Jumat, 07 September 2018

IDRUS DAN PENCARIAN MAKNA




Ketika Idrus Menyapa Kembali.

Kenangan membawa saya pada Idrus yang karyanya, khususnya dari “Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma”, membawa pembaharuan dalam sastra Indonesia. HB Jassin pada Kata Pendahuluan (dalam buku cetakan keenam tahun 1978) menjelaskan bahwa pembaharuan yang dimaksud pembaharuan tersebut bukan semata terletak pada bentuk belaka, tapi yang lebih esensial adalah pembaharuan jiwa menuju kedewasaan. Dan zaman Jepang telah melahirkan pembaharu itu, Idrus pada prosa dan Chairil Anwar pada puisi.

Selanjutnya HB Jassin memetakan cerita-cerita dalam buku “Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma” sebagai sebuah perjalanan jiwa dan sejarah zaman. Bagaimana tidak? Tulisan-tulisan tersebut dikumpulkan dari zaman Jepang hingga sesudah 17 Agustus 1945. Transformasi dari romantis idealisme ke realisme, ditutup dengan keberhasilan mengawinkan keduanya lewat cerita “Jalan lain ke Roma”.

Kenangan mengenai Idrus yang ini tentu saja bukan tanpa sebab. Setahun yang lalu saya pernah meengupas salah satu karyanya yaitu “Heiho”, masih dalam buku “Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma”, sebagai perjalanan sejarah dari sudut pecundang.


Balada Para Pecundang.

Sejarah adalah milik para pemenang. Sejarah, pada setiap zamannya, adalah juga milik para pecundang.

Dalam “Heiho”, Idrus menceritakan semangat perubahan Kartono secara skeptis.

Dikantor. Kartono seorang jurutulis yang rajin namun tidak kunjung mendapat apresiasi dari atasannya. Untuk itu, dia mendaftarkan diri untuk menjadi seorang heiho. Dalam benaknya, dia ingin membela tanah air dan hal ini dianggapnya akan membuat isterinya, Miarti, bangga.

Di asrama Heiho. Kartono menemui ketidaknyamanan berikutnya. Dia mendapatkan seragam yang sangat tidak nyaman. Bukan saja pakaiannya yang tanpa celana dalam membuat badan bagian bawahnya gatal-gatal, melainkan juga sepatunya yang kekecilan mengakibatkan kakinya lecet. Namun, oleh karena dalam benaknya dia ingin membela tanah air dan hal ini dianggapnya akan membuat isterinya, Miarti, bangga maka dia tidak mempedulikannya.

Dijalan. Kartono berpapasan dengan bapak dan anaknya. Dalam percakapan bapak dengan anaknya tersebut diungkapkan mereka memandang Kartono hanya sebagai orang udik yang mudah terpengaruh propaganda. Namun, oleh karena dalam benaknya dia ingin membela tanah air dan hal ini dianggapnya akan membuat isterinya, Miarti, bangga maka dia tidak mempedulikannya.

Dirumah. Kartono mendapati isterinya malah seolah mendorong dirinya pergi menjadi seorang heiho, tanpa rasa bangga, tanpa rasa cinta, hanya sedikit iba. Dalam  benaknya dia ingin membela tanah air, meskipun anggapannya akan membuat isterinya, Miarti, bangga telah sirna.

Di Burma. Delapan bulan setelahnya Kartono menjadi heiho, dia meninggal di Burma. Sementara itu, Miarti, isterinya tengah hamil empat bulan dari suaminya yang kedua. Harapan Kartono untuk dapat membela tanah air pupus karena heiho hanyalah alat propaganda Jepang untuk mendapatkan dukungan dalam peperangan menghadapi Sekutu.


Para Pencari Makna.

Manusia adalah pencari makna. Sosok Kartono sebagai gambarannya. Dia mendapati kantornya sebagai tempat yang tandus apresiasi, dia tidak menemui kebanggaan, tidak ada makna baginya disana. Begitu pun dari isterinya, meski dia telah memikul berbagai penderitaan. Apakah semangat perubahan yang dia punya berbanding sia-sia? Ya, jika kita menggunakan kacamata Idrus yang skeptis.

Namun benar Idrus, melalui percakapan bapak dengan anaknya menggambarkan jika “kepolosan” akan mudah dimanipulasi keculasan. Seperti Kartono yang termakan propaganda Jepang dan isterinya. Karenanya, pencarian makna mengharuskan kita melakukan menggali dan terus menggali.

Hal tersebut dicontohkan dengan sempurna melalui literasi. Awalnya, literasi hanya sebatas hal ihwal mengenai membaca saja, bahkan sebatas keaksaraan. Demikan membaca pun terus tergali, dari mulai melafalkan teks hingga sebagai proses memahami yang tersirat. Kini, literasi memiliki makna yang sangat luas, bahkan melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia itu sendiri.

Literasi bukan saja dituntut untuk menghadirkan kedalaman pemahaman, tetapi juga memberikan kesempatan untuk terus bertumbuh. Kehadiran dan kesempatan tersebut bisa didapatkan apabila kita menemui makna. Makna tersebut menjadikan “kehadiran” kita tetap kontekstual dan relevan dalam dinamika zaman.

Fitrah manusia selalu menjaga eksistensinya. Untuk itu, kita harus mampu menjawab setiap tantangan yang dihadapi, supaya tetap relevan dengan perkembangan zaman. Literasi hendaknya sebagai sebuah proses yang tidak berhenti pada titik kita mengetahui apa, kenapa, dan bagaimana.  Sebuah proses yang menstimulasi pemahaman secara mendalam dan pikiran-pikiran yang bertumbuh. Pada akhirnya, kita bisa disebut manusia apabila memiliki empati. Manusia adalah kita yang peduli pada sesama.


Aris Munandar. Pegiat di Matahari Pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"