Minggu, 07 Januari 2018

BIARLAH MALAIKAT YANG MENJAGA KITA



Judul tulisan ini tentu saja diambil dari judul buku Novel Baswedan : “Biarlah Malaikat yang Menjaga Saya”. Buku biografi Novel, salah seorang penyidik senior KPK, ditulis oleh Zaenuddin HM atau ZHM dan diterbitkan oleh Mizan. Dengan mengganti kata “saya” menjadi “kita” dimaksudkan untuk menghadirkan sosok Novel sepertihalnya kita, namun memiliki integritas yang kokoh meskipun dihujani berbagai teror. Tulisan ini berdasarkan pengalaman saya mengikuti pelatihan Tali Integritas, pengalaman menghadiri bedah buku dan pengalaman membaca bukunya itu sendiri.

Menurut ZHM bahwa teror yang dihadapi oleh Novel dimulai jauh sebelum menjadi penyidik KPK dan ZHM menjanjikan dalam buku yang ditulisnya ini akan banyak mengungkap hal mengenai Novel yang belum diketahui publik. Dalam prolognya, Haris yang menegaskan bahwa buku ini bukan sekedar mengupas sosok Novel yang pantas dijadikan sebagai role model, melainkan juga perlawanan terhadap korupsi sebagai kejahatan luar biasa harus menjadi perjuangan setiap orang.

Buku ini dimulai dengan gambaran yang dramatis mengenai penggeledahan yang dilakukan oleh KPK terhadap Direktur Korlantas Polri. Dimana peristiwa itu ditengarai sebagai asal muasal adanya teror terhadap Novel dan merupakan pemicu kasus Cicak vs Buaya jilid 2. Hal tersebut, senada dengan uraian dari Haris.

Saya punya penemuan lain ketika membaca buku ini. Mungkin iya, penggeledahan yang dilakukan oleh KPK (didalamnya ada Novel yang memimpin penyidikan kasus simulator SIM) terhadap Direktur Korlantas Polri. Sehingga dengan itu, Novel dianggap “berkhianat” terhadap “korps” oleh sebagian koleganya (halaman 35). Perlu diketahui jika Novel merupakan penyidik KPK yang berasal dari unsur Polri. Tetapi, temuan lain saya itu, adalah adanya teror yang diterima oleh Novel merupakan risiko dari integritas yang dimilikinya. Dari mana integritas tersebut berasal? Dijawab dengan flashback pada masa ketika Novel dilahirkan.

Integritas yang dimiliki oleh Novel merupakan buah dari pendidikan keluarga. Novel bukan saja salah seorang keturunan pahlawan nasional, AR Baswedan, tapi standar pendidikan di keluarga Baswedan banyak melahirkan sosok-sosok yang berintegritas. Pendidikan keluarga yang seperti apa sehingga dapat melahirkan sosok berintegritas? Pendidikan yang berpijak pada kesederhanaan, empati dan religius. Hal tergambar dari mulai masa kecil Novel, masa sekolah, Akpol, menjadi polisi, hingga memutuskan memilih sebagai pegawai tetap di KPK (Bab 2-5). Yang ingin saya katakan adalah integritas bisa dimiliki siapa saja, dari institusi mana saja, bahkan oleh orang biasa seperti kita sekalipun.

Kenapa saya berani menyimpulkan demikian? Karena jauh sebelum menjadi penyidik KPK pun Novel telah sering diteror. Sebut saja ketika Novel memberantas perjudian dan illegal logging, keduanya di Bengkulu. Dikisahkan dalam buku ini, setelah Novel di KPK, teror itu semakin menjadi-jadi karena banyak kasus besar yang berhasil diungkap oleh Novel, seperti kasus suap pemilihan Deputi Gubernur BI, kasus Hambalang, kasus simulator SIM, dan yang paling hangat adalah korupsi e-KTP (Bab 6 & 8). Apa rahasia keberhasilan Novel dalam mengungkap kasus-kasus besar tersebut?

Bambang Widjojanto – mantan komisioner KPK mengungkapkan rahasia keberhasilan Novel dan juga penyidik-penyidik KPK lainnya dalam mengungkap kasus. Yaitu : teamwork; proses dilakukan secara cermat, terperinci utuh, matang dan prudent. Hal tersebut ditunjang oleh komitmen yang tinggi terhadap upaya pemberantasan korupsi, independen, pengetahuan dan kompetensi yang memadai (Bab 7).

Dalam wawancaranya dengan ZHM, Novel mengungkapkan bahwa dia menemukan adanya oknum pengusaha besar yang mengendalikan negara, mengendalikan pejabat-pejabat utama di eksekutif, legislatif dan yudikatif (Bab 16). Bahkan, dalam epilognya, Prof Mochtar menyampaikan secara tajam bahwa ketidakseriusan penanganan kasus Novel bisa dilihat sebagai sebuah persekongkolan jahat.

Sedikit mengutip materi presentasi Firman Hadiansah – Ketua Forum TBM yang berjudul “Membangun Generasi “L” melalui Pendidikan Antikorupsi” bahwa salah satu karakteristik TBM adalah gerakan budaya. Yang dimaksud disini bukan sekedar kekuatan untuk unjuk rasa, bahkan lebih dahsyat dari itu. TBM-TBM dapat melahirkan generasi baru yang juga sanggup menghantam “kelainan” integritas generasi alay, sekaligus akan menggerus persekongkolan jahat tindakan korupsi. Karena kelemahan integritas generasi muda sama berbahayanya dengan kejahatan luar biasa seperti korupsi dan atau narkoba, yaitu sama-sama mengancam masa depan bangsa.

Generasi baru tersebut adalah generasi literat atau Gen L. Yaitu generasi yang rasional, kritis terhadap gelombang informasi, memiliki kepekaan sosial dan memiliki INTEGRITAS yang tinggi. Tinggal masalahnya bagaimana kita bisa bersinergi dalam menghadapi minat baca yang masih rendah dan kemampuan menulis yang apa adanya, sedangkan tantangan zaman sudah menuntut kita beraksi dengan literasi fungsional. Seperti jawaban Prof Mochtar atas pertanyaan saya, kita harus terus menempa diri dengan ilmu pengetahuan hingga menemukan kesalehan sosial. Itulah semangat yang bisa melintasi generasi, yaitu nyala abadi semangat anti korupsi.

Aris Munandar. Pegiat di Komuitas Matahari Pagi

*)   Tulisan ini pertama kali dimuat di www.mataharipagi.tk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"