Gerakan Nasional
Kemerdekaan Kedua adalah sebuah alternatif jalan keluar yang diajukan oleh Kwik
Kian Gie dalam bukunya “Nasib Rakyat Indonesia Dalam Era Kemerdekaan”. Ide ini
dikatakan merupakan hasil bacaan dan renungan panjang beliau terhadap permasalahan
bangsa. Pak Kwik memandang bahwa kemerdekaan yang telah diraih bangsa Indonesia
sejak 70 tahun lalu belum juga berhasil menghadirkan kemakmuran dan
kesejahteraan yang adil bagi rakyatnya. Oleh karena zaman keemasan tidak datang
dengan sendirinya, maka buku ini bertujuan untuk merangsang dan menantang
generasi penerus untuk bangkit dengan gerakan yang dinamakan oleh Pak Kwik
sebagai “Gerakan Kemerdekaan Kedua”.
Tidak ada yang
menyangsikan lagi kompetensi Kwik Kian Gie dalam bidang ekonomi, selain itu beliau
juga pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Perekonomian dan Perindustrian
serta Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas. Tidak
mengherankan dalam buku ini, beliau mengambil sudut pandang ekonomi dalam
permasalahan bangsa. Namun demikian, beliau juga mengelaborasi masalah ekonomi
tersebut dengan hubungannya aspek lainnya, yang disebut sebagai 8 faktor
fundamental indikator permasalahan bangsa.
“De materiele onderbuow bepaalt de
geestelijke bovenbouw”, kesejahteraan materiil menentukan kesejahteraan
rohaniah. Sehingga dikatakan bahwa kemerdekaan sebagai jembatan emas menuju
kesejahteraan dan kemakmuran materiil yang berkeadilan. Sudahkah kita mencapai
kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan? Pak Kwik menggunakan 8 aspek
menjadi kriteria keberhasilan atau kegagalan dari tujuan tersebut, yaitu : kemandirian,
peradaban dan kebudayaan, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, persatuan
dan kesatuan, pertahanan dan keamanan, interaksi dan kedudukan di dunia
internasional, kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan, serta keuangan
negara.
Berdasarkan indikator
tersebut, Pak Kwik memandang jika kita masih belum menunjukan tanda-tanda
hadirnya zaman keemasan tersebut. Sebaliknya, malah yang terlihat adalah gejala-gejala
yang timbul menyerupai menjelang kejatuhan Kekasisaran Romawi (The Roman
Empire), dimana terdapat euforia orang-orang kaya dan yang berkuasa.
Penyebabnya dipetakan oleh Pak Kwik, yaitu : terjadinya era korporatokrasi yang
melakukan “perampokan” kekayaan bangsa dan KKN (selanjutnya disebut korupsi)
yang tak kalah dahsyatnya menyebabkan “pembusukan” dari dalam.
Terjadinya era
korporatokrasi di Indonesia, bukan merupakan hal baru. Dulu hal tersebut pernah
dilakukan oleh VOC yang kemudian dilanjutkan serta diperkuat oleh pemerintah
Hindia Belanda sebagai penjajah. Kembalinya era korporatokrasi tidak lepas dari
dukungan lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia.
Hal tersebut tak lepas dari kita sudah masuk dalam jebakan utang (Debt Trap), sehingga negara-negara
kreditur yang membentuk kartel dapat memaksakan berbagai kepentingannya.
Sejak tahun 1967
pola kebijakan Indonesia menjurus pada liberalisme. Hal ini disebabkan oleh
adanya pengaruh kekuatan asing dan adanya beberapa elit bangsa Indonesia
sendiri yang mengarahkan kebijakan pemerintah Indonesia kearah liberalisme. Hal
tersebut dapat kita saksikan dengan adanya peran investor swasta dalam
mengadakan barang dan jasa publik dan penetapan harga BBM. Khusus untuk BBM,
menurut pandangan Pak Kwik, bahwa prinsip harga BBM menurut UUD didasarkan
prinsip : kepatutan, daya beli masyarakat, nilai strategis untuk keseluruhan
sektor-sektor lainnya dalam pembangunan. Kenyataannya, pemerintah bahkan
mengambil laba dari rakyatnya yang menggunakan bensin. Bahkan kini subsidi BBM
telah dihapuskan.
Dampak dari
terjadinya era korporatokrasi tersebut menyebabkan Indonesia yang sudah merdeka
secara politik selama 70 tahun, semakin jauh dari pintu gerbang emas menuju
kemakmuran dan kesejahteraan yang berkeadilan. Hal ini juga disebabkan oleh
semakin merajalelanya korupsi. Pak Kwik dalam kapasitasnya sebagai Menteri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas pada Consultative
Group Meeting on Indonesia (CGI) tahun 2001 memaparkan bahwa syarat penggunaan
bantuan asing secara efektif adalah jangan dikorupsi. Namun dilanjutkan oleh
Pak Kwik bahwa hal tersebut bagaikan bumi dan langit, yang menggambarkan bahwa
korupsi sudah mendarah daging. Korupsi bukan lagi sekedar mencuri uang negara
saja, tetapi sudah merasuki korupsi mindset.
Mengingat daya
rusak dari korupsi yang luar biasa, maka diperlukan upaya pemberantasan korupsi
secara komprehensif, yakni melalui konsep dan action plan yang kongkrit. Pak Kwik mengajukan alternatif pikiran
dalam upaya pemberantasan korupsi, diantaranya adalah reformasi birokrasi.
Dimaksud reformasi birokrasi adalah reorganisasi sehingga tercipta struktur
yang efisien tetapi dengan kinerja maksimal. Kuncinya terletak pada
implementasi structure follows strategy.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, jika korupsi bukan hanya sekedar
mencuri uang negara. Untuk itu, struktur organisasi yang gemuk dan fungsi yang
tumpang tindih adalah sangat rawan menjadikannya sebagai birokrasi yang korup.
Melihat kondisi
yang demikian, usulan diadakannya Gerakan Nasional Kemerdekaan Kedua patut
untuk kita sambut. Namun, mengadakan kongres atau musyawarah nasional sangat
sulit dilakukan melihat kondisi politik saat ini. Mengingat hakikat berbangsa
dan bernegara adalah solidarity and
responsibility, maka diperlukan gerakan yang dapat membangun kesadaran
tersebut. Dalam hal ini, sangat menarik jika mengaitkan gerakan yang diusulkan
oleh Pak Kwik tersebut dengan gerakan literasi yang mulai menggeliat dewasa
ini. Kombinasi gerakan ini bisa dimulai dari memperkuat literasi dalam
keluarga. Keluarga yang memiliki kesadaran hakikat berbangsa dan bernegara akan
melahirkan generasi emas yang kita harapkan.
Judul Buku : Nasib Rakyat Indonesia dalam Era
Kemerdekaan
Penulis : Kwik Kian Gie
Jilid, Halaman : Soft Cover – xv+248 halaman
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
2016
ISBN : 978-602-03-2420-3
Aris
Munandar. Pegiat di Komuitas Matahari Pagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar