Selasa, 31 Oktober 2017

DIAM BUKAN PILIHAN, SAATNYA KITA BICARA




“Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”  – Pram.

Pada dasarnya manusia senantiasa berusaha mencari kebenaran, dalam berbagai bentuk, dalam upaya mencari makna hidup. Kebenaran, dalam konteks berbangsa dan bernegara di Indonesia, merujuk kepada norma hukum. Indonesia sebagai negara hukum memiliki tujuan untuk menegakan keadilan.

Element penting dari penegakan keadilan adalah kejujuran. Kejujuran sebagai sikap yang sesuai dengan hati nurani. Hati nurani merupakan wadah bagi manusia menyimpan keyakinan. Keyakinan itulah yang menjadi pandangan hidup.

Pandangan kita sudah jelas. Kita adalah bangsa yang ingin memastikan keadilan hadir dibumi ini. Sama dengan kita harus memastikan jika hukum, peraturan perundangan, dilaksanakan dengan baik. Kata lainnya adalah menghadirkan good governance, baik di government maupun corporate.

Namun demikian, kejahatan selalu bergentayangan pada celah-celah hukum, pada ruang-ruang kekuasaan. Kejahatan yang selalu memanipulasi keadilan dan kebenaran. Dia hadir menelusup kedalam kebijakan-kebijakan menjadikan kekuatan. Dia berbaur pada politik-politik menjadikannya busuk. Pengaburan informasi dan fakta. Menjadi arogansi ekonomi dan modal. Dan yang paling keji adalah menciptakan ketergantungan.

Kejahatan itu terjadi karena adanya nafsu-nafsu hewani pada manusia. Nafsu-nafsu yang bermutasi menjadi kepentingan-kepentingan pribadi dan golongan. Nafsu-nafsu oportunis yang menyalahgunakan kekuasaan untuk memenuhi kepentingannya itu. Kejahatan yang bisa saja terjadi di sektor pemerintahan (publik) dan atau swasta.

Ditengah masih lemahnya penegakan hukum. Ditambah para aparat penegak hukum belum bersinergi. Maka hal ini merupakan panggilan bagi kita, sebagai warga negara, untuk mendorong pelaksanaan hukum supaya dijalankan sebaik-baiknya. Salah satunya adalah melaporkan dan atau menyampaikan informasi penyelewengan-penyelewengan, yang pastinya, melanggar hukum. Panggilan bagi kita untuk mengambil peranan sebagai whistleblower.

Istilah whistleblower didefinisikan, Quentin Dempster dalam bukunya Para Pengungkap Fakta, sebagai orang yang mengungkapkan fakta kepada publik mengenai sebuah skandal, bahaya, malpraktik atau korupsi. Dempster menerjemahkan whistleblower sebagai pengungkap fakta. Karena secara harfiah, whistleblower berarti peniup peluit dan hal ini bukan sebuah istilah familier bagi kita.

Sementara dalam buku yang diterbitkan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) berjudul Memahami Whistleblower tetap menggunakan whistleblower. Meskipun terdapat penjelasan mengenai padanan katanya yaitu peniup peluit, saksi pelapor, atau pengungkap fakta. Selanjutnya merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011 mendefinisikan whistleblower sebagai pelapor tindak pidana yang mengetahui dan melaporkan tindak pidana tertentu dan bukan bagian dari pelaku kejahatan yang dilaporkannya.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengistilahkan whistleblower sebagai pelapor. Pelapor didefinisikan dalam pasal (1) nomor (4) : Pelapor adalah orang yang memberikan laporan, informasi, atau keterangan kepada penegak hukum mengenai tindak pidana yang akan, sedang, atau telah terjadi.

Memberikan laporan, informasi, atau keterangan mengenai suatu tindak pidana bukan merupakan perkara yang mudah. Ada resiko yang sangat besar disana. Pada proses tersebut, tidak jarang terdapat seseorang yang terperangkap pada keadaan mengetahui kebenaran mengenai informasi itu yang bisa mengancam diri dan karirnya.  Inilah saat dimana seseorang yang mengetahui kebenaran informasi untuk memutuskan apakah akan membela dan mengungkapkan kebenaran informasi yang diketahuinya atau akan membiarkan dan menutupi informasi tersebut. Ditengah tumpang tindih kepentingan dan konflik-konflik dalam upaya pengungkapan fakta, para pelapor selalu menjadi yang paling menderita. Penderitaan yang dialami, mulai dari kurangnya kepercayaan yang diterima, runtuhnya rasa percaya diri, pelecehan, intimidasi, atau bahkan penyiksaan. Tapi sesungguhnya, mereka itu bukanlah pecundang. Mereka adalah pemenang. Berkaca pada pengalaman pribadi mereka, pengorbanan dan penderitaan mendalam, maka kita sebagai anggota masyarakat juga bisa menjadi pemenang (Dempster, 2006). Sesungguhnya pelapor, bersama dengan saksi, saksi pelaku dan korban adalah pahlawan kebenaran dan keadilan.

Peran serta masyarakat dalam pelaporan tindak pidana juga sangat diharapkan oleh LPSK. Tanggungjawab masyarakat sangat dibutuhkan dalam melaporkan dan menyampaikan dugaan kejahatan atau tindak pidana yang terorganisir. Tanggungjawab untuk mengambil peran sebagai whistleblower. Masyarakat berkedudukan sebagai pengawal utama nilai moral ditengah semakin ketatnya persaingan (Semendawai dkk, 2011).

Oleh karena pentingnya keberadaan whistleblower tersebut ditengah penguatan ekonomi makro, kompetisi ekonomi, liberalisme politik, tuntutan penegakan hukum, hingga pemberantasan mafia disegala bidang. Setiap skandal publik akan mempengaruhi upaya perbaikan dibidang ekonomi, politik, hukum, maupun sosial. LPSK dibangun dengan tugas dan fungsi melindungi saksi dan korban, termasuk whistleblower tentunya. Negara menyadari besarnya resiko yang dihadapi seorang whistleblower berupa perlawanan, ancaman bahkan balas dendam dari pihak-pihak yang merasa dirugikan (Semendawai dkk, 2011).

Untuk itu, Negara dengan sangat responsif melakukan revisi terhadap kekurangan-kekurangan yang ada dalam Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban dengan menerbitkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

Berdasarkan catatan penulis, terdapat 22 point penyempurnaan dalam perubahan Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu :


  1. Istilah saksi dirinci menjadi saksi, saksi pelaku dan pelapor.
  2. Hak saksi dan korban ditambah dengan : dirahasiakan identitasnya, mendapatkan tempat kediaman sementara, dan mendapat pendampingan.
  3. Hak saksi dan korban berlaku juga bagi saksi pelapor, pelapor, saksi ahli dan pemberi keterangan.
  4. Adanya pengaturan lebih jelas mengenai mekanisme pemberian hak dari saksi dan korban.
  5. Pengaturan lebih terperinci mengenai hak restitusi bagi korban.
  6. Percepatan proses perlindungan saksi.
  7. Adanya reward bagi saksi pelaku.
  8. Adanya penguatan fungsi dan tugas LPSK.
  9. Struktur dan formasi LPSK diperjelas dan diperkuat.
  10. Dibentuk lembaga penasihat LPSK.
  11. Penguatan kesekretariatan LPSK dalam rangka mendukung fungsi dan tugas LPSK.
  12. Keanggotaan LPSK ditekankan pada kapabilitasnya. Pengaturan mengenai keterwakilan kelembagaan dihapuskan.
  13. Penambahan janji dan sumpah anggota LPSK.
  14. Penjelasan mengenai PAW anggota LPSK.
  15. Adanya penjelasan mengenai syarat dan ketentuan untuk menjadi saksi, saksi pelaku, pelapor dan ahli. Walaupun kriterianya masih berdasarkan jenis tindak pidana tertentu.
  16. Perlindungan LPSK bisa diberikan tanpa adanya permohonan.
  17. Adanya pengaturan perlindungan bagi saksi dan korban anak.
  18. Adanya penghentian perlindungan jika adanya itikad tidak baik dan tindak pidana yang dilaporkan tidak terbukti.
  19. Sanksi bagi yang melakukan pelanggaran atas perlindungan yang diberikan diperberat.
  20. Sanksi bagi pengganggu diberikannya perlindungan diperberat.
  21. Sanksi bagi yang membocorkan proses perlindungan diperberat.
  22. Adanya sanksi bagi pelanggar, pengganggu dan yang membocorkan perlindungan apabila dilakukan oleh korporasi.

Namun demikian, belum semua catatan dari masyarakat diakomodasi dalam perubahan tersebut. Catatan kritis Supriyadi Widodo Eddoyono dalam position paper-nya berjudul Undang-Undang Perlindungan Saksi, Belum Progresif : Catatan Kritis terhadap Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Diantara rekomendasi yang belum terakomodasi tersebut adalah, sebagai berikut :


  1. Pembatasan terhadap saksi yang akan dilindungi merupakan kemunduran. Seharusnya dihilangkan.
  2. Konsep “saksi terkait” harus diperluas. Tidak hanya yang memiliki hubungan darah, tetapi termasuk orang-orang yang mempunyai hubungan emosional dengan saksi.
  3. Tidak ada kejelasan, saksi dari pihak manakah yang harus dilindungi. Seharusnya saksi dalam kasus pidana yang membantu aparat penegak hukum (saksi pihak penuntut).
  4. Perlindungan (hak saksi) yang bisa diberikan masih tumpang tindih. Sebaiknya diberikan penjelasan mengenai indikator pemberian hak-hak itu.
  5. Pemilihan anggota LPSK tidak harus disetujui oleh DPR.
  6. Keputusan dan kebijakan LPSK yang didasari oleh musyawarah dan mufakat tidak sesuai dengan format pekerjaan LPSK. Sebaiknya pengambilan keputusan dipegang oleh ketua LPSK.
  7. Tata cara pemberian perlindungan saksi harus diatur pula dalam PP.
  8. Batas waktu LPSK dalam hal memutuskan memberikan perlindungan terlalu singkat.
  9. Perlu diakomodir kerjasama LPSK dengan lembaga lain dan masyarakat secara lebih efektif. Perlunya bantuan lembaga lain dalam memberikan perlindungan. Membuka peluang peran serta masyarakat dalam memberikan perlindungan saksi.

Yang menarik adalah adanya usulan dari LPSK sendiri dalam bukunya Memahami Whistleblower terdapat usulan supaya perlindungan terhadap whistleblower diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Undang-undang yang ada (dalam waktu itu masih UU No. 13 Tahun 2006 yang belum direvisi) belum mengatur secara jelas mengenai apa dan bagaimana pengungkapan itu dilakukan. Serta bagaimana cara dan mekanisme perlindungan terhadap whistleblower. Beberapa hal yang harus diatur dalam UU whistleblower, yaitu : prosedur pengungkapan, pentingnya langkah jelas dalam tindaklanjut pengungkapan, anonimitas dan pelaporan rahasia, perlindungan. Semakin menarik karena mayoritas usulan tersebut belum terakomodasi dalam UU perubahannya.

Kita sebagai masyarakat tentu saja sangat berharap Negara, dalam hal ini diwakili oleh pemerintah dan DPR, untuk melanjutkan sikap responsifnya guna menyempurnakan peraturan perundang-undangan. Hal ini supaya masyarakat yang mengetahui adanya tindakan pidana lebih berani untuk melaporkan.

Namun demikian, kita berharap juga kepada LPSK sendiri sebagai lembaga yang diamanatkan oleh negara untuk memberikan perlindungan saksi dan korban supaya berkinerja seoptimal mungkin ditengah segala keterbatasannya. Karena dikatakan bahwa penanganan kesaksian whistleblower bisa dilaksanakan dengan baik tergantung adanya lembaga yang dinyatakan secara tegas dan beroperasi secara efektif. Dan kita yakin jika LPSK akan melindungi para whistleblower.

Untuk itu, kepada masyarakat agar berani mengambil peran sebagai whistleblower. Karena diam itu bukan pilihan, saatnya kita bicara. Mengambil peran sebagai benteng moral bangsa, karena sekali berarti setelah itu mati.


Aris Munandar. Penulis, Kontributor utama www.mataharipagi.tk, Pendiri Komunitas Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar Library, Penggagas TDW Program, CEO CV Matahari Pagi, editor di Penerbit Matahari Pagi.


Referensi :
Nugroho dan Achmad Muchji, Widyo. (1996). Seri Diktat Kuliah MKDU, Ilmu Budaya Dasar. Jakarta : Penerbit Universitas Gunadarma.
Widyaningrum dkk, Nurul. (2003). Pola-Pola Eksploitasi terhadap Usaha Kecil. Bandung. Penerbit Yayasan AKATIGA.
Dempster, Quentin. (2006). Para Pengungkap Fakta. Jakarta. Penerbit : ELSAM.
Semendawai dkk, Abdul Haris. (2011). Memahami Whistleblower. Jakarta : Penerbit Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Tim Fokusmedia. (2011). Himpunan Peraturan Perundang-undangan Perlindungan Saksi dan Korban Edisi Lengkap 2011. Bandung : Penerbit Fokusmedia.

Eddoyono, Supriyadi Widodo. (2006). Undang-Undang Perlindungan Saksi, Belum Progresif : Catatan Kritis terhadap Undang-Undang No 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Jakarta : Penerbit Koalisi Perlindungan Saksi & Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"