16
PUISI ZEE DALAM PERSFEKTIF TRANSFORMASI REMAJA
SERI INDIVIDUAL TRANSFORMATIF
ARIS MUNANDAR
Zee diantara Puisi, Remaja dan Matahari Pagi.
Puisi
sebagai karya seni memiliki fungsi estetika, puisi sebagai pernyataan
mengandung ekspresivitas yang intensif. Dalam menjalankan spiritualnya, puisi
merangsang kepekaan terhadap keindahan dan terhadap rasa kemanusiaan. Puisi,
dalam upayanya, mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang terkikis dan
menyadarkan kembali manusia pada kedudukannya dalam kehidupan (Pradopo dkk,
2012).
Remaja
sebagai fase ambiguitas, berhadapan dengan tantangan yang sagat kritis, yaitu
ketidakstabilan dan stimulasi-stimulasi baik bersifat fisik maupun psikis
(Munandar, 2017). Dalam menjalani
fasenya, remaja perlu dibukakan matanya untuk melihat realita yang dekat dengan
kesehariannya. Remaja tidak membutuhkan penghakiman dan nasehat atau petatah
petitih yang sudah bukan zamannya lagi (Winarso, 2017).
Kelas
matahari pagi sebagai forum perkenalan terhadap TDW program, keduanya merupakan
tahap human capital creation sebagai
level awal dalam praktek knowledge
sharing/knowledge transfer. Knowledge
sharing / knowledge transfer ini merupakan inti dari transformasi yang
digagas oleh Komunitas Matahari Pagi yang menitikberatkan pada pembangunan
manusia menjadi transformatif dalam menghadapi era internet of things.
Zee,
siswa Kelas Matahari Pagi, menulis sebuah puisi berjudul 16 yang merupakan
ungkapan perayaan atas fase remaja yang sedang dijalaninya. Puisi ini menjadi
menarik, selain menampilkan tema metamorfosa remaja dari sudut remaja itu
sendiri. Tulisan ini bertujuan untuk mengapreasiasi siapapun yang senantiasa
menyadari perjalanannya sebagai seorang manusia dan kemanusiaannya, dalam
konteksi ini Zee sebagai seorang remaja.
Dengan
kata lain, remaja yang berpuisi adalah remaja yang membentuk konsep dirinya
dengan konstruksi intelektualitas, kreatifitas, kecerdasan, sensibilitas dan
empati. Hal ini menjadi signifikan ditengah arus deras yang mendera kemanusiaan
yang terus menerus dihantam gelombang badai sudut pandang materialisme, yang
kemudian dikapitalisasi dan dijadikan komoditas. Remaja berpuisi, merupakan
langkah awal, mengembalikan akal sehat pada porsinya dan menempatkan manusia
bedasarkan kemanusiaannya. Dimana konsep diri yang demikian, dalam konteks
transhumanisme disebut dengan kecerdasan yang menunjukan sisi kemanusiaannya,
akan memandu manusia dalam mengarungi samudera zaman internet of things.
16 dan Dimensinya.
Ada
baiknya kita simak dulu puisi yang akan kita bahas, berikut :
16
Zee
Dunia
seakan terjungkal
Metamorfosa
kumbang berbunga
Terbang
dengan sayap keanggunan
Melayang
dilautan lepas tanpa awak
Berontak
ingin keluar
Dari
kepompong sesak penuh derita
Daun
gugur sudah kuning pucat
Mengemis
warna pada tanah yang luwes
Mengulur
jemari pada pena
Menguntai
berbagai kata kearifan
Memungkiri
keabadian sekilas
Mengulas
tangis tanpa air mata
Jalarnya
akar menguak kebadian
Menumpahkan
fakta dalam keelokan
Aliran
darahnya keringkan telaga
Pengecualian
dalam indahnya alga
Salakopi, 8 September 2017
Pada
puisi ini tampak bagaimana seorang remaja menghadapi : (1) fase yang telah,
sedang dan akan dijalani dalam hidupnya; (2) dirinya sendiri; (3) lingkungan,
baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sosialnya; (4) nilai-nilai yang akan
menjadi pegangannya.
Remaja dan Periodisasinya.
Remaja,
dalam puisi 16, berhadapan dengan fase yang telah, sedang dan akan dijalani
dalam hidupnya, tergambar dalam bait berikut : “Dunia seakan
terjungkal/Metamorfosa kumbang berbunga/.../Melayang dilautan lepas tanpa
awak/.../Memungkiri keabadian sekilas/.../Pengecualian dalam indahnya alga//”.
“Dunia
seakan terjungkal” merupakan bait yang menggambarkan si remaja 16 memasuki
periode baru dalam hidupnya, yaitu dari masa anak-anak menuju masa remaja. Remaja,
menurut Santrock, adalah masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan
masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosio emosional. Perkembangan transisi itu diungkapkan sebagai
“Metamorfosa kumbang berbunga”. Masa transisi tersebut dirasakan oleh si remaja
16 begitu tiba-tiba, tidak siap lebih tepatnya, sehingga pada suatu waktu dia
merasakan hidupnya seolah auto pilot yang “Melayang dilautan lepas tanpa awak”.
Remaja
sebagai masa peralihan yang ditempuh seseorang dari masa anak-anak menjadi
dewasa direkam oleh si remaja 16 sebagai suatu keabadian “...keabadian yang
sekilas” dipungkiri. Manusia, dalam konteks ini adalah si remaja 16 dalam
uraian Cak Nun, tidak bisa tidak hidup abadi. Manusia wajib hidup abadi.
Manusia tidak bisa absen untuk tidak terlibat di dalam keabadian. Apa gerangan
itu, tak ada gunanya mencoba menggapainya dengan ilmu, tetapi bisa
menjangkaunya dengan pengalaman sastra. Manusia tidak punya kemungkinan atau
hak untuk “pensiun dini”, ia harus mengalir di keabadian.
Remaja
ketika menghadapi fase ambiguitas, jika kurang dan atau tidak mendapatkan
dukungan, maka remaja tersebut akan terus mengalami kebingungan-kebingungan yang
akan berlanjut kepada ketidakstabilan emosi. Meskipun demikian, si remaja 16,
menyebut tahapan ini sebagai “Pengecualian dalam indahnya alga”.
Remaja dan Dirinya.
Remaja
dalam puisi 16, melihat dirinya sendiri sebagai sebuah paradoks, yakni pada
bait : “.../Terbang dengan sayap keanggunan/.../Aliran darahnya keringkan
telaga/...//”.
Si
remaja 16 yang sedang menapaki fase “Terbang dengan sayap keanggunan” yang
narsistik. Selain dari fase kritis karena memulai menentukan konsep diri,
seperti kepekaan, optimisme dan idealisme, sehingga “Aliran darahnya..”-nya pun
sanggup untuk “...keringkan telaga”.
Dalam
kapasitas dan pengalaman kemanusiaannya, si remaja 16 dapat merestrukturisasi
kesadarannya dalam pengembangan diri (extension
of self), melihat diri secara objektif (self
of objectivication) dan memegang falsafah hidup (unfying philosophy of life).
Remaja dan Lingkungan.
Lingkungan
merupakan problematik tersendiri bagi seorang remaja, bait puisi 16 menggambarkannya
demikian : “.../Berontak ingin keluar/Dari kepompong sesak penuh
derita/.../Mengulas tangis tanpa air mata/...//”.
Lingkungan
yang dianggap tidak mendukung fase ambiguitas si remaja 16 “Dalam kepompong..”,
sehingga lingkungan tersebut seolah “...sesak..” yang menyebabkan “...penuh
derita”. Ketidakstabilan emosi dan stimulasi-stimulasi negatif menyebabkan si
remaja 16 “Mengulas tangis tanpa air mata”, jika dibiarkan berlarut dapat
menyebabkan perilaku menyimpang. Namun demikian, si remaja 16 memiliki pegangan
falsafah hidup atau nilai kehidupan, sehingga dalam perjalanannya memiliki
kompas penunjuk arah.
Remaja dan Nilai Kehidupan.
Fase
remaja merupakan periode dimana seseorang membentuk konsep diri, yang merupakan
blue print bagi dirinya dimasa yang akan datang. Sangat penting bagi seorang
remaja membentuk konsep diri dengan nilai-nilai kehidupan, seperti disampaikan
bait puisi 16 berikut : “.../Daun gugur sudah kuning pucat/Mengemis warna pada
tanah yang luwes/Mengulur jemari pada pena/Menguntai berbagai kata
kearifan/.../Jalarnya akar menguak keabadian/Menumpahkan fakta dalam
keelokan/...//”.
“Daun
gugur sudah kuning pucat” merupakan kondisi ketidakstabilan emosi yang dihadapi
oleh si remaja 16, selain dari stimulasi-stimulasi negatif lainnya, tidak
menyebabkan dia terperangkap dalam perilaku yang menyimpang. Alih-alih menjadi
remaja dengan perilaku menyimpang, si remaja 16 malah “Mengemis warna pada
tanah yang luwes”. “Mengemis” sebagai metafora terhadap kerendahan hati untuk
menggali dan mengkaji kepada sumber-sumber ilmu, dalam hal ini adalah “tanah”
sebagai perlambang “ibu pengetahuan”.
