah
baru. Industri yang memproduksi pengetahuan berbasis internet of things. Yang berevolusi, yang bergerak dalam
ketergesaan, adalah informasi. Informasi inilah yang menginvasi kita hingga
jauh ke ruang privat kita, tepat langsung membidik benak. Secara psikologis,
dalam posisi yang demikian, kebanyakan kita tidak siap sehingga menjadi gagap,
latah, dan membabi buta.
6 literasi dasar, terdiri
dari : literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi
digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan, yang menjadi
menu utama Gerakan Literasi Nasional, hanyalah sebuah awal. Kita membutuhkan
keterampilan multi literasi, atau disebut sebagai literasi baru, yang saat ini
sudah memasuki fase keduanya. Literasi adalah senjata kita supaya tidak
tergilas oleh revolusi industri lapis keempat ini.
Seolah terenggut
kembali, setelah mengembara ke puncak-puncak cakrawala terjauh. Justru karenanya
saya menemukan aura mistis pagi pada keceriaan para pedagang kaki lima ketika
menggelar dagangannya, pada kepul asap kopinya, dan pada semangkuk bubur yang
menjadi sarapanku kali ini. Pagi di Bogor yang landai lebih menjanjikan
kegairahan dibanding ketergesaan. Karena untuk menyikapi deras informasi, kita
harus mampu memaknai.
Aris Munandar - Pegiat di Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar