“Dalam hidup kita, cuma
satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga
hidup kita ini?” – Pram.
Pada
dasarnya manusia senantiasa berusaha mencari kebenaran, dalam berbagai bentuk, dalam
upaya mencari makna hidup. Kebenaran, dalam konteks berbangsa dan bernegara di
Indonesia, merujuk kepada norma hukum. Indonesia sebagai negara hukum memiliki
tujuan untuk menegakan keadilan.
Element
penting dari penegakan keadilan adalah kejujuran. Kejujuran sebagai sikap yang
sesuai dengan hati nurani. Hati nurani merupakan wadah bagi manusia menyimpan
keyakinan. Keyakinan itulah yang menjadi pandangan hidup.
Pandangan
kita sudah jelas. Kita adalah bangsa yang ingin memastikan keadilan hadir
dibumi ini. Sama dengan kita harus memastikan jika hukum, peraturan
perundangan, dilaksanakan dengan baik. Kata lainnya adalah menghadirkan good governance, baik di government maupun corporate.
Namun
demikian, kejahatan selalu bergentayangan pada celah-celah hukum, pada
ruang-ruang kekuasaan. Kejahatan yang selalu memanipulasi keadilan dan
kebenaran. Dia hadir menelusup kedalam kebijakan-kebijakan menjadikan kekuatan.
Dia berbaur pada politik-politik menjadikannya busuk. Pengaburan informasi dan
fakta. Menjadi arogansi ekonomi dan modal. Dan yang paling keji adalah
menciptakan ketergantungan.
Kejahatan
itu terjadi karena adanya nafsu-nafsu hewani pada manusia. Nafsu-nafsu yang
bermutasi menjadi kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan. Nafsu-nafsu
oportunis yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memenuhi kepentingannya itu. Kejahatan
yang bisa saja terjadi di sektor pemerintahan (publik) dan atau swasta.
Ditengah
masih lemahnya penegakan hukum. Ditambah para aparat penegak hukum belum
bersinergi. Maka hal ini merupakan panggilan bagi kita, sebagai warga negara,
untuk mendorong pelaksanaan hukum supaya dijalankan sebaik-baiknya. Salah satunya
adalah melaporkan dan atau menyampaikan informasi penyelewengan-penyelewengan,
yang pastinya, melanggar hukum. Panggilan bagi kita untuk mengambil peranan
sebagai whistleblower.
Istilah
whistleblower didefinisikan, Quentin
Dempster dalam bukunya Para Pengungkap Fakta, sebagai orang yang mengungkapkan
fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi. Dempster
menerjemahkan whistleblower sebagai
pengungkap fakta. Karena secara harfiah, whistleblower
berarti peniup peluit dan hal ini bukan sebuah istilah familier bagi kita.
Sementara
dalam buku yang diterbitkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berjudul Memahami Whistleblower tetap menggunakan whistleblower. Meskipun terdapat
penjelasan mengenai padanan katanya yaitu peniup peluit, saksi pelapor, atau
pengungkap fakta. Selanjutnya merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 mendefinisikan whistleblower
sebagai pelapor tindak pidana yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana
tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengistilahkan whistleblower sebagai pelapor. Pelapor
didefinisikan dalam pasal (1) nomor (4) : Pelapor adalah orang yang memberikan
laporan, informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana
yang akan, sedang, atau telah terjadi.
Memberikan
laporan, informasi, atau keterangan mengenai suatu tindak pidana bukan
merupakan perkara yang mudah. Ada resiko yang sangat besar disana. Pada proses
tersebut, tidak jarang terdapat seseorang yang terperangkap pada keadaan
mengetahui kebenaran mengenai informasi itu yang bisa mengancam diri dan
karirnya. Inilah saat dimana seseorang
yang mengetahui kebenaran informasi untuk memutuskan apakah akan membela dan
mengungkapkan kebenaran informasi yang diketahuinya atau akan membiarkan dan
menutupi informasi tersebut. Ditengah tumpang tindih kepentingan dan
konflik-konflik dalam upaya pengungkapan fakta, para pelapor selalu menjadi
yang paling menderita. Penderitaan yang dialami, mulai dari kurangnya
kepercayaan yang diterima, runtuhnya rasa percaya diri, pelecehan, intimidasi,
atau bahkan penyiksaan. Tapi sesungguhnya, mereka itu bukanlah pecundang.
Mereka adalah pemenang. Berkaca pada pengalaman pribadi mereka, pengorbanan dan
penderitaan mendalam, maka kita sebagai anggota masyarakat juga bisa menjadi
pemenang (Dempster, 2006). Sesungguhnya pelapor, bersama dengan saksi, saksi
pelaku dan korban adalah pahlawan kebenaran dan keadilan.
Peran
serta masyarakat dalam pelaporan tindak pidana juga sangat diharapkan oleh LPSK. Tanggungjawab masyarakat sangat
dibutuhkan dalam melaporkan dan menyampaikan dugaan kejahatan atau tindak
pidana yang terorganisir. Tanggungjawab untuk mengambil peran sebagai whistleblower. Masyarakat berkedudukan
sebagai pengawal utama nilai moral ditengah semakin ketatnya persaingan
(Semendawai dkk, 2011).
Oleh
karena pentingnya keberadaan whistleblower tersebut ditengah penguatan ekonomi
makro, kompetisi ekonomi, liberalisme politik, tuntutan penegakan hukum, hingga
pemberantasan mafia disegala bidang. Setiap skandal publik akan mempengaruhi
upaya perbaikan dibidang ekonomi, politik, hukum, maupun sosial. LPSK dibangun dengan tugas dan fungsi
melindungi saksi dan korban, termasuk whistleblower
tentunya. Negara menyadari besarnya resiko yang dihadapi seorang
whistleblower berupa perlawanan, ancaman bahkan balas dendam dari pihak-pihak
yang merasa dirugikan (Semendawai dkk, 2011).
Untuk
itu, Negara dengan sangat responsif melakukan revisi terhadap
kekurangan-kekurangan yang ada dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi
dan Korban dengan menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Berdasarkan
catatan penulis, terdapat 22 point penyempurnaan dalam perubahan Undang-Undang
tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu :
- Istilah saksi dirinci menjadi saksi, saksi pelaku dan pelapor.
- Hak saksi dan korban ditambah dengan : dirahasiakan identitasnya, mendapatkan tempat kediaman sementara, dan mendapat pendampingan.
- Hak saksi dan korban berlaku juga bagi saksi pelapor, pelapor, saksi ahli dan pemberi keterangan.
- Adanya pengaturan lebih jelas mengenai mekanisme pemberian hak dari saksi dan korban.
- Pengaturan lebih terperinci mengenai hak restitusi bagi korban.
- Percepatan proses perlindungan saksi.
- Adanya reward bagi saksi pelaku.
- Adanya penguatan fungsi dan tugas LPSK.
- Struktur dan formasi LPSK diperjelas dan diperkuat.
- Dibentuk lembaga penasihat LPSK.
- Penguatan kesekretariatan LPSK dalam rangka mendukung fungsi dan tugas LPSK.
- Keanggotaan LPSK ditekankan pada kapabilitasnya. Pengaturan mengenai keterwakilan kelembagaan dihapuskan.
- Penambahan janji dan sumpah anggota LPSK.
- Penjelasan mengenai PAW anggota LPSK.
- Adanya penjelasan mengenai syarat dan ketentuan untuk menjadi saksi, saksi pelaku, pelapor dan ahli. Walaupun kriterianya masih berdasarkan jenis tindak pidana tertentu.
- Perlindungan LPSK bisa diberikan tanpa adanya permohonan.
- Adanya pengaturan perlindungan bagi saksi dan korban anak.
- Adanya penghentian perlindungan jika adanya itikad tidak baik dan tindak pidana yang dilaporkan tidak terbukti.
- Sanksi bagi yang melakukan pelanggaran atas perlindungan yang diberikan diperberat.
- Sanksi bagi pengganggu diberikannya perlindungan diperberat.
- Sanksi bagi yang membocorkan proses perlindungan diperberat.
- Adanya sanksi bagi pelanggar, pengganggu dan yang membocorkan perlindungan apabila dilakukan oleh korporasi.
Namun demikian, belum semua catatan dari
masyarakat diakomodasi dalam perubahan tersebut. Catatan kritis Supriyadi Widodo
Eddoyono dalam position paper-nya berjudul
Undang-Undang Perlindungan Saksi, Belum Progresif : Catatan Kritis terhadap
Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Diantara rekomendasi
yang belum terakomodasi tersebut adalah, sebagai berikut :
- Pembatasan terhadap saksi yang akan dilindungi merupakan kemunduran. Seharusnya dihilangkan.
- Konsep “saksi terkait” harus diperluas. Tidak hanya yang memiliki hubungan darah, tetapi termasuk orang-orang yang mempunyai hubungan emosional dengan saksi.
- Tidak ada kejelasan, saksi dari pihak manakah yang harus dilindungi. Seharusnya saksi dalam kasus pidana yang membantu aparat penegak hukum (saksi pihak penuntut).
- Perlindungan (hak saksi) yang bisa diberikan masih tumpang tindih. Sebaiknya diberikan penjelasan mengenai indikator pemberian hak-hak itu.
- Pemilihan anggota LPSK tidak harus disetujui oleh DPR.
- Keputusan dan kebijakan LPSK yang didasari oleh musyawarah dan mufakat tidak sesuai dengan format pekerjaan LPSK. Sebaiknya pengambilan keputusan dipegang oleh ketua LPSK.
- Tata cara pemberian perlindungan saksi harus diatur pula dalam PP.
- Batas waktu LPSK dalam hal memutuskan memberikan perlindungan terlalu singkat.
- Perlu diakomodir kerjasama LPSK dengan lembaga lain dan masyarakat secara lebih efektif. Perlunya bantuan lembaga lain dalam memberikan perlindungan. Membuka peluang peran serta masyarakat dalam memberikan perlindungan saksi.
Yang
menarik adalah adanya usulan dari LPSK sendiri dalam bukunya Memahami Whistleblower terdapat usulan supaya
perlindungan terhadap whistleblower diatur
dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Undang-undang yang ada (dalam
waktu itu masih UU No. 13 Tahun 2006 yang belum direvisi) belum mengatur secara
jelas mengenai apa dan bagaimana pengungkapan itu dilakukan. Serta bagaimana
cara dan mekanisme perlindungan terhadap whistleblower. Beberapa hal yang harus
diatur dalam UU whistleblower, yaitu
: prosedur pengungkapan, pentingnya langkah jelas dalam tindaklanjut
pengungkapan, anonimitas dan pelaporan rahasia, perlindungan. Semakin menarik
karena mayoritas usulan tersebut belum terakomodasi dalam UU perubahannya.
Kita
sebagai masyarakat tentu saja sangat berharap Negara, dalam hal ini diwakili
oleh pemerintah dan DPR, untuk melanjutkan sikap responsifnya guna
menyempurnakan peraturan perundang-undangan. Hal ini supaya masyarakat yang
mengetahui adanya tindakan pidana lebih berani untuk melaporkan.
Namun
demikian, kita berharap juga kepada LPSK
sendiri sebagai lembaga yang diamanatkan oleh negara untuk memberikan
perlindungan saksi dan korban supaya berkinerja seoptimal mungkin ditengah
segala keterbatasannya. Karena dikatakan bahwa penanganan kesaksian whistleblower bisa dilaksanakan dengan
baik tergantung adanya lembaga yang dinyatakan secara tegas dan beroperasi
secara efektif. Dan kita yakin jika LPSK akan melindungi para whistleblower.
Untuk
itu, kepada masyarakat agar berani mengambil peran sebagai whistleblower. Karena diam itu bukan pilihan, saatnya kita bicara. Mengambil
peran sebagai benteng moral bangsa, karena sekali berarti setelah itu mati.
Aris Munandar. Penulis, Kontributor utama www.mataharipagi.tk,
Pendiri Komunitas Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar Library, Penggagas TDW
Program, CEO CV Matahari Pagi, editor di Penerbit Matahari Pagi.
Referensi
:
Nugroho dan
Achmad Muchji, Widyo. (1996). Seri Diktat Kuliah MKDU, Ilmu Budaya Dasar. Jakarta
: Penerbit Universitas Gunadarma.
Widyaningrum dkk,
Nurul. (2003). Pola-Pola Eksploitasi terhadap Usaha Kecil. Bandung. Penerbit Yayasan
AKATIGA.
Dempster,
Quentin. (2006). Para Pengungkap Fakta. Jakarta. Penerbit : ELSAM.
Semendawai dkk,
Abdul Haris. (2011). Memahami Whistleblower. Jakarta : Penerbit Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Tim Fokusmedia.
(2011). Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perlindungan Saksi dan Korban
Edisi Lengkap 2011. Bandung : Penerbit Fokusmedia.
Eddoyono,
Supriyadi Widodo. (2006). Undang-Undang Perlindungan Saksi, Belum Progresif :
Catatan Kritis terhadap Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban. Jakarta : Penerbit Koalisi Perlindungan Saksi & Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar