Selasa, 03 Oktober 2017

16 : Puisi Zee dalam persfektif transformasi remaja


16
PUISI ZEE DALAM PERSFEKTIF TRANSFORMASI REMAJA
SERI INDIVIDUAL TRANSFORMATIF

ARIS MUNANDAR


Zee diantara Puisi, Remaja dan Matahari Pagi.

Puisi sebagai karya seni memiliki fungsi estetika, puisi sebagai pernyataan mengandung ekspresivitas yang intensif. Dalam menjalankan spiritualnya, puisi merangsang kepekaan terhadap keindahan dan terhadap rasa kemanusiaan. Puisi, dalam upayanya, mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang terkikis dan menyadarkan kembali manusia pada kedudukannya dalam kehidupan (Pradopo dkk, 2012).

Remaja sebagai fase ambiguitas, berhadapan dengan tantangan yang sagat kritis, yaitu ketidakstabilan dan stimulasi-stimulasi baik bersifat fisik maupun psikis (Munandar, 2017).  Dalam menjalani fasenya, remaja perlu dibukakan matanya untuk melihat realita yang dekat dengan kesehariannya. Remaja tidak membutuhkan penghakiman dan nasehat atau petatah petitih yang sudah bukan zamannya lagi (Winarso, 2017).

Kelas matahari pagi sebagai forum perkenalan terhadap TDW program, keduanya merupakan tahap human capital creation sebagai level awal dalam praktek knowledge sharing/knowledge transfer. Knowledge sharing / knowledge transfer ini merupakan inti dari transformasi yang digagas oleh Komunitas Matahari Pagi yang menitikberatkan pada pembangunan manusia menjadi transformatif dalam menghadapi era internet of things.

Zee, siswa Kelas Matahari Pagi, menulis sebuah puisi berjudul 16 yang merupakan ungkapan perayaan atas fase remaja yang sedang dijalaninya. Puisi ini menjadi menarik, selain menampilkan tema metamorfosa remaja dari sudut remaja itu sendiri. Tulisan ini bertujuan untuk mengapreasiasi siapapun yang senantiasa menyadari perjalanannya sebagai seorang manusia dan kemanusiaannya, dalam konteksi ini Zee sebagai seorang remaja.


Dengan kata lain, remaja yang berpuisi adalah remaja yang membentuk konsep dirinya dengan konstruksi intelektualitas, kreatifitas, kecerdasan, sensibilitas dan empati. Hal ini menjadi signifikan ditengah arus deras yang mendera kemanusiaan yang terus menerus dihantam gelombang badai sudut pandang materialisme, yang kemudian dikapitalisasi dan dijadikan komoditas. Remaja berpuisi, merupakan langkah awal, mengembalikan akal sehat pada porsinya dan menempatkan manusia bedasarkan kemanusiaannya. Dimana konsep diri yang demikian, dalam konteks transhumanisme disebut dengan kecerdasan yang menunjukan sisi kemanusiaannya, akan memandu manusia dalam mengarungi samudera zaman internet of things.

16 dan Dimensinya.

Ada baiknya kita simak dulu puisi yang akan kita bahas, berikut :


16
Zee

Dunia seakan terjungkal
Metamorfosa kumbang berbunga
Terbang dengan sayap keanggunan
Melayang dilautan lepas tanpa awak
Berontak ingin keluar
Dari kepompong sesak penuh derita
Daun gugur sudah kuning pucat
Mengemis warna pada tanah yang luwes
Mengulur jemari pada pena
Menguntai berbagai kata kearifan
Memungkiri keabadian sekilas
Mengulas tangis tanpa air mata
Jalarnya akar menguak kebadian
Menumpahkan fakta dalam keelokan
Aliran darahnya keringkan telaga
Pengecualian dalam indahnya alga

Salakopi, 8 September 2017

Pada puisi ini tampak bagaimana seorang remaja menghadapi : (1) fase yang telah, sedang dan akan dijalani dalam hidupnya; (2) dirinya sendiri; (3) lingkungan, baik lingkungan keluarga maupun lingkungan sosialnya; (4) nilai-nilai yang akan menjadi pegangannya.

Remaja dan Periodisasinya.

Remaja, dalam puisi 16, berhadapan dengan fase yang telah, sedang dan akan dijalani dalam hidupnya, tergambar dalam bait berikut : “Dunia seakan terjungkal/Metamorfosa kumbang berbunga/.../Melayang dilautan lepas tanpa awak/.../Memungkiri keabadian sekilas/.../Pengecualian dalam indahnya alga//”.

“Dunia seakan terjungkal” merupakan bait yang menggambarkan si remaja 16 memasuki periode baru dalam hidupnya, yaitu dari masa anak-anak menuju masa remaja. Remaja, menurut Santrock, adalah masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosio emosional.  Perkembangan transisi itu diungkapkan sebagai “Metamorfosa kumbang berbunga”. Masa transisi tersebut dirasakan oleh si remaja 16 begitu tiba-tiba, tidak siap lebih tepatnya, sehingga pada suatu waktu dia merasakan hidupnya seolah auto pilot yang “Melayang dilautan lepas tanpa awak”.

Remaja sebagai masa peralihan yang ditempuh seseorang dari masa anak-anak menjadi dewasa direkam oleh si remaja 16 sebagai suatu keabadian “...keabadian yang sekilas” dipungkiri. Manusia, dalam konteks ini adalah si remaja 16 dalam uraian Cak Nun, tidak bisa tidak hidup abadi. Manusia wajib hidup abadi. Manusia tidak bisa absen untuk tidak terlibat di dalam keabadian. Apa gerangan itu, tak ada gunanya mencoba menggapainya dengan ilmu, tetapi bisa menjangkaunya dengan pengalaman sastra. Manusia tidak punya kemungkinan atau hak untuk “pensiun dini”, ia harus mengalir di keabadian.

Remaja ketika menghadapi fase ambiguitas, jika kurang dan atau tidak mendapatkan dukungan, maka remaja tersebut akan terus mengalami kebingungan-kebingungan yang akan berlanjut kepada ketidakstabilan emosi. Meskipun demikian, si remaja 16, menyebut tahapan ini sebagai “Pengecualian dalam indahnya alga”.

Remaja dan Dirinya.

Remaja dalam puisi 16, melihat dirinya sendiri sebagai sebuah paradoks, yakni pada bait : “.../Terbang dengan sayap keanggunan/.../Aliran darahnya keringkan telaga/...//”.

Si remaja 16 yang sedang menapaki fase “Terbang dengan sayap keanggunan” yang narsistik. Selain dari fase kritis karena memulai menentukan konsep diri, seperti kepekaan, optimisme dan idealisme, sehingga “Aliran darahnya..”-nya pun sanggup untuk “...keringkan telaga”.

Dalam kapasitas dan pengalaman kemanusiaannya, si remaja 16 dapat merestrukturisasi kesadarannya dalam pengembangan diri (extension of self), melihat diri secara objektif (self of objectivication) dan memegang falsafah hidup (unfying philosophy of life).

Remaja dan Lingkungan.

Lingkungan merupakan problematik tersendiri bagi seorang remaja, bait puisi 16 menggambarkannya demikian : “.../Berontak ingin keluar/Dari kepompong sesak penuh derita/.../Mengulas tangis tanpa air mata/...//”.

Lingkungan yang dianggap tidak mendukung fase ambiguitas si remaja 16 “Dalam kepompong..”, sehingga lingkungan tersebut seolah “...sesak..” yang menyebabkan “...penuh derita”. Ketidakstabilan emosi dan stimulasi-stimulasi negatif menyebabkan si remaja 16 “Mengulas tangis tanpa air mata”, jika dibiarkan berlarut dapat menyebabkan perilaku menyimpang. Namun demikian, si remaja 16 memiliki pegangan falsafah hidup atau nilai kehidupan, sehingga dalam perjalanannya memiliki kompas penunjuk arah.

Remaja dan Nilai Kehidupan.

Fase remaja merupakan periode dimana seseorang membentuk konsep diri, yang merupakan blue print bagi dirinya dimasa yang akan datang. Sangat penting bagi seorang remaja membentuk konsep diri dengan nilai-nilai kehidupan, seperti disampaikan bait puisi 16 berikut : “.../Daun gugur sudah kuning pucat/Mengemis warna pada tanah yang luwes/Mengulur jemari pada pena/Menguntai berbagai kata kearifan/.../Jalarnya akar menguak keabadian/Menumpahkan fakta dalam keelokan/...//”.

“Daun gugur sudah kuning pucat” merupakan kondisi ketidakstabilan emosi yang dihadapi oleh si remaja 16, selain dari stimulasi-stimulasi negatif lainnya, tidak menyebabkan dia terperangkap dalam perilaku yang menyimpang. Alih-alih menjadi remaja dengan perilaku menyimpang, si remaja 16 malah “Mengemis warna pada tanah yang luwes”. “Mengemis” sebagai metafora terhadap kerendahan hati untuk menggali dan mengkaji kepada sumber-sumber ilmu, dalam hal ini adalah “tanah” sebagai perlambang “ibu pengetahuan”.

“Mengulur jemari pada pena” merupakan pilihan cerdas si remaja 16 dalam menyikapi problematik dunia remajanya. Jalan literasi bukan saja membuka cakrawala dan pencerahan, lebih dari itu, bahkan akan membawa si remaja 16 kepada nilai-nilai kehidupan.

Dialektika “menguntai berbagai kata kearifan” sebagai proses intelektual dalam aktivitas knowledge sharing atau knowledge transfer, sebagai jalan pencerahan dengan jalur human capital creation, agen perubahan dan transhumanisme. Jalur pencerahan, sepertihalnya “Jalarnya akar menguak keabadian”, pada akhirnya akan membawa si remaja 16 kepada penemuan hidup : dalam istilah Cak Nun sebagai pilihan hidup antara ekosistem neraka atau nilai hidup sorga.

Pengalaman-pengalaman dalam menempuh jalan pencerahan merupakan “..fakta keelokan” dari imajinasi yang “Menumpahkan...” berbagai cita kehidupan.

Si Remaja 16 dalam paparan Matahari Pagi.

Selain dapat dimaknai berdasarkan arti referensial, seperti yang telah dituang dalam uraian sebelumnya, puisi 16 juga mengandung makna yang dibentuk oleh latar belakang sosial budaya dimana si remaja 16 berada. Untuk dapat melihat makna tersebut, pembacaan puisi 16 harus dilanjutkan pada tahap kedua, yaitu rectroactive reading atau heremeneutic reading.

Latar belakang sosial budaya dalam puisi 16 adalah kehidupan remaja sebagai generasi milenial. Yang dimaksud dengan generasi milenial, seperti digambarkan oleh Cak Nun, sebagai generasi yang seakan-akan merupakan “putra langit”, bukan anak-anak yang dibesarkan oleh tata nilai kepengasuhan di bumi. Memang indikator kelahiran adalah semakin dominannya peradaban IT, tetapi tidak bisa disebut sebagai kontinyuitas dari karakter kebudayaan generasi sebelumnya yang melahirkan IT. Anak-anak itu seperti makhluk baru yang lebih genuin, seolah-olah ada pengasuh yang lain yang tidak berada di bumi.

Cak Nun melanjutkan gambarannya mengenai generasi milenial sebagai, di samping sangat IT-addict, sangat menonjol kecerdasan enterpreneurship-nya, tidak terlalu tersandera oleh kekuasaan politik, tidak menjadi pengemis di depan kantor kapitalisme industri, tidak termakan secara semena-mena oleh media massa, punya keberpihakan yang serius terhadap “kesalehan”, serta memiliki kebebasan otentik dalam kreativitas, termasuk dalam kesenian dan sastra.

Dalam bahasa yang lebih lugas, Inang Winarso memberikan gambaran mengenai remaja dalam kaitan perubahan sistem politik dan ekonomi global, dimana remaja dalam posisi tidak berdaya. Remaja hanya dihitung sebagai angka-angka statistik, lalu dibiarkan tumbuh bersama “pasar”. Mereka menjadi santapan lezat para pemilik modal melalui rayuan modernitas sebagai identitas anak gaul dan kekinian. Dalam kesehariannya, remaja sepenuhnya dikepung oleh ilusi. Mereka dicetak seragam oleh trend sejenis tiap tahun.

Secara terus-menerus, menurut penjelasan Inang Winarso selanjutnya, remaja dibuatkan trens setter dimanapun berada. Belum lagi habis trend Korean style, sudah dipersiapkan Turki style. Ketika android masih trendy, mungkin sekarang para konlomerat sedang merancang trend post android. Remaja digiring pada perjalanan suci yang patut disemangati dan didoakan agar benar-benar tercapai tujuannya, yakni ambisi untuk menikmati semua hal yang trendy. Ambisi tersebut dimaknai sebagai pemenuhan hasrat manusia.

Jika demikian, bonus demografi yang akan diperoleh oleh Bangsa Indonesia apakah masih bisa dimaknai sebagai suatu anugerah? Ataukah bonus demografi tersebut hanya serupa gerombolan domba dipadang rumput pasar bebas dan atau globalisasi yang bukan hanya akan melahirkan neo liberalisme, namun juga pada ujungnya akan melahirkan neo imprealisme?.

Kekhawatiran tersebut pastinya akan menghantui kita jika melihat alasan-alasan seperti misalnya tingkat literasi Indonesia di ranking 60 dari 61 negara menurut survei Central Connecticut State University in New Britain. Atau juga data statistik Unesco pada tahun 2012 menunjukan minat baca kita hanya 3 buku per tahun, bandingkan dengan rata-rata minat baca di negara-negara maju yaitu sekitar 20 sampai 30 buku per tahun. Masih berdasarkan data yang sama, hanya 1 dari 1.000 orang indonesia yang memiliki minat baca serius. Belum lagi masih rendahnya kemampuan baca anak Indoneisa, yang berdasarkan data literasi.org : kemampuan membaca anak di pulau Jawa sebanyak 59 kata per menit (KPM). Hal tersebut paling tinggi dibanding dengan anak di pulau Kalimantan dan Sulawesi yang sekitar 42 KPM dan paling rendah kemampuan membaca anak di Indonesia bagian timur yakni sekitar 29 KPM.

Belum lagi kualitas pendidikan kita yang masih rendah, yaitu berada diperingkat ke-5 dari 10 negara Asean. Dan peringkat ke-69 dari 76 negara berdasarkan Programme for Internasional Student (PISA) di tahun 2015.

Data tersebut akan menjadi sebuah paradoks jika disandingkan dengan data yang disajikan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) per November 2016 bahwa 132,7 juta dari 256,2 juta penduduk Indonesia telah menggunakan internet. Diantara pengguna internet tersebut : 21% mengakses internet dengan alasan pekerjaan, 9% untuk pendidikan dan sisanya sebanyak 70% dengan alasan lainnya. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia telah menjadi bagian dari dunia yang memasuki era internet of things.

Paradoks tersebut membentuk suatu kenyataan bahwa tantangan globalisasi, yakni pengaruh negatif teknologi informasi dan komunikasi terhadap gaya hidup remaja serta pudarnya nilai-nilai religiusitas dan kearifan lokal budaya bangsa sebagai salah satu tantangan dan urgensi dari penguatan pendidikan karakter menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tantangan dan urgensi lainnya adalah : (1) harmonisasi potensi siswa yang belum optimal antara olah hati (etik), olah pikir (literasi), olah rasa (estetik), dan olah raga (kinestetik); (2) besarnya populasi siswa, guru dan sekolah yang tersebar diseluruh Indonesia; (3) belum optimalnya sinergi tanggungjawab terhadap pendidikan karakter anak antara sekolah, orangtua dan masyarakat; (4) terbatasnya pendampingan orang tua mengakibatkan krisis identitas dan disorientasi tujuan hidup anak; (5) keterbatasan sarana dan infrastruktur.

Sungguh suatu fakta yang sangat miris, di era internet of things masih menganggap teknologi informasi dan komunikasi sebagai suatu ancaman, hal tersebut dikarenakan rendahnya tingkat literasi dan kualitas pendidikan, sementara pengguan internet terus meningkat secara masif.

Sementara itu, siklus kompetisi dunia terus beredar. Setelah era red ocean, kemudian hadir era blue ocean. Namun perkembangan blue ocean ini menimbulkan disruption, sehingga mengembalikan kompetisi kembali ke era red ocean. Sepertihalnya pada fase industri yang merontokan fase agraris, dimulai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt. Penemuan tersebut mendorong revolusi industri yang berujung pada kolonialisme dan atau imprealisme. Begitu juga pada fase internet of things dewasa ini, dimulai dengan ditemukannya internet yang menyebabkan revolusi informasi yang memiliki ciri-ciri : sharing, real time dan on demand. Revolusi informasi yang diyakini belum mencapai puncaknya ini, entah akan melahirkan model imprealisme yang seperti apa. Satu hal yang pasti, model imprealisme yang dihasilkan oleh revolusi informasi ini akan lebih dahsyat dan mengerikan bagi kemanusiaan.

Dalam menghadapi badai tersebut, paling tidak, kita harus memiliki : (1) kemampuan berbahasa ( baik itu menulis, membaca, menyimak dan berbicara, maupun pemahaman akan teks, konteks dan konten) sebagai kemampuan mendasar dalam peradaban manusia; (2) penguasaan akan teknologi informasi; (3) kemampuan manajerial yang baik, yakni yang dapat menjadikan kita sebagai trasformator baik secara individual maupun organisasional.

Kemampuan tersebut tentu saja tidak akan didapat begitu saja secara tiba-tiba, melainkan harus melalui suatu proses pembentukan. Untuk itu, komunitas Matahari Pagi menawarkan suatu konsep yang disebut dengan Matahari Pagi System, seperti tergambar dalam pola berikut :


Inti dari Matahari Pagi System adalah aktivitas knowledge sharing atau knowledge transfer, yang merupakan porses dialektika ilmiah atau interaksi intelektual diantara anggota komunitas.

Knowledge sharing / knowledge transfer mensyaratkan perlakuan ilmiah terhadap ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan (what to be), lebih jauhnya dapat menggerakan atau mentransformasikan seseorang (baca : individu) dan atau organisasi menjadi lebih efektif, efisien, fleksibel dan adaptif (how to be) terhadap perubahan yang serba cepat.

Cara bagaimana untuk dapat memperlakukan ilmu pengetahuan secara ilmiah bisa didapatkan dengan cara mengikuti TDW program, yang didalamnya terdiri program bagaimana untuk bisa menjadi individu dan organisasi yang transformatif.

Untuk bisa mengikuti TDW program dengan baik, terlebih dahulu siswa harus mengikuti Kelas Matahari Pagi sebagai forum perkenalan kepada bentuk interaksi intelektual, seperti misalnya bagaimana cara mempelajari suatu pengetahuan secara mendasar dan komprehensif, atau bagaimana membangun struktur berpikir suatu argumen/tulisan/karya lainnya, dan atau bagaimana untuk bisa tetap berpikiran terbuka dan kritis.

Kelas Matahari Pagi dan TDW program pada hakikatnya merupakan human capital creation, proses pembangunan aset sumber daya manusia yang unggul. Apabila terbangun sumber manusia yang unggul, maka level aktivitas knowledge sharing / knowledge transfer ditingkatkan, yang asalnya komunitas sebagai wadah kaderisasi menjadi koalisi perubahan. Dimaksud dengan koalisi perubahan adalah anggota komunitas yang sudah terbangun sebagai sumber manusia unggul berkerja sama sebagai change agent in team. Mereka bekerja sama untuk memberikan dampak berupa the law of few to critical mass transformation, yakni pemicu transformasi dalam skala yang lebih besar lagi.

Apabila Komunitas Matahari Pagi sudah memberikan dampak dalam skala besar, maka yang demikian merupakan ciri era transhumanisme sudah terwujud. Era transhumanisme adalah era dimana setiap individu sudah mampu bertransformasi secara mandiri (individual transformatif/INTIF) dan organisasi sudah bisa mentransformasikan dirinya menjadi organisasi yang efektif sebagai budaya unggulnya (organisasional transformatif/ONTIF).

Dari aktivitas knowledge sharing / knowledge transfer para INTIF dan atau ONTIF maka akan suatu penemuan kembali masa depan (reinventing the future), yaitu suatu model kehidupan kal jasad. Model kehidupan demikian bersendikan sharing community, yakni masyarakat yang bersifat madani (civil society), yang akan mendisrupsi model kehidupan masyarakat yang saling menindas (sosial piramid). Sendi kehidupan yang lain berupa sharing economy, yakni terlaksananya konsep koperasi secara paripurna sebagai soko guru perekonomian bangsa. Model perekonomian yang demikian akan mendisrupsi model ekonomi kapitalis.

Knowledge sharing / knowledge transfer dalam prosesnya haruslah berbasis teknologi informasi (knowledge process base on IT) untuk memudahkan akses. Pada tahap awal, sebagai prototype berupa website www.mataharipagi.tk yang ditunjang oleh berbagai media sosial dan email. Kedepannya, suatu keharusan dalam menghadapi tantangan zaman, dijalankan dengan format massive open online course (MOOC).

Terakhir, seluruh lalu lintas ilmu pengetahuan harus terdokumentasikan secara cermat dalam suatu knowledge storage yang berfungsi sebagai perpustakaan, yakni Aris Munandar Library.

Kembali kepada si remaja 16, kedepan dalam fotosintesa untuk menghasilkan energi dalam mengarungi perjalanan hidupnya diperlukan paparan Matahari Pagi agar dapat bersemi.

Untuk mendapatkan artikel ini dalam format ebook bisa diundug disini.


Aris Munandar. Penulis, Kontributor utama www.mataharipagi.tk, Pendiri Komunitas Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar Library, Penggagas TDW Program, CEO CV Matahari Pagi, editor di Penerbit Matahari Pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"