“Hidup bagaikan latihan beban” kutipan tersebut diambil dari buku Monster Motivasi karya Anthoni Dio Marthin. Memang benar ketika pertama kali kita mengangkat tabung gas elpiji 3 kilo saja sudah cukup melelahkan, namun ketika tidak punya pilihan, hanya mencoba menerima dan berlatih, kita menjadi terbiasa, beban yang tadinya terasa berat pun menjadi ringan. Begitulah ujian dalam hidup, ketika Ia (ujian) datang pertama kali terasa begitu menyesakan, kita perlu beradaptasi hingga pada akhirnya penerimaan serupa obat penghancur dahak agar nafas kita lancar kembali.
Itulah
yang terjadi pada tokoh utama dalam film Coleteral Beauty, Ia merupakan seorang
ayah yang tadinya optimis menjalani hidup, Ia berkeyakinan pada 3 faktor yakni;
cinta, waktu dan kematian yang membuat ia berhasil di bidang periklanan. Ia
percaya tiga aspek tersebutlah yang menghubungkan semua insan di bumi; semua
hal yang kita dambakan, semua hal yang kita khawatirkan tidak termiliki, semua
hal yang pada akhirnya mau tidak mau harus kita beli adalah karena kita
menginginkan cinta dan kita berharap kita punya banyak waktu juga kita takut
mati. Namun kejayaan tokoh utama dalam film ini terenggut saat ia dihadapkan
pada ujian hidup yang membuatnya jatuh ke dasar jurang terdalam, anak semata
wayangnya yang berusia 6 tahun meninggal. Ia runtuh seketika, kehilangan arah
dan tujuan, rumah tangganya kandas karena sama-sama tidak bisa menangani duka.
Fase penyangkalan digambarkan dengan tokoh utama tidak lagi menjalani
rutinitasnya, ia berubah menjadi sosok “mati enggan, hidup tak mau”. Tidak lagi
berinteraksi dengan orang lain, tidak bekerja.
Kehilangan
menimbulkan beragam emosi yang kadang-kadang membuat kita bersikap kurang
lazim, kita marah karena sedih dan kecewa, perasaan abstrak yang pada awalnya kurang
terpetakan, membuat kita frustasi bahkan kalap. Pada dasarnya emosi tersebut
muncul karena zona nyaman terenggut dan kita belum siap. Rasa nyaman bukanlah
kondisi yang ideal, namun lebih merupakan kebiasaan, kita terbiasa dengan
keberadaan ibu dan ayah yang tinggal bersama, kita terbiasa tidur dengan
memeluk boneka besar dan lampu dinyalakan, jadi ketika tiba-tiba saja ayah
tidak ada di rumah, boneka besar kita hilang maupun lampu padam kita merasa
khawatir, hampa, juga takut, karena memang kita tidak biasa.
Kehilangan
yang lebih ekstrim membawa kita pada rangkaian proses panjang, perjalanan abstrak
ini bisa mendewasakan namun tak jarang pula mematikan. Dalam kehilangan,
kesadaran memegang peranan penting, Dialah tiket jalan dalam menepuh fase penolakan,
kemarahan, penyangkalan, penerimaan dan pemahaman. Tanpa kesadaran kita hanya
akan hanyut pada fase penolakan dan kemarahan, sulit menerima apalagi memahami
bahwa setiap ujian yang kita tempuh menghadiahkan kedewasaan.
Dalam
keseharian ini, tidak banyak orang menyadari bahwa untuk memecahkan masalah
dibutuhkan kemampuan mengelola rasa frustasi yang kuat dan kemampuan diasah
melalui pengalaman dan jam terbang. Karena dalam hidup masalah tak pernah surut
dan pengambilan keputusan tidak bisa dihapalkan, maka yang bisa kita lakukan
adalah menerima lalu beradaptasi dengan kondisi baru, ini memang sulit namun
bangkit adalah cara terbaik untuk melanjutkan hidup.
Hazar Widiya Sarah.
Penulis adalah Wakil Kepala Sekolah dan Guru
Bahasa Indonesia di salah satu SMA Swasta, Co-founder Komunitas Matahari Pagi,
Pengelola Aris Munandar Library, Chief of Editor Penerbit Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar