Bangsa Indonesia adalah bangsa
yang ditempa oleh gelombang zaman. Jauh sebelum republik berdiri, persatuan dan
kesatuan telah menjadi syarat mutlak bangsa ini dalam mencapai kejayaannya.
Dipuncak-puncak itu ada Sriwijaya dan Majapahit.
Kolonialisme sempat membuat
bangsa ini tertidur cukup lama, pusaka saktinya tertimbun oleh lumpur devide et i mpera penjajah. Baru ketika
pada akhir Perang Dunia II, bangsa Indonesia menemukan kembali momentumnya.
Kembali menjadi pemain utama diantara bangsa-bangsa merdeka lainnya.
Momentum tersebut, satu sisi,
telah menjadikan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat.
Disisi lain, kemerdekaan tersebut menuntut kita untuk bersikap terhadap situasi
geopolitik yang terjadi pada saat itu.
Pasca Perang Dunia II, kita
dihadapkan pada perang dingin yang menempatkan Blok Barat yang dipimpin oleh
Amerika Serikat berhadapan dengan Blok Timur dibawah kendali Uni Soviet.
Kondisi tersebut seolah membagi dunia kepada kondisi yang saling bertolak
belakang. Dimana pengaruh Blok Barat dengan liberalismenya yang serba kapitalistik,
sebaliknya pengaruh Blok Timur dengan komunismenya yang serba terpusat dan tertutup.
Kita mengenal istilah Uni Soviet sebagai negara tirai besi dan Tiongkok sebagai
negeri tirai bambu.
Pada dekade 90-an, kita
dikejutkan oleh keruntuhan Uni Soviet. Pada saat itu diramalkan yang mengambil
alih pimpinan Blok Timur adalah Tiongkok. Namun sebuah anomali kembali terjadi.
Kini kita dapat menyaksikan transformasi Tiongkok menjadi semakin kapitalistik.
Sebaliknya, Amerika Serikat dibawah pimpinan Donald Trump dengan misi “make America great again” menjadi lebih
tertutup dengan segala proteksinya.
Disamping kekhawatiran kita
terhadap penetrasi kekuatan ekonomi Tiongkok yang semakin agresif dan Amerika
Serikat yang semakin menuntut transaksi perdagangan yang lebih fair, kita dihadapkan tantangan yang
lain lagi. Tantangan tersebut merupakan globalisasi di dunia maya. Globalisasi
yang dinamai internet of things. Saking
kuat pengaruhnya, seolah-olah tiada ruang yang tidak bisa ditembusnya, tidak
ada lagi batasan mana ranah privat dan mana ranah publik. Pada akhirnya kita
dapat merasakan bagaimana kejadian-kejadian di dunia maya tersebut sangat
berpengaruh terhadap kehidupan di dunia nyata.
Gambaran diatas sedikit
gambaran bagaimana gelombang perubahan zaman terjadi. Cragun & Sweetman
mencatat dari tahun 1980 hingga 2015 saja terdapat 20 episode kejutan. Jika
diklasifikasikan, kejutan-kejutan tersebut disebabka oleh 5 kategori penyebab,
yaitu : teknologi (khususnya teknologi informasi), teori manajemen, peristiwa
ekonomi, daya saing global, dan geopolitik (Kasali, 2017).
Dewasa ini teknologi informasi
menjadi penyebab perubahan yang terjadi. Rhenald Kasali (2017) mengatakan bahwa
telah tercipta dunia baru. Adanya dunia baru tersebut merupakan buah dari
kemajuan teknologi informasi. Teknologi informasi memaksa kita menjadi serba real time. Peradaban ini memaksa kita
untuk berpikir dan bekerja lebih cepat untuk bisa tetap relevan.
Sejatinya ada gelombang baru
perubahan zaman menanti kita. Akankah kita telah mempersiapkan diri sehingga
dapat dengan piawai menungganginya? Ataukah kita akan digulung dan dihempas kedasar
nadir peradaban?.
Kami mengidentifikasi bahwa
fase krusial kita dalam mempersiapkan diri terletak pada fase remaja. Jika kita
berhasil menciptakan dukungan sosial bagi remaja dalam melewati fase
transisinya, maka kita akan menghasilkan generasi penerus yang memiliki eksplorasi
personal, kemandirian, self control.
Alih-alih memberikan dukungan
sosial yang dibutuhkan remaja. Kita malah disibukan oleh kegiatan menangkal
pengaruh pornografi, hoaks dan sadisme yang mudah diakses di dunia maya.
Bagaimana usaha kita yang sekuat tenaga memfilter dan membatasi
pengaruh-pengaruh tersebut, namun seolah tidak menghasilkan apa-apa. Kita
bersusah payah menangkal hantu-hantu menakutkan tersebut, namun dengan cara
yang sporadis. Sehingga kita tidak memiliki pertahanan yang kokoh, mudah goyah
dan menyisakan banyak celah disana-sini.
Kegagapan kita tersebut sebagai
generasi yang lebih dulu atau sering disebut digital immigrants, adalah kegagalan dalam memahami fenomena ini.
Sehingga remaja sebagai digital natives,
semakin rentan terjebak pada kebingungan-kebingungannya dalam era internet of things dewasa ini. Sehingga
tak jarang semakin remaja yang terjerumus kepada perilaku menyimpang.
Setidaknya terdapat dua perilaku menyimpang yang sering kita dapati, yaitu :
kenakalan remaja serta penyalahgunaan narkoba dan alkohol.
Sebenarnya jika kita
generalisir, pangkal dari permasalahan remaja adalah kebutuhan akan pengakuan
terhadap eksistensinya. Sering kali kita hanya melihat keberadaan remaja,
sehingga memperlakukan mereka sebagai objek. Padahal dibalik itu ada kegairahan
luar biasa untuk mengekspresikan potensinya. Mereka hendaknya tidak cukup
dianggap “ada”, tetapi perlu penanganan yang tepat kearah “menjadi”.
Dimaksud dengan penanganan
tepat adalah seperangkat proses yang meliputi penguatan daya nalar, pengukuhan
jati diri dan kesempatan untuk menampilkan sikap. Kesediaan ruang untuk proses
tersebut saat ini masih merupakan barang mewah bagi remaja. Mereka harus
dibiasakan untuk berpikir kritis dengan memperkenalkan berbagai teknik
analisis. Dengan berpikir kritis akan membentuk remaja sebagai problem solver.
Untuk bisa memecahkan masalah-masalahnya, sama dengan mendorongnya menggunakan
berbagai pendekatan (lateral thinking).
Pertanyaan mendasarnya,
dimanakah remaja menemukan ruang tersebut? Dimanakah seharusnya ruang tersebut
berada? Karena tentu saja, kita tidak berharap remaja-remaja kita terjerumus
kedalam ketidak-stabilan emosi karena tidak menemukan jawaban ambigutasnya.
Aris Munandar. Pegiat di Komunitas Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar