Ketika
Idrus Menyapa Kembali.
Kenangan membawa saya
pada Idrus yang karyanya, khususnya dari “Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma”,
membawa pembaharuan dalam sastra Indonesia. HB Jassin pada Kata Pendahuluan
(dalam buku cetakan keenam tahun 1978) menjelaskan bahwa pembaharuan yang
dimaksud pembaharuan tersebut bukan semata terletak pada bentuk belaka, tapi
yang lebih esensial adalah pembaharuan jiwa menuju kedewasaan. Dan zaman Jepang
telah melahirkan pembaharu itu, Idrus pada prosa dan Chairil Anwar pada puisi.
Selanjutnya HB Jassin
memetakan cerita-cerita dalam buku “Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma” sebagai
sebuah perjalanan jiwa dan sejarah zaman. Bagaimana tidak? Tulisan-tulisan
tersebut dikumpulkan dari zaman Jepang hingga sesudah 17 Agustus 1945.
Transformasi dari romantis idealisme ke realisme, ditutup dengan keberhasilan
mengawinkan keduanya lewat cerita “Jalan lain ke Roma”.
Kenangan mengenai
Idrus yang ini tentu saja bukan tanpa sebab. Setahun yang lalu saya pernah
meengupas salah satu karyanya yaitu “Heiho”, masih dalam buku “Ave Maria ke
Jalan Lain ke Roma”, sebagai perjalanan sejarah dari sudut pecundang.
Balada
Para Pecundang.
Sejarah adalah milik
para pemenang. Sejarah, pada setiap zamannya, adalah juga milik para pecundang.
Dalam “Heiho”, Idrus
menceritakan semangat perubahan Kartono secara skeptis.
Dikantor. Kartono
seorang jurutulis yang rajin namun tidak kunjung mendapat apresiasi dari
atasannya. Untuk itu, dia mendaftarkan diri untuk menjadi seorang heiho. Dalam
benaknya, dia ingin membela tanah air dan hal ini dianggapnya akan membuat
isterinya, Miarti, bangga.
Di asrama Heiho.
Kartono menemui ketidaknyamanan berikutnya. Dia mendapatkan seragam yang sangat
tidak nyaman. Bukan saja pakaiannya yang tanpa celana dalam membuat badan
bagian bawahnya gatal-gatal, melainkan juga sepatunya yang kekecilan
mengakibatkan kakinya lecet. Namun, oleh karena dalam benaknya dia ingin
membela tanah air dan hal ini dianggapnya akan membuat isterinya, Miarti,
bangga maka dia tidak mempedulikannya.
Dijalan. Kartono
berpapasan dengan bapak dan anaknya. Dalam percakapan bapak dengan anaknya
tersebut diungkapkan mereka memandang Kartono hanya sebagai orang udik yang
mudah terpengaruh propaganda. Namun, oleh karena dalam benaknya dia ingin
membela tanah air dan hal ini dianggapnya akan membuat isterinya, Miarti,
bangga maka dia tidak mempedulikannya.
Dirumah. Kartono
mendapati isterinya malah seolah mendorong dirinya pergi menjadi seorang heiho,
tanpa rasa bangga, tanpa rasa cinta, hanya sedikit iba. Dalam benaknya dia ingin membela tanah air,
meskipun anggapannya akan membuat isterinya, Miarti, bangga telah sirna.
Di Burma. Delapan bulan
setelahnya Kartono menjadi heiho, dia meninggal di Burma. Sementara itu,
Miarti, isterinya tengah hamil empat bulan dari suaminya yang kedua. Harapan
Kartono untuk dapat membela tanah air pupus karena heiho hanyalah alat
propaganda Jepang untuk mendapatkan dukungan dalam peperangan menghadapi
Sekutu.
Para
Pencari Makna.
Manusia adalah
pencari makna. Sosok Kartono sebagai gambarannya. Dia mendapati kantornya
sebagai tempat yang tandus apresiasi, dia tidak menemui kebanggaan, tidak ada
makna baginya disana. Begitu pun dari isterinya, meski dia telah memikul
berbagai penderitaan. Apakah semangat perubahan yang dia punya berbanding
sia-sia? Ya, jika kita menggunakan kacamata Idrus yang skeptis.
Namun benar Idrus,
melalui percakapan bapak dengan anaknya menggambarkan jika “kepolosan” akan
mudah dimanipulasi keculasan. Seperti Kartono yang termakan propaganda Jepang
dan isterinya. Karenanya, pencarian makna mengharuskan kita melakukan menggali
dan terus menggali.
Hal tersebut
dicontohkan dengan sempurna melalui literasi. Awalnya, literasi hanya sebatas
hal ihwal mengenai membaca saja, bahkan sebatas keaksaraan. Demikan membaca pun
terus tergali, dari mulai melafalkan teks hingga sebagai proses memahami yang
tersirat. Kini, literasi memiliki makna yang sangat luas, bahkan melingkupi
seluruh aspek kehidupan manusia itu sendiri.
Literasi bukan saja
dituntut untuk menghadirkan kedalaman pemahaman, tetapi juga memberikan
kesempatan untuk terus bertumbuh. Kehadiran dan kesempatan tersebut bisa
didapatkan apabila kita menemui makna. Makna tersebut menjadikan “kehadiran”
kita tetap kontekstual dan relevan dalam dinamika zaman.
Fitrah manusia selalu
menjaga eksistensinya. Untuk itu, kita harus mampu menjawab setiap tantangan
yang dihadapi, supaya tetap relevan dengan perkembangan zaman. Literasi
hendaknya sebagai sebuah proses yang tidak berhenti pada titik kita mengetahui
apa, kenapa, dan bagaimana. Sebuah
proses yang menstimulasi pemahaman secara mendalam dan pikiran-pikiran yang
bertumbuh. Pada akhirnya, kita bisa disebut manusia apabila memiliki empati.
Manusia adalah kita yang peduli pada sesama.
Aris
Munandar.
Pegiat di Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar