Senin, 09 Oktober 2017

Berpacaran tidak ya? Pemaknaan puisi "Ungkapan Hati" karya Miuri



Puisi Ungkapan Hati karya Miuri dan Fenomena Pacaran.

Ungkapan Hati

Kupendam rasa ini
Tak berani ku ungkapkan
Entahlah...
Ku tak punya keberanian
Untuk mengatakannya
Kenapa?
Karena ku tak ingin merusak
Sebuah pertemanan
Aku takut...
Jika aku ungkapkan ini
Semuanya akan hilang
Aku takut...
Ketika aku katakan perasaanku padamu
Kau akan pergi menjauhiku
Sudah cukup
Berjuta tetes air mata ini
Terbuang sia-sia hanya untukmu
Kau tau apa yang kau tangisi?
Rasa takutku...
Rasa takut untuk mengungkapkannya
Dan lebih memilih memendamya.
Karena itulah...
Lebih baik ku pendam perasaan ini
Agar aku selalu bisa dekat denganmu
Agar aku bisa melihat senyum dan tawamu
Walau itu bukan karenaku

Miuri. Siswa Kelas Matahari Pagi.

Puisi tersebut begitu lugas yang kuncinya terletak pada judul, yakni “Ungkapan Hati”.  Hampir secara keseluruhan puisi Ungkapan Hati dapat dimaknai secara referensial. Namun jika lebih jauh lagi, dilihat dalam kontek sosial budaya. Puisi ini dilahirkan oleh Generasi Milenial. Suatu generasi dimana eraly dating (berpacaran secara dini) kian marak. Sehingga, fenomena berpacaran dikalangan remaja suatu hal yang lumrah. Hal ini tentu saja akan sangat mengelitik kesadaran kita. Disamping juga memberikan tantangan bagi kita untuk memaknai dengan cakrawala lebih luas.

Sebelumnya, kita tarik benang merah antara puisi Ungkapan Hati karya Miuri ini dengan puisi 16 karya Zee, yaitu fase remaja. Remaja, menurut Santrock, adalah masa perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosio emosional. Masa perkembangan transisi, bagi hal apapun juga, akan sangat menentukan.

Oleh karena itu, remaja ketika menghadapi fase ambiguitas sangat membutukan dukungan. Karena jika kurang dan atau tidak mendapatkan dukungan, maka remaja tersebut akan terus mengalami kebingungan-kebingungan yang akan berlanjut kepada ketidakstabilan emosi. Maka, pemaknaan ini bisa dianggap sebagai bentuk dukungan bagi remaja Generasi Milenial.


Berpacaran : Definisi dan Tinjauannya.

Berpacaran sudah merupakan fenomena yang lazim dikalangan remaja dewasa ini. Setidaknya hal tersebut juga terlihat dalam bait-bait puisi Ungkapan Hati. Secara ringkas, jika puisi tersebut diparafrasekan, sebagai berikut :

Aku memendam rasa karena tak berani mengungkapkannya. Aku takut merusak pertemanan kita jika rasa ini ku katakan. Aku tak ingin kau menjauhiku, meski untuk itu berjuta air mata telah terbuang sia-sia. Biarlah aku memendam rasa ini, asalkan aku bisa dekat denganmu, bisa melihat senyummu, melihat tawamu, meski bukan untukku.

Disini, jelas sekali terlihat adanya ketertarikan si “aku” terhadap lawan jenisnya. Adanya keinginan si “aku” untuk selalu berada didekat pujaannya tersebut, meskipun harus memendam perasaanya tersebut dikarenakan rasa takut. Ketakutan yang dialami oleh si “aku” disini lebih disebabkan oleh belum dipahaminya mengenai perasaan tersebut. Kita simpulkan perasaan tersebut sebagai ketertarikan terhadap lawan jenis dan keinginan untuk selalu dekat sebagai dorongan untuk berpacaran.

Lalu, apa itu berpacaran?

Berbagai definisi berpacaran menurut Soni Set. Berpacaran adalah suatu pertemana yang akrab. Berpacaran adalah proses bermain dan beraktivitas bersama dengan saling memberikan perhatian. Berpacaran adalah awal tindakan atau wujud kasih sayang karena daya tarik atau kesamaan hobi.

Berpacaran, menurut Agus Setiawan, adalah awal bagi remaja untuk belajar bekerjasama dan saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing.

Berpacaran, menurut Fransisca Mudjijanti, adalah proses pengenalan awal dua remaja yang dilandasi rasa senang, cinta, perhatian dengan melibatkan perasaan untuk suatu tujuan, yaitu menemukan cara berelasi dan pertemanan yang lebih akrab.

Kenapa muncul perasaan tertarik terhadap lawan jenis sehingga memicu dorongan untuk berpacaran?

Dorongan untuk berpacaran pada remaja berkaitan erat dengan masa puber, yang ditandai dengan perubahan secara fisik dan psikis pada diri remaja tersebut.

Secara fisik hal tersebut dikarenakan mulai berproduksinya hormon testoteron pada laki-laki dan hormon estrogen pada perempuan.

Hormon testoteron akan menyiapkan tubuh laki-laki untuk memproduksi sel-sel sperma dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan tekanan birahi untuk disalurkan. Keadaan tersebut akan membuat laki-laki akan lebih peka terhadap rangsangan, meskipun hanya berupa visual dan suara.

Sedangkan pada perempuan, hormon estrogen akan menstimulasi terbentuknya sel telur dalam waktu tertentu diproduksi dan siap dibuahi. Berbeda dengan laki-laki, perempuan akan cenderung bereaksi pada rangsangan berupa sentuhan fisik yang lembut dan melenakan.

Secara psikis, Agus Setiawan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mendorong timbulnya minat untuk berpacaran, yaitu : perkembangan dalam diri remaja, kebutuhan sosial, rasa ketertarikan karena persamaan, pengaruh lingkungan/teman, pengaruh kemajuan teknologi.

Sedangkan menurut Arswendo Atmowiloto, faktor-faktor yang dapat mendorong seorang remaja berpacaran adalah : ingin tahu lebih banyak mengenai orang lain, ingin belajar bermasyarakat dalam hal ini berteman dengan lawan jenis, ingin bersenang-senang dan menikmati suasana berkencan, ingin mengikuti berpacaran karena dianggap sebagai suatu kebiasaan dimasyarakat, serta ingin menunjukan kepada teman jika ia bisa menggaet lawan jenisnya.

Dengan demikian, dorongan berpacaran atau minimal rasa ketertarikan terhadap lawan jenis merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari oleh remaja. Oleh karena tidak bisa dihindari, maka remaja harus dipersiapkan dan mempersiapkan diri untuk menjalani fenomena tersebut. Yang paling utama adalah mempersiapkan pemahaman dan dampak yang dapat ditimbulkannya.


Dampak Berpacaran.

Sepertihalnya mata uang yang memiliki dua sisi, demikian pula berpacaran. Arswendo Atmowiloto mengistilahkan hal tersebut sebagai berpacaran sehat dan berpacaran tak sehat. Pacaran sehat didefinisikan sebagai pertemanan yang saling mendukung, menghargai, menghormati, mempengaruhi dalam tindakan positif, memberikan semangat dan saling mengutungkan. Sedangkan pacaran tak sehat didefinisikan sebagai pertemanan atau persahabatan yang hanya mencari keuntungan, tidak ada tanggung jawab, kurang menghargai teman, hanya sebagai suatu kesenangan saja, melanggar batas-batas yang aman.

Pembedaan pengertian pacaran menjadi pacaran sehat dan pacaran tak sehat seperti yang dikemukakan oleh Arswendo Atmowiloto diatas didasarkan adanya perbedaan cara pandang remaja dan akan berujung pada pilihan mana yang akan dijalani remaja tersebut nantinya. Pertama, cara pandang dengan pendekatan pacaran sebagai cara berelasi dengan melibatkan perasaan dan meskipun ada aktivitas bersama, tetapi masih mengedepankan unsur kepolosan dan kejujuran dengan mengedepankan saling menghormati hak dan kewajiban satu sama lain. Cara pandang kedua, pendekatan yang melewati batas kepatutan dan hilangnya kendali atas akal sehat, terutama interaksi secara fisik.

Perilaku kontak fisik yang umumnya mulai dilakukan oleh remaja berupa mengungkapkan perasaan, mencium dan meraba.

Permasalahannya adalah jika sepasang remaja tersebut dalam berpacaran melakukan petualangan yang dapat menghanyutkan dengan adanya kedekatan secara fisik sehingga dapat menimbulkan perasaan nyaman dan membangunkan berbagai titik rangsang birahi. Rasa penasaran dan sensasi untuk terus melakukan eksplorasi akan menimbulkan berbagai macam resiko. Sehingga, apakah remaja tersebut telah memahami situasi dan kondisi yang dijalaninya, termasuk tanggung jawab yang menyertainya? Kesiapan inilah yang harus dibangun oleh para remaja.

Dampak lain bagi remaja yang belum siap atau belum memahami mengenai tujuan berpacaran, yaitu timbulnya perilaku artifiasial/berpura-pura didepan pasangannya. Misalnya, remaja laki-laki selalu berusaha menampilkan sikap yang seolah-olah gagah berani dan atau remaja perempuan yang menampilkan sikap seolah-olah selalu manis dan lucu, dihadapan pasangannya. Selain itu, semakin besarnya risiko mengalami sakit hati, depresi, rapuh atau bahkan sakit-sakitan bagi remaja yang berpacaran.

Dampak-dampak tersebut sebagai akibat yang ditimbulkan oleh karena memilih pacaran tak sehat akan sangat berbahaya bagi remaja. Karena remaja sedang dalam pembentukan konsep diri dan konsep diri adalah hal yang akan sangat menentukan masa depan remaja tersebut.


Membentuk Pemahaman Remaja terhadap Berpacaran.

Berpacaran merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari jika remaja tersebut memutuskan untuk mengeksplorasi perasaan cintanya yang sudah tumbuh. Dikarenakan dorongan tersebut disebabkan mulai berproduksinya hormon, yaitu hormon testosteron pada laki-laki dan hormon estrogen pada perempuan.

Critical point, menurut Fransisca Mudjijanti, bagi remaja sebelum memutuskan untuk berpacaran, diantaranya : (1) pemahaman dan penghormatan akan hak dan kewajiban masing-masing; (2) kriteria mengenai pasangan/calon pasangan apakah akan mendorong kearah pacaran sehat atau pacaran tak sehat; (3) seberapa besar dorongan remaja tersebut untuk melakukan interaksi secara fisik dengan pasangan.

Pemahaman dan penghormatan akan hak dan kewajiban masing-masing yang dimaksudkan disini bukan dalam ruang lingkup yang sempit. Ruang lingkup yang sempit, dalam arti, hanya membentuk pola hubungan yang ambigu. Maksudnya, berpacaran akan dimaknai sebagai miniatur ikatan perkawinan berikut hak dan kewajiban tersebut. Ujungnya menjadikannya masuk dalam kategori pacaran tak sehat.

Kriteria mengenai pasangan/calon pasangan apakah akan mendorong kearah pacaran sehat atau pacaran tak sehat merupakan point yang sangat penting. Karena jika kita menjatuhkan pilihan kepada orang yang salah, tentu nantinya akan merugikan diri kita sendiri. Kriteria yang paling mendasar yang harus dimiliki oleh pasangan/calon pasangan kita adalah komitmen. Komitmen yang harus dimiliki, yaitu berkomitmen untuk : (a) tidak menstimulus, mengajak dan atau melakukan kontak fisik dalam bentuk apapun;  (b) menyalurkan hasrat, dorongan dan perasaan yang ditimbulkan oleh hormon estrogen dan atau testosteron kepada hal yang produktif, seperti berlomba dalam prestasi akademik/non akademik, karya seni/sastra.

Mengetahui seberapa besar dorongan kita untuk melakukan interaksi secara fisik dengan pasangan juga sangat penting. Pengetahuan tersebut dapat menjadi acuan bagi kita sehingga bisa merumuskan batasan-batasan/peringatan dini untuk tetap bersikap rasional dan hati-hati jika ditemui adanya kondisi yang mengarah terhadap aktivitas tersebut. Akan lebih baik jika dengan pengetahuan tersebut kita menghindari interaksi fisik.

Namun demikian, menurut David Elkin, kebanyakan remaja tidak mengetahui mengenai tujuan berpacaran.


Berpacaran tidak?

Tolok ukur kapan sebaiknya remaja diperbolehkan untuk berpacaran, bukan lagi dengan ukuran umur, melainkan pada faktor mental yaitu kapan remaja tersebut telah “siap”, termasuk kesiapan untuk bertanggung jawab.

Mengingat banyaknya dampak negatif yang berpotensi timbul yang dikarenakan kebanyakan remaja tidak mengetahui tujuannya, kebanyakan orangtua akan melarang anak remajanya untuk berpacaran. Namun, pelarangan tersebut belum tentu juga merupakan langkah yang baik jika alasan pelarangan tersebut juga tidak dipahami oleh remaja.  Maka disini permasalahan utamanya bukan pada boleh atau tidak bolehnya remaja berpacaran, tetapi lebih kepada bagaimana orangtua dan remaja tersebut mengkomunikasikan hal tersebut sehingga timbul suatu kepahaman.

Kepahaman orangtua mengenai perkembangan fisik dan psikis anak remajanya, serta bagaimana merumuskan cara kontrol yang tepat bagi anak remajanya tersebut. Begitu juga kepahaman remaja tersebut akan pilihan dan konsekuensi dari pilihannya tersebut, sehingga hal tersebut akan membentuk kepribadian yang bertanggungjawab sebagai pilar utama dari konsep dirinya.


 Kelas Matahari Pagi : Kreator SDM Tangguh.

Kenapa mayoritas remaja tidak memiliki pemahaman mengenai berpacaran?

Hal tersebut disebabkan alasan-alasan seperti misalnya tingkat literasi Indonesia di ranking 60 dari 61 negara menurut survei Central Connecticut State University in New Britain. Atau juga data statistik Unesco pada tahun 2012 menunjukan minat baca kita hanya 3 buku per tahun, bandingkan dengan rata-rata minat baca di negara-negara maju yaitu sekitar 20 sampai 30 buku per tahun. Masih berdasarkan data yang sama, hanya 1 dari 1.000 orang indonesia yang memiliki minat baca serius. Belum lagi masih rendahnya kemampuan baca anak Indoneisa, yang berdasarkan data literasi.org : kemampuan membaca anak di pulau Jawa sebanyak 59 kata per menit (KPM). Hal tersebut paling tinggi dibanding dengan anak di pulau Kalimantan dan Sulawesi yang sekitar 42 KPM dan paling rendah kemampuan membaca anak di Indonesia bagian timur yakni sekitar 29 KPM.

Belum lagi kualitas pendidikan kita yang masih rendah, yaitu berada diperingkat ke-5 dari 10 negara Asean. Dan peringkat ke-69 dari 76 negara berdasarkan Programme for Internasional Student (PISA) di tahun 2015.

Data tersebut akan menjadi sebuah paradoks jika disandingkan dengan data yang disajikan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) per November 2016 bahwa 132,7 juta dari 256,2 juta penduduk Indonesia telah menggunakan internet. Diantara pengguna internet tersebut : 21% mengakses internet dengan alasan pekerjaan, 9% untuk pendidikan dan sisanya sebanyak 70% dengan alasan lainnya. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia telah menjadi bagian dari dunia yang memasuki era internet of things.

Paradoks tersebut membentuk suatu kenyataan bahwa tantangan globalisasi, yakni pengaruh negatif teknologi informasi dan komunikasi terhadap gaya hidup remaja serta pudarnya nilai-nilai religiusitas dan kearifan lokal budaya bangsa sebagai salah satu tantangan dan urgensi dari penguatan pendidikan karakter menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tantangan dan urgensi lainnya adalah : (1) harmonisasi potensi siswa yang belum optimal antara olah hati (etik), olah pikir (literasi), olah rasa (estetik), dan olah raga (kinestetik); (2) besarnya populasi siswa, guru dan sekolah yang tersebar diseluruh Indonesia; (3) belum optimalnya sinergi tanggungjawab terhadap pendidikan karakter anak antara sekolah, orangtua dan masyarakat; (4) terbatasnya pendampingan orang tua mengakibatkan krisis identitas dan disorientasi tujuan hidup anak; (5) keterbatasan sarana dan infrastruktur.

Sungguh suatu fakta yang sangat miris, di era internet of things masih menganggap teknologi informasi dan komunikasi sebagai suatu ancaman, hal tersebut dikarenakan rendahnya tingkat literasi dan kualitas pendidikan, sementara pengguan internet terus meningkat secara masif.

Sementara itu, siklus kompetisi dunia terus beredar. Setelah era red ocean, kemudian hadir era blue ocean. Namun perkembangan blue ocean ini menimbulkan disruption, sehingga mengembalikan kompetisi kembali ke era red ocean. Sepertihalnya pada fase industri yang merontokan fase agraris, dimulai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt. Penemuan tersebut mendorong revolusi industri yang berujung pada kolonialisme dan atau imprealisme. Begitu juga pada fase internet of things dewasa ini, dimulai dengan ditemukannya internet yang menyebabkan revolusi informasi yang memiliki ciri-ciri : sharing, real time dan on demand. Revolusi informasi yang diyakini belum mencapai puncaknya ini, entah akan melahirkan model imprealisme yang seperti apa. Satu hal yang pasti, model imprealisme yang dihasilkan oleh revolusi informasi ini akan lebih dahsyat dan mengerikan bagi kemanusiaan.

Dalam menghadapi badai tersebut, paling tidak, kita harus memiliki : (1) kemampuan berbahasa ( baik itu menulis, membaca, menyimak dan berbicara, maupun pemahaman akan teks, konteks dan konten) sebagai kemampuan mendasar dalam peradaban manusia; (2) penguasaan akan teknologi informasi; (3) kemampuan manajerial yang baik, yakni yang dapat menjadikan kita sebagai trasformator baik secara individual maupun organisasional.


Kemampuan tersebut tentu saja tidak akan didapat begitu saja secara tiba-tiba, melainkan harus melalui suatu proses pembentukan. Untuk itu, komunitas Matahari Pagi menawarkan suatu konsep yang disebut dengan Matahari Pagi System, seperti tergambar dalam pola berikut :

Inti dari Matahari Pagi System adalah aktivitas knowledge sharing atau knowledge transfer, yang merupakan porses dialektika ilmiah atau interaksi intelektual diantara anggota komunitas.

Knowledge sharing / knowledge transfer mensyaratkan perlakuan ilmiah terhadap ilmu pengetahuan sehingga ilmu pengetahuan tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan (what to be), lebih jauhnya dapat menggerakan atau mentransformasikan seseorang (baca : individu) dan atau organisasi menjadi lebih efektif, efisien, fleksibel dan adaptif (how to be) terhadap perubahan yang serba cepat.

Cara bagaimana untuk dapat memperlakukan ilmu pengetahuan secara ilmiah bisa didapatkan dengan cara mengikuti TDW program, yang didalamnya terdiri program bagaimana untuk bisa menjadi individu dan organisasi yang transformatif.

Untuk bisa mengikuti TDW program dengan baik, terlebih dahulu siswa harus mengikuti Kelas Matahari Pagi sebagai forum perkenalan kepada bentuk interaksi intelektual, seperti misalnya bagaimana cara mempelajari suatu pengetahuan secara mendasar dan komprehensif, atau bagaimana membangun struktur berpikir suatu argumen/tulisan/karya lainnya, dan atau bagaimana untuk bisa tetap berpikiran terbuka dan kritis.

Kelas Matahari Pagi dan TDW program pada hakikatnya merupakan human capital creation, proses pembangunan aset sumber daya manusia yang unggul. Apabila terbangun sumber manusia yang unggul, maka level aktivitas knowledge sharing / knowledge transfer ditingkatkan, yang asalnya komunitas sebagai wadah kaderisasi menjadi koalisi perubahan. Dimaksud dengan koalisi perubahan adalah anggota komunitas yang sudah terbangun sebagai sumber manusia unggul berkerja sama sebagai change agent in team. Mereka bekerja sama untuk memberikan dampak berupa the law of few to critical mass transformation, yakni pemicu transformasi dalam skala yang lebih besar lagi.

Apabila Komunitas Matahari Pagi sudah memberikan dampak dalam skala besar, maka yang demikian merupakan ciri era transhumanisme sudah terwujud. Era transhumanisme adalah era dimana setiap individu sudah mampu bertransformasi secara mandiri (individual transformatif/INTIF) dan organisasi sudah bisa mentransformasikan dirinya menjadi organisasi yang efektif sebagai budaya unggulnya (organisasional transformatif/ONTIF).

Dari aktivitas knowledge sharing / knowledge transfer para INTIF dan atau ONTIF maka akan suatu penemuan kembali masa depan (reinventing the future), yaitu suatu model kehidupan kal jasad. Model kehidupan demikian bersendikan sharing community, yakni masyarakat yang bersifat madani (civil society), yang akan mendisrupsi model kehidupan masyarakat yang saling menindas (sosial piramid). Sendi kehidupan yang lain berupa sharing economy, yakni terlaksananya konsep koperasi secara paripurna sebagai soko guru perekonomian bangsa. Model perekonomian yang demikian akan mendisrupsi model ekonomi kapitalis.

Knowledge sharing / knowledge transfer dalam prosesnya haruslah berbasis teknologi informasi (knowledge process base on IT) untuk memudahkan akses. Pada tahap awal, sebagai prototype berupa website www.mataharipagi.tk yang ditunjang oleh berbagai media sosial dan email. Kedepannya, suatu keharusan dalam menghadapi tantangan zaman, dijalankan dengan format massive open online course (MOOC).

Terakhir, seluruh lalu lintas ilmu pengetahuan harus terdokumentasikan secara cermat dalam suatu knowledge storage yang berfungsi sebagai perpustakaan, yakni Aris Munandar Library.

Untuk mendapatkan artikel ini dalam format pdf silahkan diunduh disini.


Aris Munandar. Penulis, Kontributor utama www.mataharipagi.tk, Pendiri Komunitas Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar Library, Penggagas TDW Program, CEO CV Matahari Pagi, editor di Penerbit Matahari Pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"