Selasa, 14 November 2017

SANGKURIANG : MENILIK DUA SISI BERBEDA



Kejujuran membawa kita pada penerimaan yang ihklas.

Drama musikal Sangkuriang yang digelar pada hari jadi UNPAR ke-50, mengisahkan konflik Sangkuriang dengan ibunya. Awal pertunjukan memperlihatkan Dayang Sumbi sedang menenun dengan raut wajah gelisah, lalu datang Ardalepa beserta kolompok petani, suasananya menjadi sangat kontras; raut Dayang Sumbi mendung sedang Ardalepa cerah ceria. Dayang Sumbi pun bertanya mengapa Mamang (Ardalepa) selalu terlihat ceria sedang anaknya (sangkuriang) setiap waktu muram.

“Karena Mamang tak menyimpan rahasia” ujar Ardalepa lepas.

Rahasia mengharuskan Sangkuriang menabung tanda tanya, tentang siapa bapaknya, di mana tinggalnya, masih hidup kah, bagaimanakah rupanya, mirip kah Ia dengan bapaknya dan banyak lagi pertanyaan lainnya, bahkan mungkin Sangkuriang telah lama berkhayal bahwa bapaknya adalah keturunan terhormat pula, pangeran dari negeri seberang, yang karena satu dan lain hal mereka tak pernah bisa berjumpa. Kemungkinan-kemungkinanlah yang membuat sangkuriang digerogoti luka dari dalam, membuatnya menjadi pemuda pemarah nan egois.

Pemberontakan adalah upaya Sangkuriang agar mendapat perhatian ibunya, Sangkuriang pergi ke hutan yang menjadi larangan keras dan tidak pulang selama berhari-hari, biarpun si Tumang selalu menemani tetapi hati seorang ibu tetaplah melang. bagi Sangkuriang diamnya Dayang Sumbi menjadi racun, sedikit demi sedikit membunuh cinta dan hormat. Dayang Sumbi memang sangat rapat menutupi rahasianya, kecuali Ia, tidak ada lagi yang tahu.

Tersadar oleh ucapan Ardalepa, selanjutnya Dayang Sumbi pun memutuskan untuk menyingkap rahasia, berharap ini akan mengobati luka hati anak semata wayangnya.

Dahulu, di suatu siang yang amat panas, ketika bunda seorang diri menenun di sana di tempat sepi, tiba-tiba terserang lesu yang teramat hebat, sehingga terlena dan tak berdaya. Ketika teropong jatuh ke kolong, berkatalah bunda: “barang siapa suka menolong, mengambil teropong dari kolong, akan menjadi saudara jika dia perempuan, akan menjadi suami jika dia laki-laki. Tak disangka muncul budak lelaki mengunjukan teropong tadi, Ibunda yang tak berdaya, terkejut lalu terlupa, tak sadar akan diri. Dia budak menghampiri… semenjak itu Bunda merasa berbadan dua dan Sembilan bulan kemudian Tuan lahir dari kandungan”.

Namun sayang beribu sayang pembiasaan memengaruhi sikap hidup seseorang dan Sangkuriang yang sejak awal tidak diajarkan menerima kondisi bapaknya, mengalami kekecawaan terhadap persepsinya sendiri, Sangkuriang sulit menerima jika bapaknya adalah si Tumang. Kendati pun Tumang setia, kondisinya yang merupakan budak tunadaksa, tuli, pincang, bisu dan dungu membuatnya sulit menerima. Semuanya jadi terasa tidak tepat, waktu pun seolah tidak memberikan kesempatan bagi sangkuriang mencerna informasi, menelannya sedikit demi sedikit agar timbul pemahaman. Di sini Sangkuriang dipaksa untuk segera memahami kondisi ibunya itu. memang sangat sulit.

Dirundung kecewa, Sangkuriang pergi dari rumah menuju hutan tempat para jin bersemayam, ditemani si Tumang, Ia berjalan tak tentu arah… dalam keterpurukannya sangkuriang mencari pembenaran, Ia berpikir, tidak ada satu orang pun yang menyaksikan bahwa sangkuriang lahir dari rahim ibunya dan berbapak seorang budak, pernyataan tadi bisa saja hanya bualan Dayang Sumbi. Bertekad mempertahankan keyakinannya Sangkuriang lantas membunuh si Tumang, karena baginya kebenaran mutlak hanya ada satu dan jika Tumang pun bersikukuh maka harus dibunuh. Sangkuriang pada kondisi ini tidak lagi berpikir logis, membunuh tumang dan mengawini Dayang Sumbi menjadi jalan untuk menutupi jejak; ia anak dari budak tunadaksa.

Berikut yang terjadi adalah upaya sangkuriang mengiwini ibunya dengan menghalalkan segala cara, termasuk meminta bantuan para jin untuk mewujudkan syarat Dayang Sumbi yang hampir mustahil, bahwa jika Sangkuriang keukeuh ingin menikah dengannya, Sangkuriang harus membuat telaga lengkap dengan perahunya dalam waktu satu malam saja.

Drama musikal di atas memang agak berbeda, si Tumang yang dalam cerita rakyat berwujud anjing, di sini berjuwud budak tunadaksa dan fokus masalah bukan lagi asal muasal terjadinya gunung Tangkuban Perahu melainkan konflik Dayang Sumbi dengan Sangkuriang. Jika kita ingin memberikan wejangan perihal nilai-nilai hidup kepada generasi millenial, sudut pandang drama musikal ini lebih relevan.

Dayang Sumbi sebenarnya malu punya suami seorang budak, maka Ia akhirnya berahasia, sedang Sangkuriang memberontak karena baginya hidup tidaklah adil, tuturnya “semua orang yang hidup di dunia beribu dan berbapak, hanya dialah seorang yang tidak tahu siapa bapaknya”. Sangkuriang merasa sebagai anak laki-laki satu-satunya ia layak dijadikan penopang dan Sangkuriang merasa mampu mengayomi dan melindungi ibunya tersebut, namun Dayang Sumbi malah merahasiakan keberadaan bapaknya, seakan Dayang Sumbi melihat Sangkuriang sebagai anak kecil yang tak paham permasalahan orang dewasa dan harus dilindungi. Kenyataan ini membuat Sangkuriang marah lalu memberontak.

Jika kita telaah lebih mendalam konflik ini bermula dari sikap Dayang Sumbi dalam memecahkan masalah dan berdampak pada pola asuhnya, setiap orangtua berharap bisa melakukan lebih banyak upaya untuk membantu anak-anak dalam menghadapi masalah, salah satu upaya orangtua adalah ikut campur bahkan mengambil alih dalam proses pemecahannya, ikut campur merupakan godaan terbesar apalagi jika solusinya nampak begitu jelas bagi kita, namun ikut campur dan bertindak sebagai orangtua super tidak selalu baik, karena cara itu dapat menghambat tumbuhnya keterampilan anak dalam memecahkan masalah. Pola asuh seperti itu dapat dilihat dari sikap Dayang Sumbi yang merahasiakan siapa sebenarnya bapaknya, agar Sangkuriang tidak merasa malu mempunyai bapak seorang budak. Namun tentu saja hal ini membuat Sangkuriang kurang bijak dalam menyelesaikan sebuah permasalahan, alih-alih menyembunyikan masalah dari anak, lebih baik mendampinginya untuk menerima kenyataan, lalu mendorong mereka untuk menghadapi dan berpikir kreatif dalam penyelesaiannya. Sehingga anak tumbuh dan berkembang seiring tingkatan ujian yang mereka hadapi.  


Akan lebih baik ketika anak menghadapi masalah, kita mencoba untuk memberikan kesempatan berpikir, bantulah mereka dengan menjadi pendengar yang baik dan tunjukan bahwa kita memahami kecemasan dan perasaan mereka. Dorong mereka untuk meyakini bahwa selalu ada solusi yang tepat meskipun dalam perjalanannya mereka mengalami begitu banyak kegagalan, namun jika berusaha dengan baik, mereka akan menemukannya. Ajarkan juga untuk bertanggung jawab, agar dapat menerima peran dan ikut terlibat dalam mencari solusi sehingga mereka menjadi siap saat menerima dampaknya. Sebuah permasalahan adalah permainan kreatif, jika mereka dilatih untuk melihat dari berbagai sudut pandang, niscahya mereka akan mampu menyelesaikan setiap permasalan dengan resiko paling minim.



Hazar Widiya Sarah. Pengasuh Rubrik Rambu Jalan, Penulis, Konselor, Guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA Swasta, Co-founder Komunitas Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar Library, Chief of Editor Penerbit Matahari Pagi, Mentor Kelas Literasi Matahari Pagi, Kontributor Tetap www.mataharipagi.tk, Komisaris CV Matahari Pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"