Kejujuran
membawa kita pada penerimaan yang ihklas.
Drama
musikal Sangkuriang yang digelar pada hari jadi UNPAR ke-50, mengisahkan
konflik Sangkuriang dengan ibunya. Awal pertunjukan memperlihatkan Dayang Sumbi
sedang menenun dengan raut wajah gelisah, lalu datang Ardalepa beserta kolompok
petani, suasananya menjadi sangat kontras; raut Dayang Sumbi mendung sedang
Ardalepa cerah ceria. Dayang Sumbi pun bertanya mengapa Mamang (Ardalepa)
selalu terlihat ceria sedang anaknya (sangkuriang) setiap waktu muram.
“Karena Mamang tak
menyimpan rahasia” ujar Ardalepa lepas.
Rahasia
mengharuskan Sangkuriang menabung tanda tanya, tentang siapa bapaknya, di mana
tinggalnya, masih hidup kah, bagaimanakah rupanya, mirip kah Ia dengan bapaknya
dan banyak lagi pertanyaan lainnya, bahkan mungkin Sangkuriang telah lama
berkhayal bahwa bapaknya adalah keturunan terhormat pula, pangeran dari negeri
seberang, yang karena satu dan lain hal mereka tak pernah bisa berjumpa.
Kemungkinan-kemungkinanlah yang membuat sangkuriang digerogoti luka dari dalam,
membuatnya menjadi pemuda pemarah nan egois.
Pemberontakan
adalah upaya Sangkuriang agar mendapat perhatian ibunya, Sangkuriang pergi ke
hutan yang menjadi larangan keras dan tidak pulang selama berhari-hari, biarpun
si Tumang selalu menemani tetapi hati seorang ibu tetaplah melang. bagi Sangkuriang
diamnya Dayang Sumbi menjadi racun, sedikit demi sedikit membunuh cinta dan
hormat. Dayang Sumbi memang sangat rapat menutupi rahasianya, kecuali Ia, tidak
ada lagi yang tahu.
Tersadar
oleh ucapan Ardalepa, selanjutnya Dayang Sumbi pun memutuskan untuk menyingkap
rahasia, berharap ini akan mengobati luka hati anak semata wayangnya.
Dahulu, di suatu siang
yang amat panas, ketika bunda seorang diri menenun di sana di tempat sepi,
tiba-tiba terserang lesu yang teramat hebat, sehingga terlena dan tak berdaya.
Ketika teropong jatuh ke kolong, berkatalah bunda: “barang siapa suka menolong,
mengambil teropong dari kolong, akan menjadi saudara jika dia perempuan, akan
menjadi suami jika dia laki-laki. Tak disangka muncul budak lelaki mengunjukan
teropong tadi, Ibunda yang tak berdaya, terkejut lalu terlupa, tak sadar akan
diri. Dia budak menghampiri… semenjak itu Bunda merasa berbadan dua dan
Sembilan bulan kemudian Tuan lahir dari kandungan”.
Namun
sayang beribu sayang pembiasaan memengaruhi sikap hidup seseorang dan
Sangkuriang yang sejak awal tidak diajarkan menerima kondisi bapaknya,
mengalami kekecawaan terhadap persepsinya sendiri, Sangkuriang sulit menerima
jika bapaknya adalah si Tumang. Kendati pun Tumang setia, kondisinya yang
merupakan budak tunadaksa, tuli, pincang, bisu dan dungu membuatnya sulit
menerima. Semuanya jadi terasa tidak tepat, waktu pun seolah tidak memberikan
kesempatan bagi sangkuriang mencerna informasi, menelannya sedikit demi sedikit
agar timbul pemahaman. Di sini Sangkuriang dipaksa untuk segera memahami
kondisi ibunya itu. memang sangat sulit.
Dirundung
kecewa, Sangkuriang pergi dari rumah menuju hutan tempat para jin bersemayam,
ditemani si Tumang, Ia berjalan tak tentu arah… dalam keterpurukannya
sangkuriang mencari pembenaran, Ia berpikir, tidak ada satu orang pun yang
menyaksikan bahwa sangkuriang lahir dari rahim ibunya dan berbapak seorang
budak, pernyataan tadi bisa saja hanya bualan Dayang Sumbi. Bertekad
mempertahankan keyakinannya Sangkuriang lantas membunuh si Tumang, karena
baginya kebenaran mutlak hanya ada satu dan jika Tumang pun bersikukuh maka
harus dibunuh. Sangkuriang pada kondisi ini tidak lagi berpikir logis, membunuh
tumang dan mengawini Dayang Sumbi menjadi jalan untuk menutupi jejak; ia anak
dari budak tunadaksa.
Berikut
yang terjadi adalah upaya sangkuriang mengiwini ibunya dengan menghalalkan
segala cara, termasuk meminta bantuan para jin untuk mewujudkan syarat Dayang
Sumbi yang hampir mustahil, bahwa jika Sangkuriang keukeuh ingin menikah dengannya, Sangkuriang harus membuat telaga
lengkap dengan perahunya dalam waktu satu malam saja.
Drama
musikal di atas memang agak berbeda, si Tumang yang dalam cerita rakyat
berwujud anjing, di sini berjuwud budak tunadaksa dan fokus masalah bukan lagi
asal muasal terjadinya gunung Tangkuban Perahu melainkan konflik Dayang Sumbi
dengan Sangkuriang. Jika kita ingin memberikan wejangan perihal nilai-nilai
hidup kepada generasi millenial, sudut pandang drama musikal ini lebih relevan.
Dayang
Sumbi sebenarnya malu punya suami seorang budak, maka Ia akhirnya berahasia, sedang
Sangkuriang memberontak karena baginya hidup tidaklah adil, tuturnya “semua orang yang hidup di dunia beribu dan
berbapak, hanya dialah seorang yang tidak tahu siapa bapaknya”. Sangkuriang
merasa sebagai anak laki-laki satu-satunya ia layak dijadikan penopang dan Sangkuriang
merasa mampu mengayomi dan melindungi ibunya tersebut, namun Dayang Sumbi malah
merahasiakan keberadaan bapaknya, seakan Dayang Sumbi melihat Sangkuriang
sebagai anak kecil yang tak paham permasalahan orang dewasa dan harus
dilindungi. Kenyataan ini membuat Sangkuriang marah lalu memberontak.
Jika
kita telaah lebih mendalam konflik ini bermula dari sikap Dayang Sumbi dalam
memecahkan masalah dan berdampak pada pola asuhnya, setiap orangtua berharap
bisa melakukan lebih banyak upaya untuk membantu anak-anak dalam menghadapi
masalah, salah satu upaya orangtua adalah ikut campur bahkan mengambil alih
dalam proses pemecahannya, ikut campur merupakan godaan terbesar apalagi jika
solusinya nampak begitu jelas bagi kita, namun ikut campur dan bertindak
sebagai orangtua super tidak selalu baik, karena cara itu dapat menghambat tumbuhnya
keterampilan anak dalam memecahkan masalah. Pola asuh seperti itu dapat dilihat
dari sikap Dayang Sumbi yang merahasiakan siapa sebenarnya bapaknya, agar
Sangkuriang tidak merasa malu mempunyai bapak seorang budak. Namun tentu saja
hal ini membuat Sangkuriang kurang bijak dalam menyelesaikan sebuah
permasalahan, alih-alih menyembunyikan masalah dari anak, lebih baik
mendampinginya untuk menerima kenyataan, lalu mendorong mereka untuk menghadapi
dan berpikir kreatif dalam penyelesaiannya. Sehingga anak tumbuh dan berkembang
seiring tingkatan ujian yang mereka hadapi.
Akan
lebih baik ketika anak menghadapi masalah, kita mencoba untuk memberikan
kesempatan berpikir, bantulah mereka dengan menjadi pendengar yang baik dan
tunjukan bahwa kita memahami kecemasan dan perasaan mereka. Dorong mereka untuk
meyakini bahwa selalu ada solusi yang tepat meskipun dalam perjalanannya mereka
mengalami begitu banyak kegagalan, namun jika berusaha dengan baik, mereka akan
menemukannya. Ajarkan juga untuk bertanggung jawab, agar dapat menerima peran
dan ikut terlibat dalam mencari solusi sehingga mereka menjadi siap saat
menerima dampaknya. Sebuah permasalahan adalah permainan kreatif, jika mereka
dilatih untuk melihat dari berbagai sudut pandang, niscahya mereka akan mampu
menyelesaikan setiap permasalan dengan resiko paling minim.
Hazar Widiya Sarah.
Pengasuh Rubrik Rambu Jalan, Penulis, Konselor, Guru Bahasa Indonesia di salah
satu SMA Swasta, Co-founder Komunitas Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar
Library, Chief of Editor Penerbit Matahari Pagi, Mentor Kelas Literasi Matahari
Pagi, Kontributor Tetap www.mataharipagi.tk, Komisaris CV Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar