Kita dihadapkan pada satu
paradoks. Suatu pertentangan dengan gap yang saling bertolak belakang. Disatu
sisi, suka atau tidak, kemampuan membaca kita masih sangat rendah. Meskipun
geliat literasi semakin terasa dan menyebar, namun harus diakui belum merata.
Disisi lain, era internet of things
yang ditunggangi oleh globalisasi seolah hanya menampilkan wajah buruknya saja.
Pengaruh negatif teknologi informasi dan komunikasi terhadap gaya hidup kita,
serta pudarnya nilai-nilai religiusitas dan kearifan lokal bangsa. Tiga besar
pengaruh buruk tersebut adalah pornografi, hoaks dan sadisme.
Internet
of things adalah era baru, yaitu masa depan
yang aka kita jalani nantinya. Rhenald Kasali (2017) mengatakan bahwa telah
tercipta dunia baru. Adanya dunia baru tersebut merupakan buah dari kemajuan
teknologi informasi. Teknologi informasi memaksa kita menjadi serba real time. Peradaban ini memaksa kita
untuk berpikir dan bekerja lebih cepat untuk bisa tetap relevan.
Namun kesalahan memahami
tuntutan untuk serba cepat bukan membawa kita menjadi relevan, melainkan akan
menjerumuskan kita kedalam ketiadaan. Sepertihalnya banyak sistem pendidikan,
menurut Laporan Forum Ekonomi Dunia 2015, banyak yang tidak sejalan lagi dengan
kebutuhan kompetensi dimasa depan. Kompetensi yang dibutuhkan oleh seseorang di
abad 21 adalah berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan kolaboratif.
Kompetensi yang dikenal dengan
5 C tersebut (critical thinking, creative, communicative, dan collaborative)
bisa dihasilkan melalui kegiatan literasi. Pada umumnya, kegiatan literasi
dimaknai dengan kegiatan membaca. Meskipun ruang lingkup literasi sangatlah
luas, tidak terbatas pada kegiatan membaca saja. Namun kali ini kita fokuskan
pembahasan pada sisi kegiatan membaca.
Kegiatan membaca sebenarnya adalah
kegiatan interaksi kita dengan teks. Dalam teks tersebut terkandung ilmu
pengetahuan. Sehingga, membaca sebenarnya kegiatan menginternalisasi ilmu
pengetahuan. Ketika membaca, kita sedang melakukan transformasi. Dalam arti,
kita menjaga ilmu pengetahuan yang diserap supaya tetap kontekstual dan
relevan.
Kelas Integritas sebagai salah
satu implementasi dari program Tali Integritas yang dilakukan oleh Komunitas
Matahari Pagi, merupakan aksi literasi dengan pendekatan dalam konteks ini. Sasaran
utamanya, kami analogikan terhadap remaja. Kenapa dianalogikan sebagai remaja? Karena
remaja adalah fase krusial sebagai masa peralihan dari fase anak-anak ke fase
dewasa. Pada fase remaja, seseorang mencari jati diri yang akan menjadi
karakter difase dewasa.
Bagi remaja, pencarian jati
diri adalah upaya untuk menemukan eksistensinya. Oleh karenanya terdapat
keingintahuan yang besar dalam diri mereka. Disisi lain, pada dasarnya sebagai
manusia, remaja juga cenderung mencari kenyamanan dalam eksistensinya. Sehingga
eksistensi bagi mereka adalah tempat dimana mereka merasa diterima dan diakui
keberadaannya.
Kami menemukan fenomena
kenyamanan tersebut pada diri kita. Kenakalan-kenalakan yang awalnya kita
maknai sebagai bentuk pemberontakan terhadap kemapanan dan keinginan akan
situasi serta kondisi yang baru, ternyata salah. Motifnya hanya kenyamanan,
merasa cukup dengan hanya dianggap “ada”. Hal tersebut kami tanggapi sebagai
peristiwa terjadinya degradasi motivasi untuk bertransformasi, self-creative motivated.
Bertolak dari hal tersebut,
kami melakukan uji coba dengan merancang kegiatan di Kelas Integritas
berbasiskan teks. Ini dimaksudkan untuk melihat sampai sejauh mana kita dapat
melihat dan menangkap situasi dan pengetahuan yang terkandung dalam suatu
wacana.
Pada tema Karsa dan Teladan,
sudah dipelajari mengenai unsur-unsur pembentuk cerita rekaan, modifikasi, mind map, 5W+1H, menyimak (dengan
melakukan identifikasi, interpretasi dan uji relevansi), serta membaca
kritis. Semuanya dapat dianggap sudah
mewadahi kompetensi 5C tadi. Miasalnya kita ambil berpikir kritis.
Berpikir kritis merupakan
langkah awal menuju kontekstualisasi sebuah teks. Dengan berpikir kritis, kita
dapat melihat situasi teks tersebut pada saat ditulis dengan pada saat dibaca.
Tentu saja ada kesenjangan/gap diantara keduanya. Begitu juga dengan
pengetahuan yang terkandung didalamnya, ada gap antara pemaknaan teks menurut
penulis dan pembaca. Dengan berpikir kritis, seharusnya gap tersebut dapat
dihilangkan.
Kenapa dengan berpikir kritis
dapat menghilangkan gap situasi dan pengetahuan antara penulis dengan pembaca?
Karena dengan berpikir kritis kita akan melakukan identifikasi terhadap teks
tersebut, sehigga ditemukan signifikasi/relevansi teks tersebut dengan
persoalan yang dihadapi oleh kita.
Namun, jika kita lemah dalam
pemahaman gramatika dapat menyebabkan kegagalan kita dalam melakukan
identifikasi tersebut. Hal itu disebabkan oleh kesulitan kita dalam
mengklasifikasikan antara tema yang diusung dengan strukturnya. Tema sebenarnya
merupakan pokok pikiran yang ingin dibahas oleh penulis atau pembicara.
Sedangkan strukturnya adalah kerangka bagaimana tema tersebut akan disajikan
menurut persfektif penyaji tadi.
Meskipun demikian, berpikir
kritis hanyalah menyajikan kemungkinan-kemungkinan realitas yang “ada”, yang
bisa kita temui. Karenanya transformasi tidak ditentukan oleh pemikiran,
melainkan oleh keputusan. Keputusan akan membuat kemungkinan-kemungkinan
realitas yang “ada” itu “menjadi” kenyataan. Penggeraknya adalah “care-why?”
sebagai kreatifitas memotivasi diri.
Apakah kita dalam Kelas
Integritas berhasil menaklukan tantangan yang disajikan dalam teks-teks? Apakah
kita telah “menjadi”? ataukah hanya cukup dengan hanya “ada”?.
Jika kita hanya merasa cukup
dengan menjadi “ada”, maka sebenarnya “ada” adalah “tiada”. Sedangkan “tiada”
adalah tidak pernah “ada”. Apakah kita telah merasa begitu nyaman dalam “ketiadaan”?.
Aris Munandar. Pegiat di Komunitas Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar