Surat
untuk Daniah.
the Daniah way adalah salah satu sub dari Kelas
Matahari Pagi. Daniah adalah nama anak pertama kami, seorang anak perempuan.
the Daniah way adalah istilah yang kami gunakan untuk menamai bagaimana kami
mendidik supaya dia bisa menjalani hidupnya. Ini merupakan bentuk lain dari
Kurikulum Daniah yang kami susun. Kurikulum pertama yang kami susun adalah
Kurikulum Bimbingan Belajar Pola Asuh Daniah Farrah. Kurikulum itu disusun
untuk menunjang tumbuh kembang Daniah dari 0 sampai dengan 2 tahun. Isinya
terdiri dari aspek motorik kasar, motorik halus, komunikasi dan sosial. Cara
kerjanya adalah kami harus memberikan stimulus-stimulus yang tepat dan
membandingkan responnya. Apakah responnya itu sesuai/memenuhi parameter yang
telah kami tetapkan atau tidak. Hasil pengukuran tersebut kami jadikan bahan
evauasi guna memperbaiki rencana stimulus-stimulus seperti apa yang akan kami
berikan berikutnya.
Pada usia 2 tahun, kami melakukan evaluasi atas
pencapaiannya. Hasilnya, dia menunjukan tanda-tanda memiliki talenta khusus,
terutama dalam hal artistik musikal, visual spasial, logika matematika dan
verbal linguistik. Dia mampu menangkap konsep abstrak dengan baik dan
imajinasinya terdefinisikan dengan jelas. Kongkritnya, dia mencapai tonggak
perkembangan (milestone) lebih awal dari parameter yang kami telah tetapkan.
Untuk menampung tanda-tanda khusus tersebut, maka kami sepakat untuk menerapkan
konsep kecerdasan majemuk pada kurikulum selanjutnya.
Akhirnya kami berhasil menyusun kurikulum Daniah yang
diberi nama Kurikulum Daniah : Fase pembentukan (2-6 tahun) berbasis kecerdasan
majemuk. kurikulum tersebut memg integrasikan kompetensi PAUD, yang kami sebut
sebagai kompetensi inti, dengan konsep kecerdasan majemuk tadi. Pertimbangan
kompetensi PAUD kami jadikan sebagai kompetensi inti dengan pertimbangan untuk
lebih memudahkan evaluasi kami terhadap tumbuh kembang Daniah dengan anak-anak
usia sebayanya. Kompetensi PAUD tersebut terdiri dari aspek
bahasa-sosial-emosional, matematika, etika dan moral, lingkungan dan alam,
kesehatan, psikomotor, seni dan budaya.
Namun bukan saja kami bermaksud untuk memaksimalkan
perkembangan intelektual anak yang pada rentang usia tersebut bisa mencapai
50%-80%. Bukan pula untuk mengoptimalkan pertumbuhan fisik pada rentang usia
yang sama bisa mencapai 25%-85%. Tetapi kami menginginkan pula pada perkembangan
psikologisnya, dari fase id, ego dan super ego, Daniah memiliki satu benang
merah yang mengikatnya erat. Kami ingin dia menyadari dan menikmati
perkembangan psikologisnya tersebut. Kami ingin Daniah memiliki psikologis yang
kuat sebagai rumah besar bagi etika dan moralnya. Sehingga konsep etika dan
moral bukan merupakan busa-busa air liur propaganda yang berbau busuk.
Nilai-nilai tersebut merupakan landasan kokoh yang menopangnya dalam berpikir,
berbicara, bertindak, berperilaku dan bersikap. Darinya terpancar sinar terang
integritas dan kehormatan diri.
Permasalahannya, bagaimana menunjukan pada Daniah
mengenai benang merah tersebut?. Tentu saja dengan mengatakannya. Maka pada
tanggal 28 April 2017, aku membuat surat untuknya. Isinya seperti berikut ini :
Sukabumi, 28 April 2017
Teruntuk Daniah,
Sang anak panah zaman cemerlang.
Nak, hari ini transformasi budaya yang
telah kita canangkan telah memasuki fase baru.
Buku Matahari Pagi, Sehimpun Puisi
adalah tonggak awal, titik balik, prasasti untuk kita. Itu merupakan mata
rantai penghubung kita dengan perjuangan leluhur kita.
Project berikutnya, the Daniah way
adalah tarikan busur supaya engkau sang anak panah zaman cemerlang bisa melesat
merobek dimensi.
Kami sudah tidak sabar untuk bisa mendiskusikan
arsitektur peradaban masa depan.
Kami menunggumu,
Tertanda.
Bapak dan Ibu.
Catatan :
Sang anak panah zaman cemerlang adalah
istilah yang ada dalam puisi berjudul Mengeja Daniah dalam buku Matahari Pagi,
Sehimpun Puisi. Istilah itu juga merujuk pada generasi Indonesia Emas 2045.
Kapan kami bisa berdiskusi dengan Daniah? Ada
kekhawatiran lain lagi yang menyelimuti kami. Kami takut jika seiring Daniah
remaja, kami tidak bisa mengimbangi frekuensi komunikasinya lagi. Kami cemas
jika akan ada tembok diantara kami dan Daniah sebelum kami bisa berdiskusi
dengannya. Kami tidak bisa berharap banyak pada Kurikulum yang telah kami susun
dengan menyodorkannya. Ada kemungkinan dia tidak memahami maksud kami, meskipun
kurikulum tersebut sudah kami susun sangat flesibel mengadopsi kurikulum PAUD-nya
Finlandia (yang katanya memiliki sistem pendidikan terbaik didunia pada saat
ini). Apapun itu, tetap saja masih terasa kaku. Meskipun diusahakan untuk bisa
menjadi holistik integratif.
Hingga pada suatu waktu, aku teringat akan cerita
Sherlock Holmes. Sherlock dan Watson. Pemeran utamanya Sherlock, tentu saja.
Namun, petualangan Sherlock diceritakan dari sudut pandang sahabatnya, Watson.
Watson membuat petualangan Sherlock terkenal lewat tulisannya. Ya, dari cerita
itu aku akhirnya mendapat inspirasi.
Aku akan berperan sebagai Watson dan Daniah sebagai
Sherlocknya. Dalam istilah Daniah, aku asistennya dan dia menjadi pemimpinnya.
Aku akan menuliskan petualangan-petualangan Daniah. Petualangan-petualangannya
itu merupakan representasi dari pola asuh kami yang mengacu pada kurikulum yang
kami buat. Maka aku akan menuliskan petualangan dia dari sudut pandangku. Sudut
pandangku artinya harapan-harapan, maksud dan jangkauan-jangkauanku dalam
memaknai pada petualangannya.
Tulisan-tulisanku ini, yang dinamai the Daniah way,
adalah petunjuk-petunjuk langsung mengenai benang merah dalam proses
pembentukan psikologisnya. Benang merah dari fase id, ego dan super egonya. Aku
ingin dia membentuk, mendefinisikan konsep dirinya secara utuh, koheren, dan
paripurna. Aku ingin dia tidak menemui missing link, sebaliknya aku
menunjukannya benang merah. Aku ingin saat dia mereflesikan, saat dia
berkontemplasi, ada tautan dengan kami, dengan leluhur-leluhur kami.
Melalui tulisan-tulisan ini, cerita-cerita ini,
kisah-kisah ini, aku ingin benang merah itu tersampaikan. Aku ingin menjadi
Watson baginya, si Sherlock. Aku ingin selalu menjadi sahabat baginya. Aku
ingin teman berdiskusinya. Untuk itu, jalananan telah dibuka. Aku dan dia mulai
dengan langkah pertama. Seperti pada hari itu, dalam cerita berikut ini.
Mengoleksi Batu, Menghayati Alam.
Hari ini sangat cerah. Matahari bersinar terang
disekeliling awan-awan seputih kapas. Semilir angin menjadikannya sedikit
sejuk. Daniah mendatangiku dengan langkah-langkah yang pasti dan semangat yang
sangat terlihat. Dia mengemukakan keinginannya untuk mengoleksi bebatuan. Bukan
batu-batu yang sudah dipahat atau dibentuk oleh tangan manusia. Tetapi jenis
batu kaya dengan detail estetika, seperti tekstur dan atau warna yang khas.
Gagasan Daniah untuk mengoleksi batu tersebut
mengingatkanku pada suiseki. Suiseki merupakan kata dalam bahasa Jepang yang
berarti “batu air”. Istilah ini digunakan untuk merujuk pada tradisi mengumpulkan
dan mengapresiasi batu sekaligus untuk menyebut batu koleksi itu sendiri. Suiseki
merupakan salah satu di antara banyak seni estetika tradisional Jepang.
Sebenarnya jika ditelusuri lebih jauh, bentuk seni ini
diduga berasal dari Tiongkok. Orang Tiongkok dikenal telah memiliki tradisi
apresiasi pada batu yang terbentuk secara alami selama lebih dari dua ribu
tahun, yang disebut gongshi. Gongshi yang setara dengan Suiseki masih dihargai
di Tiongkok dan sering dipamerkan pada berbagai kesempatan.
Kemudian kami menghabiskan siang itu untuk mencari
batu sesuai dengan kriteria yang diinginkan oleh Daniah. Setelah batu yang
terkumpul dirasa sudah cukup, kemudian Daniah mencucinya hingga bersih. Dia
mencuci batu-batu yang akan menjadi koleksinya sendiri. Sambil bermain
gelembung sabun tentunya. Proses mencuci batu itu menghabiskan waktu hingga
sore.
Setelah batu-batu bersih dan kering, Daniah
menyusunnya. Yang menarik, batu-batu itu dia susun dengan bentuk abstrak. Dia
tidak mengambil bentuk tanaman, hewan, dan figur-figur lainnya. Bentuk abstrak
dan mendeskripsikannya membutuhkan daya imajinasi tersendiri.
Pertama, Daniah membentuk berbagai susunan batu
berundak. Dia mengkombinasikan susunan batu dengan balok untuk mendapatkan
susunan yang diinginkannya. Tidak berhenti dengan eksperimen bentuk, susunan
dan kombinasi, Daniah melakukan percobaan lain.
Percobaan kedua adalah cahaya. Daniah mencoba berbagai
intensitas cahaya, mulai dari yang terang sampai yang lebih redup. Dia memberi
istilah “cahaya ceria” untuk yang terang dan “cahaya magis” untuk yang redup.
Dia terlihat cukup puas atas keberhasilan percobaan cahayanya.
Daniah mengakhiri eksperimennya dengan membuat
lanskap. Dia membentangkan imajinasi akan alam menjadi suatu horison bebatuan
diantara tanaman dan bunga-bunga. Dia membuat miniatur suatu lembah yang sejuk
dan nyaman. Menutup eksperimennya dengan pose damai berlatar cakrawala
batu-batu koleksinya.
Kacamata Watson.
Mengoleksi batu yang Daniah lakukan, aku maknai, bukan
sekedar mengumpulkan dan menyimpannya saja. Sepertihalnya suiseki ataupun
gongshi sebagai budaya yang dihasilkan oleh interaksi antara manusia dengan
alam. Mengapresiasi batu yang dibentuk oleh alam, sama dengan mengapresiasi
keberadaan alam bagi kelangsungan hidup kita. Bukankah saat ini miskin akan
apresiasi? Pengenalan dan pembiasaan apresiasi merupakan penanaman karakter
yang mulia bagi anak-anak kita. Ibarat permata koh i noor pada mahkota etika dan moral. Apresiasi adalah bentuk
terbaik dari persamaan dan persaudaraan, karena kita tidak bisa membayangkan
persatuan seperti apa tanpa adanya persamaan dan persaudaraan. Persatuan
mensyaratkan adanya penghargaan.
Sepertihalnya kebudayaan-kebudayaan yang didefinisikan
dari kearifan alam, seperti kebudayaan Tiongkok dan Jepang, begitu pula
kebudayaan Sunda. Budaya Sunda, sebagai salah satu bagian dari kebudayaan
Indonesia, mengutamakan keselarasan hidup dengan alam sehingga mengkristalkan
satu sikap utama yakni silih asih, silih asah dan silih asuh. Keutamaan sifat
welas asih kepada seluruh mahluk, saling memperbaiki diri melalui dialektika
pendidikan dan keilmuan, dan saling melindungi. Sebuah kepercayaan, persamaan,
persaudaraan, penghargaan dan persatuan.
Mengoleksi batu mengandung pengalaman berkesenian
Daniah secara emosional, praktis dan kognitif. Dia menuangkan kreatifitas,
imajinasi dan ekspresi terhadap koleksinya tersebut. Selain itu mendiskusikan
dan mempresentasikan karyanya dalam bentuk simbol dan metafora kepada kami
adalah suatu aspek tersendiri yang tergali.
Diskusi kami, aku dan Daniah, serta presentasi dirinya
mengenai koleksi bebatuan itu aku tanggapi sebagai refleksi pemikiran dan emosi
Daniah berupa perasaan, harapan, pendapat, hasil pengamatan dan pengalaman
dirinya.
Mencari, mengoleksi, menginterpretasi dan
mengapresiasi bebatuan yang dilakukan Daniah merupakan kegiatan eksplorasi
terhadap lingkungan dan alam. Pengalaman tersebut akan memberikannya pengalaman
dan kesan, sehingga membentuk hubungan emosional antara Daniah dengan
lingkungan dan alam tersebut. Mengoleksi batu, sebagai kegiatan yang
mendekatkan diri (penghayatan) kepada alam, merupakan pemahaman yang akan
berperan penting dalam perjalanan hidupnya. Pemahaman alam dengan mendefinisikannya
secara verbal dan simbolik akan membentuk komitmen yang kuat pada diri Daniah
dalam menjaga kelestarian lingkungan dan alam.
Aku membayangkan suatu saat ketika Daniah membaca ini
semua, mungkin dia akan menganggap jika ini terlalu berlebihan dan mengada-ada.
Tapi bukan itu intinya, pointnya adalah dia memiliki hak penuh atas hidupnya.
Dia berhak menjalani hidupnya sesuai dengan apapun keinginannya. Dia berhak
menjadi dirinya sendiri dan dia hanya perlu menjadi dirinya sendiri. Dia perlu
tahu jika kami saja, aku dan ibunya, tidak pernah memberinya tali kekang maka
tak ada seorangpun yang boleh merasa berhak atas hidupnya. Hanya dia yang boleh
memimpin hidupnya sendiri.
Seperti yang sering dia tegaskan jika dia yang menjadi
pemimpinnya. Jadi, aku membiarkan dia memimpin kemana arah kecerdasannya
berkembang. Dan peranku sudah dia tetapkan, yakni sebagai asisten. Aku hanya
membantu dan mengawasi kemauan imajinasinya. Tanpa menyela dan mengambil alih. Karena
pada akhirnya, dia harus melanjutkan pekerjaan-pekerjaan kita yang jauh dari
kata selesai. Pada saatnya dia akan berjalan didepan kita. Dan itu telah dimulai
dari sekarang.
Aris Munandar. Penulis, Kontributor utama www.mataharipagi.tk,
Pendiri Komunitas Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar Library, Penggagas TDW
Program, CEO CV Matahari Pagi, editor di Penerbit Matahari Pagi.
Referensi :
1.
Kurikulum Daniah
Farrah : Fase pembentukan (2-6 tahun) berbasis kecerdasan majemum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar