Minggu, 12 April 2020

MEMBELA JALAN PIKIRAN: TENTANG NILAI DAN PENILAIAN

Dalam sebuah acara tinjauan karya yang bertajuk Pengadilan Sastra, saya diminta untuk membela sebuah naskah novel yang akan didakwa. Berikut adalah substansi pembelaan saya, bukan semata pada karyanya, melainkan pada jalan pikirannya. Namun ketika kita dihadapkan pada pengadilan sastra, maka otomatis kita berhadapan dengan nilai dan penilaian.


Penilaian

Penilaian kita terhadap sesuatu akan senantiasa berubah, tergantung pada kontektual dan relevansinya. Meskipun demikian, tidaklah bijaksana jika kita menilai sesuatu sesuka hati kita. Penilaian hendaknya disandarkan pada suatu parameter tertentu. Karya sastra memiliki aspek-aspek tertentu yang dapat dijadikan ukuran sebagai dasar dari penilaian, sebut saja kriteria estetik, epistemis, dan normatif.

Estetis, hal-hal yang dapat dicerna oleh panca indera atau sense of perception. Sebagai salah satu parameter, estetis digunakan untuk mengukur keartistikan suatu karya sastra. Menurut kriteria ini, semakin indah suatu karya maka menunjukan semakin berkualitas karya sastra tersebut. Thomas Aquinas memberi 3 (tiga) syarat keindahan, yaitu: keutuhan, keselarasan, dan kejelasan.

Epistemis adalah sifat pengetahuan yang terkandung dalam suatu karya sastra, yaitu kebenaran dan kebermanfaatan. Namun oleh karena ini merupakan karya sastra, maka ukuran kebenaran dan kebermanfaatannya pun bukan secara faktual dan konvensional, melainkan bersifat imajinatif. Kebenaran dalam suatu karya sastra berlandaskan logika penulisnya. Begitupun kebermanfaatannya, seperti misalnya bermanfaat karena dapat melatih kepekaan batin dan atau bermanfaat bagi perkembangan kejiwaan pembacanya.

Normatif merupakan ketentuan formal karya sastra. Roman Ingarden menetapkan 5 (lima) strata norma dalam karya sastra, yaitu: lapis bunyi, lapis arti, lapis objek, lapis dunia, dan lapis metafisis. 

Namun, apakah tidak menjadi kontra produktif jika seorang penulis pemula dibenturkan pada tembok paramter-parameter tersebut? 

Seperti yang diketahui bersama bahwa minat baca tulis kita masih rendah dan cenderung tidak beranjak. Rendahnya minat ini  diperparah oleh dorongan aktivitas baca tulis yang mekanis, pragmatis dan oportunis. Dorongan-dorongan tersebut semakin menjauhkan kita dengan baca tulis sebagai kesenangan, membuat minat perlahan menjadi padam.


Nilai

Nilai merupakan substansi. Nilai suatu tulisan terletak pada idealisme penulisnya. Tulisan merupakan jalan pikiran yang menyampaikan idealisme penulis kepada pembacanya. 
 
Apakah ukuran suatu tulisan (baca: buku) itu bagus? Apakah predikat best seller atau terbitan major label merupakan jaminan “kebagusan” itu?

Ada yang menarik diungkapkan oleh Charlotte Mason: “Children must have books, living books; the best are not too good for them; anything less than the best is not good enough.” 

Dalam living books ada ide-ide berharga yang menggerakan anak untuk mengingat, merenung, atau memvisualisasikannya (Kristi, 2016). Ya, sebuah buku yang bagus akan membuka ruang baru bagi para pembacanya. Mereka menyampaikan nilai, namun tidak menggurui. Mengajak kita menuju keagungan tapi tetap membumi. Magnanimity, high thinking low living.

Nilai tersebut hidup dalam cerita menjadi motif tokoh-tokohnya. Motif inilah yang menjadi penggerak sehingga tercipta cerita itu sendiri. Pergerakan inilah yang harus bisa difasilitasi oleh penulisnya melalui sebuah jalan pikiran. Entah itu berupa premis kosmis (saling berlawanan), premis cerita (saling mengalahkan), atau premis karakter (dari kondisional awal ke ideal).

Jalan pikiran yang dibangun oleh penulis sebisanya untuk menampunng 3 aspek utama, yakni: bagaimana penulis menyampaikan nilai-nilainya, bagaimana nilai-nilai tersebut ditinjau terhadap realitas masyarakat, dan bagaimana masyarakat meninjau ulang nilai-nilai mereka selama ini.

Untuk bisa demikian, tidak bisa tidak, dibutuhkan atmosfer yang mendukung kehidupan baca tulis. Artinya dibutuhkan perangkat yang dapat membangun atmosfer tersebut.


Semilir Mencipta Atmosfer

Semilir secara garis besar adalah kegiatan penulisan esai, mendiskusikannya, lalu kemudian dibukukan. Nantinya buku ini akan difungsikan sebagai etalase gagasan. Penulisan dan penerbitan buku tidak ditempatkan sebagai pencapaian, melainkan salah satu tahapan dari proses. Yang paling inti dari proses ini adalah terjadinya dialektika antara penulis dengan pembaca. Atmosfer yang ingin dibangun adalah terjalinnya keakraban secara intelektual antara penulis dan pembaca. Penulis semakin memahami respons pembaca terhadap tulisannya. Hal ini dapat membuat sang penulis lebih piawai dalam membangun jalan pikirannya, sehingga nilai-nilainya dapat tepat sasaraan sampai ke pembaca. Sebaliknya, para pembaca pun dapat menyelami kedalaman diksi sang penulis. Tak lupa, interaksi ini merupakan ajang saling mengapresiasi antara penulis dengan pembaca.  

Untuk apa atmosfer tersebut dibangun? Tentu saja untuk memaknai nilai-nilai. Memaknai melalui elaborasi logika, retorika, dan gramatika. Interaksi tersebut tidak lagi menjadikan nilai sebagai sesuatu yang dipelajari sebagai persiapan menjalani kehidupaan. Lebih jauh dari itu, nilai tersebut diimplementasikan sebagai proses pembelajaran bagaimana untuk hidup. Sehingga melalui Semilir, atmosfer yang dibangun berupa ruang bagi nilai agar bisa tetap hidup relevan dan konstekstual.


Aris Munandarfounder Matahari Pagi.
Gambar oleh Three-shots dari Pixabay.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"