“Mengulur
jemari pada pena” merupakan pilihan cerdas si remaja 16 dalam menyikapi
problematik dunia remajanya. Jalan literasi bukan saja membuka cakrawala dan
pencerahan, lebih dari itu, bahkan akan membawa si remaja 16 kepada nilai-nilai
kehidupan.
Dialektika
“menguntai berbagai kata kearifan” sebagai proses intelektual dalam aktivitas knowledge sharing atau knowledge transfer, sebagai jalan
pencerahan dengan jalur human capital
creation, agen perubahan dan transhumanisme. Jalur pencerahan,
sepertihalnya “Jalarnya akar menguak keabadian”, pada akhirnya akan membawa si
remaja 16 kepada penemuan hidup : dalam istilah Cak Nun sebagai pilihan hidup
antara ekosistem neraka atau nilai hidup sorga.
Pengalaman-pengalaman
dalam menempuh jalan pencerahan merupakan “..fakta keelokan” dari imajinasi
yang “Menumpahkan...” berbagai cita kehidupan.
Si Remaja 16 dalam paparan Matahari Pagi.
Selain
dapat dimaknai berdasarkan arti referensial, seperti yang telah dituang dalam
uraian sebelumnya, puisi 16 juga mengandung makna yang dibentuk oleh latar
belakang sosial budaya dimana si remaja 16 berada. Untuk dapat melihat makna
tersebut, pembacaan puisi 16 harus dilanjutkan pada tahap kedua, yaitu rectroactive reading atau heremeneutic reading.
Latar
belakang sosial budaya dalam puisi 16 adalah kehidupan remaja sebagai generasi
milenial. Yang dimaksud dengan generasi milenial, seperti digambarkan oleh Cak
Nun, sebagai generasi yang seakan-akan merupakan “putra langit”, bukan
anak-anak yang dibesarkan oleh tata nilai kepengasuhan di bumi. Memang
indikator kelahiran adalah semakin dominannya peradaban IT, tetapi tidak bisa
disebut sebagai kontinyuitas dari karakter kebudayaan generasi sebelumnya yang
melahirkan IT. Anak-anak itu seperti makhluk baru yang lebih genuin,
seolah-olah ada pengasuh yang lain yang tidak berada di bumi.
Cak
Nun melanjutkan gambarannya mengenai generasi milenial sebagai, di samping
sangat IT-addict, sangat menonjol kecerdasan enterpreneurship-nya, tidak
terlalu tersandera oleh kekuasaan politik, tidak menjadi pengemis di depan
kantor kapitalisme industri, tidak termakan secara semena-mena oleh media
massa, punya keberpihakan yang serius terhadap “kesalehan”, serta memiliki
kebebasan otentik dalam kreativitas, termasuk dalam kesenian dan sastra.
Dalam
bahasa yang lebih lugas, Inang Winarso memberikan gambaran mengenai remaja
dalam kaitan perubahan sistem politik dan ekonomi global, dimana remaja dalam
posisi tidak berdaya. Remaja hanya dihitung sebagai angka-angka statistik, lalu
dibiarkan tumbuh bersama “pasar”. Mereka menjadi santapan lezat para pemilik
modal melalui rayuan modernitas sebagai identitas anak gaul dan kekinian. Dalam
kesehariannya, remaja sepenuhnya dikepung oleh ilusi. Mereka dicetak seragam
oleh trend sejenis tiap tahun.
Secara
terus-menerus, menurut penjelasan Inang Winarso selanjutnya, remaja dibuatkan
trens setter dimanapun berada. Belum lagi habis trend Korean style, sudah dipersiapkan Turki style. Ketika android masih trendy, mungkin sekarang para
konlomerat sedang merancang trend post android. Remaja digiring pada perjalanan
suci yang patut disemangati dan didoakan agar benar-benar tercapai tujuannya,
yakni ambisi untuk menikmati semua hal yang trendy. Ambisi tersebut dimaknai
sebagai pemenuhan hasrat manusia.
Jika
demikian, bonus demografi yang akan diperoleh oleh Bangsa Indonesia apakah
masih bisa dimaknai sebagai suatu anugerah? Ataukah bonus demografi tersebut
hanya serupa gerombolan domba dipadang rumput pasar bebas dan atau globalisasi
yang bukan hanya akan melahirkan neo liberalisme, namun juga pada ujungnya akan
melahirkan neo imprealisme?.
Kekhawatiran
tersebut pastinya akan menghantui kita jika melihat alasan-alasan seperti
misalnya tingkat literasi Indonesia di ranking 60 dari 61 negara menurut survei
Central Connecticut State University in
New Britain. Atau juga data statistik Unesco pada tahun 2012 menunjukan
minat baca kita hanya 3 buku per tahun, bandingkan dengan rata-rata minat baca
di negara-negara maju yaitu sekitar 20 sampai 30 buku per tahun. Masih
berdasarkan data yang sama, hanya 1 dari 1.000 orang indonesia yang memiliki
minat baca serius. Belum lagi masih rendahnya kemampuan baca anak Indoneisa,
yang berdasarkan data literasi.org : kemampuan membaca anak di pulau Jawa
sebanyak 59 kata per menit (KPM). Hal tersebut paling tinggi dibanding dengan
anak di pulau Kalimantan dan Sulawesi yang sekitar 42 KPM dan paling rendah
kemampuan membaca anak di Indonesia bagian timur yakni sekitar 29 KPM.
Belum
lagi kualitas pendidikan kita yang masih rendah, yaitu berada diperingkat ke-5
dari 10 negara Asean. Dan peringkat ke-69 dari 76 negara berdasarkan Programme for Internasional Student
(PISA) di tahun 2015.
Data
tersebut akan menjadi sebuah paradoks jika disandingkan dengan data yang
disajikan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) per
November 2016 bahwa 132,7 juta dari 256,2 juta penduduk Indonesia telah
menggunakan internet. Diantara pengguna internet tersebut : 21% mengakses
internet dengan alasan pekerjaan, 9% untuk pendidikan dan sisanya sebanyak 70%
dengan alasan lainnya. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia telah menjadi bagian
dari dunia yang memasuki era internet of
things.
Paradoks
tersebut membentuk suatu kenyataan bahwa tantangan globalisasi, yakni pengaruh
negatif teknologi informasi dan komunikasi terhadap gaya hidup remaja serta
pudarnya nilai-nilai religiusitas dan kearifan lokal budaya bangsa sebagai
salah satu tantangan dan urgensi dari penguatan pendidikan karakter menurut
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tantangan dan urgensi lainnya adalah :
(1) harmonisasi potensi siswa yang belum optimal antara olah hati (etik), olah
pikir (literasi), olah rasa (estetik), dan olah raga (kinestetik); (2) besarnya
populasi siswa, guru dan sekolah yang tersebar diseluruh Indonesia; (3) belum
optimalnya sinergi tanggungjawab terhadap pendidikan karakter anak antara
sekolah, orangtua dan masyarakat; (4) terbatasnya pendampingan orang tua
mengakibatkan krisis identitas dan disorientasi tujuan hidup anak; (5)
keterbatasan sarana dan infrastruktur.
Sungguh
suatu fakta yang sangat miris, di era internet of things masih menganggap
teknologi informasi dan komunikasi sebagai suatu ancaman, hal tersebut
dikarenakan rendahnya tingkat literasi dan kualitas pendidikan, sementara
pengguan internet terus meningkat secara masif.
Sementara
itu, siklus kompetisi dunia terus beredar. Setelah era red ocean, kemudian hadir era blue
ocean. Namun perkembangan blue ocean
ini menimbulkan disruption, sehingga
mengembalikan kompetisi kembali ke era red
ocean. Sepertihalnya pada fase industri yang merontokan fase agraris,
dimulai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt. Penemuan tersebut mendorong
revolusi industri yang berujung pada kolonialisme dan atau imprealisme. Begitu
juga pada fase internet of things
dewasa ini, dimulai dengan ditemukannya internet yang menyebabkan revolusi
informasi yang memiliki ciri-ciri : sharing,
real time dan on demand. Revolusi informasi yang diyakini belum mencapai
puncaknya ini, entah akan melahirkan model imprealisme yang seperti apa. Satu
hal yang pasti, model imprealisme yang dihasilkan oleh revolusi informasi ini
akan lebih dahsyat dan mengerikan bagi kemanusiaan.
Dalam
menghadapi badai tersebut, paling tidak, kita harus memiliki : (1) kemampuan
berbahasa ( baik itu menulis, membaca, menyimak dan berbicara, maupun pemahaman
akan teks, konteks dan konten) sebagai kemampuan mendasar dalam peradaban
manusia; (2) penguasaan akan teknologi informasi; (3) kemampuan manajerial yang
baik, yakni yang dapat menjadikan kita sebagai trasformator baik secara
individual maupun organisasional.
Kemampuan
tersebut tentu saja tidak akan didapat begitu saja secara tiba-tiba, melainkan
harus melalui suatu proses pembentukan. Untuk itu, komunitas Matahari Pagi
menawarkan suatu konsep yang disebut dengan Matahari Pagi System, seperti tergambar dalam pola berikut :
Inti dari Matahari Pagi System adalah aktivitas knowledge sharing atau knowledge transfer, yang merupakan porses
dialektika ilmiah atau interaksi intelektual diantara anggota komunitas.
Knowledge sharing / knowledge
transfer mensyaratkan perlakuan ilmiah terhadap ilmu pengetahuan sehingga
ilmu pengetahuan tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan (what to be), lebih jauhnya dapat
menggerakan atau mentransformasikan seseorang (baca : individu) dan atau
organisasi menjadi lebih efektif, efisien, fleksibel dan adaptif (how to be) terhadap perubahan yang serba
cepat.
Cara bagaimana untuk dapat memperlakukan ilmu pengetahuan
secara ilmiah bisa didapatkan dengan cara mengikuti TDW program, yang
didalamnya terdiri program bagaimana untuk bisa menjadi individu dan organisasi
yang transformatif.
Untuk bisa mengikuti TDW program dengan baik, terlebih
dahulu siswa harus mengikuti Kelas Matahari Pagi sebagai forum perkenalan
kepada bentuk interaksi intelektual, seperti misalnya bagaimana cara
mempelajari suatu pengetahuan secara mendasar dan komprehensif, atau bagaimana
membangun struktur berpikir suatu argumen/tulisan/karya lainnya, dan atau
bagaimana untuk bisa tetap berpikiran terbuka dan kritis.
Kelas Matahari Pagi dan TDW program pada hakikatnya
merupakan human capital creation,
proses pembangunan aset sumber daya manusia yang unggul. Apabila terbangun
sumber manusia yang unggul, maka level aktivitas knowledge sharing / knowledge
transfer ditingkatkan, yang asalnya komunitas sebagai wadah kaderisasi
menjadi koalisi perubahan. Dimaksud dengan koalisi perubahan adalah anggota
komunitas yang sudah terbangun sebagai sumber manusia unggul berkerja sama
sebagai change agent in team. Mereka
bekerja sama untuk memberikan dampak berupa the
law of few to critical mass transformation, yakni pemicu transformasi dalam
skala yang lebih besar lagi.
Apabila Komunitas Matahari Pagi sudah memberikan
dampak dalam skala besar, maka yang demikian merupakan ciri era transhumanisme
sudah terwujud. Era transhumanisme adalah era dimana setiap individu sudah
mampu bertransformasi secara mandiri (individual transformatif/INTIF) dan
organisasi sudah bisa mentransformasikan dirinya menjadi organisasi yang
efektif sebagai budaya unggulnya (organisasional transformatif/ONTIF).
Dari aktivitas knowledge
sharing / knowledge transfer para
INTIF dan atau ONTIF maka akan suatu penemuan kembali masa depan (reinventing the future), yaitu suatu
model kehidupan kal jasad. Model kehidupan demikian bersendikan sharing community, yakni masyarakat yang
bersifat madani (civil society), yang
akan mendisrupsi model kehidupan masyarakat yang saling menindas (sosial
piramid). Sendi kehidupan yang lain berupa sharing
economy, yakni terlaksananya konsep koperasi secara paripurna sebagai soko
guru perekonomian bangsa. Model perekonomian yang demikian akan mendisrupsi
model ekonomi kapitalis.
Knowledge sharing / knowledge
transfer dalam prosesnya haruslah berbasis teknologi informasi (knowledge process base on IT) untuk
memudahkan akses. Pada tahap awal, sebagai prototype
berupa website www.mataharipagi.tk yang
ditunjang oleh berbagai media sosial dan email. Kedepannya, suatu keharusan
dalam menghadapi tantangan zaman, dijalankan dengan format massive open online course (MOOC).
Terakhir, seluruh lalu lintas ilmu pengetahuan harus
terdokumentasikan secara cermat dalam suatu knowledge storage yang berfungsi
sebagai perpustakaan, yakni Aris Munandar Library.
Kembali kepada si remaja 16, kedepan dalam fotosintesa
untuk menghasilkan energi dalam mengarungi perjalanan hidupnya diperlukan
paparan Matahari Pagi agar dapat bersemi.
Aris Munandar. Penulis, Kontributor utama www.mataharipagi.tk,
Pendiri Komunitas Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar Library, Penggagas TDW
Program, CEO CV Matahari Pagi, editor di Penerbit Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar