Puisi Ungkapan Hati karya Miuri dan Fenomena Pacaran.
Ungkapan Hati
Kupendam
rasa ini
Tak
berani ku ungkapkan
Entahlah...
Ku
tak punya keberanian
Untuk
mengatakannya
Kenapa?
Karena
ku tak ingin merusak
Sebuah
pertemanan
Aku
takut...
Jika
aku ungkapkan ini
Semuanya
akan hilang
Aku
takut...
Ketika
aku katakan perasaanku padamu
Kau
akan pergi menjauhiku
Sudah
cukup
Berjuta
tetes air mata ini
Terbuang
sia-sia hanya untukmu
Kau
tau apa yang kau tangisi?
Rasa
takutku...
Rasa
takut untuk mengungkapkannya
Dan
lebih memilih memendamya.
Karena
itulah...
Lebih
baik ku pendam perasaan ini
Agar
aku selalu bisa dekat denganmu
Agar
aku bisa melihat senyum dan tawamu
Walau
itu bukan karenaku
Miuri. Siswa Kelas Matahari Pagi.
Puisi
tersebut begitu lugas yang kuncinya terletak pada judul, yakni “Ungkapan
Hati”. Hampir secara keseluruhan puisi
Ungkapan Hati dapat dimaknai secara referensial. Namun jika lebih jauh lagi, dilihat
dalam kontek sosial budaya. Puisi ini dilahirkan oleh Generasi Milenial. Suatu
generasi dimana eraly dating
(berpacaran secara dini) kian marak. Sehingga, fenomena berpacaran dikalangan
remaja suatu hal yang lumrah. Hal ini tentu saja akan sangat mengelitik
kesadaran kita. Disamping juga memberikan tantangan bagi kita untuk memaknai
dengan cakrawala lebih luas.
Sebelumnya,
kita tarik benang merah antara puisi Ungkapan Hati karya Miuri ini dengan puisi
16 karya Zee, yaitu fase remaja. Remaja, menurut Santrock, adalah masa
perkembangan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup
perubahan biologis, kognitif dan sosio emosional. Masa perkembangan transisi,
bagi hal apapun juga, akan sangat menentukan.
Oleh
karena itu, remaja ketika menghadapi fase ambiguitas sangat membutukan
dukungan. Karena jika kurang dan atau tidak mendapatkan dukungan, maka remaja
tersebut akan terus mengalami kebingungan-kebingungan yang akan berlanjut
kepada ketidakstabilan emosi. Maka, pemaknaan ini bisa dianggap sebagai bentuk
dukungan bagi remaja Generasi Milenial.
Berpacaran : Definisi dan Tinjauannya.
Berpacaran
sudah merupakan fenomena yang lazim dikalangan remaja dewasa ini. Setidaknya
hal tersebut juga terlihat dalam bait-bait puisi Ungkapan Hati. Secara ringkas,
jika puisi tersebut diparafrasekan, sebagai berikut :
Aku memendam rasa karena tak berani mengungkapkannya. Aku takut
merusak pertemanan kita jika rasa ini ku katakan. Aku tak ingin kau menjauhiku,
meski untuk itu berjuta air mata telah terbuang sia-sia. Biarlah aku memendam
rasa ini, asalkan aku bisa dekat denganmu, bisa melihat senyummu, melihat tawamu,
meski bukan untukku.
Disini,
jelas sekali terlihat adanya ketertarikan si “aku” terhadap lawan jenisnya.
Adanya keinginan si “aku” untuk selalu berada didekat pujaannya tersebut,
meskipun harus memendam perasaanya tersebut dikarenakan rasa takut. Ketakutan
yang dialami oleh si “aku” disini lebih disebabkan oleh belum dipahaminya
mengenai perasaan tersebut. Kita simpulkan perasaan tersebut sebagai
ketertarikan terhadap lawan jenis dan keinginan untuk selalu dekat sebagai
dorongan untuk berpacaran.
Lalu,
apa itu berpacaran?
Berbagai
definisi berpacaran menurut Soni Set. Berpacaran adalah suatu pertemana yang
akrab. Berpacaran adalah proses bermain dan beraktivitas bersama dengan saling
memberikan perhatian. Berpacaran adalah awal tindakan atau wujud kasih sayang
karena daya tarik atau kesamaan hobi.
Berpacaran,
menurut Agus Setiawan, adalah awal bagi remaja untuk belajar bekerjasama dan
saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing.
Berpacaran,
menurut Fransisca Mudjijanti, adalah proses pengenalan awal dua remaja yang
dilandasi rasa senang, cinta, perhatian dengan melibatkan perasaan untuk suatu
tujuan, yaitu menemukan cara berelasi dan pertemanan yang lebih akrab.
Kenapa
muncul perasaan tertarik terhadap lawan jenis sehingga memicu dorongan untuk
berpacaran?
Dorongan
untuk berpacaran pada remaja berkaitan erat dengan masa puber, yang ditandai
dengan perubahan secara fisik dan psikis pada diri remaja tersebut.
Secara
fisik hal tersebut dikarenakan mulai berproduksinya hormon testoteron pada
laki-laki dan hormon estrogen pada perempuan.
Hormon
testoteron akan menyiapkan tubuh laki-laki untuk memproduksi sel-sel sperma
dalam jumlah besar, sehingga menimbulkan tekanan birahi untuk disalurkan.
Keadaan tersebut akan membuat laki-laki akan lebih peka terhadap rangsangan,
meskipun hanya berupa visual dan suara.
Sedangkan
pada perempuan, hormon estrogen akan menstimulasi terbentuknya sel telur dalam
waktu tertentu diproduksi dan siap dibuahi. Berbeda dengan laki-laki, perempuan
akan cenderung bereaksi pada rangsangan berupa sentuhan fisik yang lembut dan
melenakan.
Secara
psikis, Agus Setiawan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat mendorong
timbulnya minat untuk berpacaran, yaitu : perkembangan dalam diri remaja,
kebutuhan sosial, rasa ketertarikan karena persamaan, pengaruh
lingkungan/teman, pengaruh kemajuan teknologi.
Sedangkan
menurut Arswendo Atmowiloto, faktor-faktor yang dapat mendorong seorang remaja
berpacaran adalah : ingin tahu lebih banyak mengenai orang lain, ingin belajar
bermasyarakat dalam hal ini berteman dengan lawan jenis, ingin bersenang-senang
dan menikmati suasana berkencan, ingin mengikuti berpacaran karena dianggap
sebagai suatu kebiasaan dimasyarakat, serta ingin menunjukan kepada teman jika
ia bisa menggaet lawan jenisnya.
Dengan
demikian, dorongan berpacaran atau minimal rasa ketertarikan terhadap lawan
jenis merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari oleh remaja. Oleh karena
tidak bisa dihindari, maka remaja harus dipersiapkan dan mempersiapkan diri
untuk menjalani fenomena tersebut. Yang paling utama adalah mempersiapkan
pemahaman dan dampak yang dapat ditimbulkannya.
Dampak Berpacaran.
Sepertihalnya
mata uang yang memiliki dua sisi, demikian pula berpacaran. Arswendo Atmowiloto
mengistilahkan hal tersebut sebagai berpacaran sehat dan berpacaran tak sehat. Pacaran
sehat didefinisikan sebagai pertemanan yang saling mendukung, menghargai,
menghormati, mempengaruhi dalam tindakan positif, memberikan semangat dan
saling mengutungkan. Sedangkan pacaran tak sehat didefinisikan sebagai
pertemanan atau persahabatan yang hanya mencari keuntungan, tidak ada tanggung
jawab, kurang menghargai teman, hanya sebagai suatu kesenangan saja, melanggar
batas-batas yang aman.
Pembedaan
pengertian pacaran menjadi pacaran sehat dan pacaran tak sehat seperti yang
dikemukakan oleh Arswendo Atmowiloto diatas didasarkan adanya perbedaan cara
pandang remaja dan akan berujung pada pilihan mana yang akan dijalani remaja
tersebut nantinya. Pertama, cara pandang dengan pendekatan pacaran sebagai cara
berelasi dengan melibatkan perasaan dan meskipun ada aktivitas bersama, tetapi
masih mengedepankan unsur kepolosan dan kejujuran dengan mengedepankan saling
menghormati hak dan kewajiban satu sama lain. Cara pandang kedua, pendekatan
yang melewati batas kepatutan dan hilangnya kendali atas akal sehat, terutama
interaksi secara fisik.
Perilaku
kontak fisik yang umumnya mulai dilakukan oleh remaja berupa mengungkapkan
perasaan, mencium dan meraba.
Permasalahannya
adalah jika sepasang remaja tersebut dalam berpacaran melakukan petualangan
yang dapat menghanyutkan dengan adanya kedekatan secara fisik sehingga dapat
menimbulkan perasaan nyaman dan membangunkan berbagai titik rangsang birahi.
Rasa penasaran dan sensasi untuk terus melakukan eksplorasi akan menimbulkan
berbagai macam resiko. Sehingga, apakah remaja tersebut telah memahami situasi
dan kondisi yang dijalaninya, termasuk tanggung jawab yang menyertainya?
Kesiapan inilah yang harus dibangun oleh para remaja.
Dampak
lain bagi remaja yang belum siap atau belum memahami mengenai tujuan
berpacaran, yaitu timbulnya perilaku artifiasial/berpura-pura didepan
pasangannya. Misalnya, remaja laki-laki selalu berusaha menampilkan sikap yang
seolah-olah gagah berani dan atau remaja perempuan yang menampilkan sikap
seolah-olah selalu manis dan lucu, dihadapan pasangannya. Selain itu, semakin
besarnya risiko mengalami sakit hati, depresi, rapuh atau bahkan sakit-sakitan
bagi remaja yang berpacaran.
Dampak-dampak
tersebut sebagai akibat yang ditimbulkan oleh karena memilih pacaran tak sehat
akan sangat berbahaya bagi remaja. Karena remaja sedang dalam pembentukan
konsep diri dan konsep diri adalah hal yang akan sangat menentukan masa depan
remaja tersebut.
Membentuk Pemahaman Remaja terhadap Berpacaran.
Berpacaran
merupakan fenomena yang tidak bisa dihindari jika remaja tersebut memutuskan
untuk mengeksplorasi perasaan cintanya yang sudah tumbuh. Dikarenakan dorongan
tersebut disebabkan mulai berproduksinya hormon, yaitu hormon testosteron pada
laki-laki dan hormon estrogen pada perempuan.
Critical
point, menurut Fransisca Mudjijanti, bagi remaja sebelum memutuskan untuk
berpacaran, diantaranya : (1) pemahaman dan penghormatan akan hak dan kewajiban
masing-masing; (2) kriteria mengenai pasangan/calon pasangan apakah akan
mendorong kearah pacaran sehat atau pacaran tak sehat; (3) seberapa besar
dorongan remaja tersebut untuk melakukan interaksi secara fisik dengan pasangan.
Pemahaman
dan penghormatan akan hak dan kewajiban masing-masing yang dimaksudkan disini
bukan dalam ruang lingkup yang sempit. Ruang lingkup yang sempit, dalam arti,
hanya membentuk pola hubungan yang ambigu. Maksudnya, berpacaran akan dimaknai
sebagai miniatur ikatan perkawinan berikut hak dan kewajiban tersebut. Ujungnya
menjadikannya masuk dalam kategori pacaran tak sehat.
Kriteria
mengenai pasangan/calon pasangan apakah akan mendorong kearah pacaran sehat
atau pacaran tak sehat merupakan point yang sangat penting. Karena jika kita
menjatuhkan pilihan kepada orang yang salah, tentu nantinya akan merugikan diri
kita sendiri. Kriteria yang paling mendasar yang harus dimiliki oleh
pasangan/calon pasangan kita adalah komitmen. Komitmen yang harus dimiliki,
yaitu berkomitmen untuk : (a) tidak menstimulus, mengajak dan atau melakukan
kontak fisik dalam bentuk apapun; (b) menyalurkan
hasrat, dorongan dan perasaan yang ditimbulkan oleh hormon estrogen dan atau
testosteron kepada hal yang produktif, seperti berlomba dalam prestasi
akademik/non akademik, karya seni/sastra.
Mengetahui
seberapa besar dorongan kita untuk melakukan interaksi secara fisik dengan
pasangan juga sangat penting. Pengetahuan tersebut dapat menjadi acuan bagi
kita sehingga bisa merumuskan batasan-batasan/peringatan dini untuk tetap
bersikap rasional dan hati-hati jika ditemui adanya kondisi yang mengarah
terhadap aktivitas tersebut. Akan lebih baik jika dengan pengetahuan tersebut
kita menghindari interaksi fisik.
Namun
demikian, menurut David Elkin, kebanyakan remaja tidak mengetahui mengenai
tujuan berpacaran.
Berpacaran tidak?
Tolok
ukur kapan sebaiknya remaja diperbolehkan untuk berpacaran, bukan lagi dengan
ukuran umur, melainkan pada faktor mental yaitu kapan remaja tersebut telah
“siap”, termasuk kesiapan untuk bertanggung jawab.
Mengingat
banyaknya dampak negatif yang berpotensi timbul yang dikarenakan kebanyakan
remaja tidak mengetahui tujuannya, kebanyakan orangtua akan melarang anak
remajanya untuk berpacaran. Namun, pelarangan tersebut belum tentu juga
merupakan langkah yang baik jika alasan pelarangan tersebut juga tidak dipahami
oleh remaja. Maka disini permasalahan
utamanya bukan pada boleh atau tidak bolehnya remaja berpacaran, tetapi lebih
kepada bagaimana orangtua dan remaja tersebut mengkomunikasikan hal tersebut
sehingga timbul suatu kepahaman.
Kepahaman
orangtua mengenai perkembangan fisik dan psikis anak remajanya, serta bagaimana
merumuskan cara kontrol yang tepat bagi anak remajanya tersebut. Begitu juga
kepahaman remaja tersebut akan pilihan dan konsekuensi dari pilihannya
tersebut, sehingga hal tersebut akan membentuk kepribadian yang
bertanggungjawab sebagai pilar utama dari konsep dirinya.
Kelas Matahari Pagi : Kreator SDM Tangguh.
Kenapa
mayoritas remaja tidak memiliki pemahaman mengenai berpacaran?
Hal
tersebut disebabkan alasan-alasan seperti misalnya tingkat literasi Indonesia
di ranking 60 dari 61 negara menurut survei Central
Connecticut State University in New Britain. Atau juga data statistik
Unesco pada tahun 2012 menunjukan minat baca kita hanya 3 buku per tahun,
bandingkan dengan rata-rata minat baca di negara-negara maju yaitu sekitar 20
sampai 30 buku per tahun. Masih berdasarkan data yang sama, hanya 1 dari 1.000
orang indonesia yang memiliki minat baca serius. Belum lagi masih rendahnya
kemampuan baca anak Indoneisa, yang berdasarkan data literasi.org : kemampuan
membaca anak di pulau Jawa sebanyak 59 kata per menit (KPM). Hal tersebut paling
tinggi dibanding dengan anak di pulau Kalimantan dan Sulawesi yang sekitar 42
KPM dan paling rendah kemampuan membaca anak di Indonesia bagian timur yakni
sekitar 29 KPM.
Belum
lagi kualitas pendidikan kita yang masih rendah, yaitu berada diperingkat ke-5
dari 10 negara Asean. Dan peringkat ke-69 dari 76 negara berdasarkan Programme for Internasional Student
(PISA) di tahun 2015.
Data
tersebut akan menjadi sebuah paradoks jika disandingkan dengan data yang
disajikan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) per
November 2016 bahwa 132,7 juta dari 256,2 juta penduduk Indonesia telah
menggunakan internet. Diantara pengguna internet tersebut : 21% mengakses
internet dengan alasan pekerjaan, 9% untuk pendidikan dan sisanya sebanyak 70%
dengan alasan lainnya. Hal ini menunjukan bahwa Indonesia telah menjadi bagian
dari dunia yang memasuki era internet of
things.
Paradoks
tersebut membentuk suatu kenyataan bahwa tantangan globalisasi, yakni pengaruh
negatif teknologi informasi dan komunikasi terhadap gaya hidup remaja serta
pudarnya nilai-nilai religiusitas dan kearifan lokal budaya bangsa sebagai
salah satu tantangan dan urgensi dari penguatan pendidikan karakter menurut
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Tantangan dan urgensi lainnya adalah :
(1) harmonisasi potensi siswa yang belum optimal antara olah hati (etik), olah
pikir (literasi), olah rasa (estetik), dan olah raga (kinestetik); (2) besarnya
populasi siswa, guru dan sekolah yang tersebar diseluruh Indonesia; (3) belum
optimalnya sinergi tanggungjawab terhadap pendidikan karakter anak antara
sekolah, orangtua dan masyarakat; (4) terbatasnya pendampingan orang tua
mengakibatkan krisis identitas dan disorientasi tujuan hidup anak; (5)
keterbatasan sarana dan infrastruktur.
Sungguh
suatu fakta yang sangat miris, di era internet of things masih menganggap
teknologi informasi dan komunikasi sebagai suatu ancaman, hal tersebut
dikarenakan rendahnya tingkat literasi dan kualitas pendidikan, sementara
pengguan internet terus meningkat secara masif.
Sementara
itu, siklus kompetisi dunia terus beredar. Setelah era red ocean, kemudian hadir era blue
ocean. Namun perkembangan blue ocean
ini menimbulkan disruption, sehingga
mengembalikan kompetisi kembali ke era red
ocean. Sepertihalnya pada fase industri yang merontokan fase agraris,
dimulai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt. Penemuan tersebut mendorong
revolusi industri yang berujung pada kolonialisme dan atau imprealisme. Begitu
juga pada fase internet of things
dewasa ini, dimulai dengan ditemukannya internet yang menyebabkan revolusi
informasi yang memiliki ciri-ciri : sharing,
real time dan on demand. Revolusi informasi yang diyakini belum mencapai puncaknya
ini, entah akan melahirkan model imprealisme yang seperti apa. Satu hal yang
pasti, model imprealisme yang dihasilkan oleh revolusi informasi ini akan lebih
dahsyat dan mengerikan bagi kemanusiaan.
Dalam
menghadapi badai tersebut, paling tidak, kita harus memiliki : (1) kemampuan
berbahasa ( baik itu menulis, membaca, menyimak dan berbicara, maupun pemahaman
akan teks, konteks dan konten) sebagai kemampuan mendasar dalam peradaban
manusia; (2) penguasaan akan teknologi informasi; (3) kemampuan manajerial yang
baik, yakni yang dapat menjadikan kita sebagai trasformator baik secara
individual maupun organisasional.
Kemampuan
tersebut tentu saja tidak akan didapat begitu saja secara tiba-tiba, melainkan
harus melalui suatu proses pembentukan. Untuk itu, komunitas Matahari Pagi
menawarkan suatu konsep yang disebut dengan Matahari Pagi System, seperti tergambar dalam pola berikut :
Inti dari Matahari Pagi System adalah aktivitas knowledge sharing atau knowledge transfer, yang merupakan
porses dialektika ilmiah atau interaksi intelektual diantara anggota komunitas.
Knowledge sharing / knowledge
transfer mensyaratkan perlakuan ilmiah terhadap ilmu pengetahuan sehingga
ilmu pengetahuan tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan (what to be), lebih jauhnya dapat
menggerakan atau mentransformasikan seseorang (baca : individu) dan atau
organisasi menjadi lebih efektif, efisien, fleksibel dan adaptif (how to be) terhadap perubahan yang serba
cepat.
Cara bagaimana untuk dapat memperlakukan ilmu
pengetahuan secara ilmiah bisa didapatkan dengan cara mengikuti TDW program,
yang didalamnya terdiri program bagaimana untuk bisa menjadi individu dan
organisasi yang transformatif.
Untuk bisa mengikuti TDW program dengan baik, terlebih
dahulu siswa harus mengikuti Kelas Matahari Pagi sebagai forum perkenalan
kepada bentuk interaksi intelektual, seperti misalnya bagaimana cara
mempelajari suatu pengetahuan secara mendasar dan komprehensif, atau bagaimana
membangun struktur berpikir suatu argumen/tulisan/karya lainnya, dan atau
bagaimana untuk bisa tetap berpikiran terbuka dan kritis.
Kelas Matahari Pagi dan TDW program pada hakikatnya
merupakan human capital creation,
proses pembangunan aset sumber daya manusia yang unggul. Apabila terbangun
sumber manusia yang unggul, maka level aktivitas knowledge sharing / knowledge
transfer ditingkatkan, yang asalnya komunitas sebagai wadah kaderisasi
menjadi koalisi perubahan. Dimaksud dengan koalisi perubahan adalah anggota
komunitas yang sudah terbangun sebagai sumber manusia unggul berkerja sama
sebagai change agent in team. Mereka
bekerja sama untuk memberikan dampak berupa the
law of few to critical mass transformation, yakni pemicu transformasi dalam
skala yang lebih besar lagi.
Apabila Komunitas Matahari Pagi sudah memberikan
dampak dalam skala besar, maka yang demikian merupakan ciri era transhumanisme
sudah terwujud. Era transhumanisme adalah era dimana setiap individu sudah
mampu bertransformasi secara mandiri (individual transformatif/INTIF) dan
organisasi sudah bisa mentransformasikan dirinya menjadi organisasi yang
efektif sebagai budaya unggulnya (organisasional transformatif/ONTIF).
Dari aktivitas knowledge
sharing / knowledge transfer para
INTIF dan atau ONTIF maka akan suatu penemuan kembali masa depan (reinventing the future), yaitu suatu
model kehidupan kal jasad. Model kehidupan demikian bersendikan sharing community, yakni masyarakat yang
bersifat madani (civil society), yang
akan mendisrupsi model kehidupan masyarakat yang saling menindas (sosial
piramid). Sendi kehidupan yang lain berupa sharing
economy, yakni terlaksananya konsep koperasi secara paripurna sebagai soko
guru perekonomian bangsa. Model perekonomian yang demikian akan mendisrupsi
model ekonomi kapitalis.
Knowledge sharing / knowledge
transfer dalam prosesnya haruslah berbasis teknologi informasi (knowledge process base on IT) untuk
memudahkan akses. Pada tahap awal, sebagai prototype
berupa website www.mataharipagi.tk yang
ditunjang oleh berbagai media sosial dan email. Kedepannya, suatu keharusan
dalam menghadapi tantangan zaman, dijalankan dengan format massive open online course (MOOC).
Terakhir, seluruh lalu lintas ilmu pengetahuan harus
terdokumentasikan secara cermat dalam suatu knowledge storage yang berfungsi
sebagai perpustakaan, yakni Aris Munandar Library.
Aris Munandar. Penulis, Kontributor utama www.mataharipagi.tk,
Pendiri Komunitas Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar Library, Penggagas TDW
Program, CEO CV Matahari Pagi, editor di Penerbit Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar