Jumat, 07 September 2018

TENTANG MEMBACA, LITERASI, DAN KITA (Seri 1)



Pada awalnya, membaca adalah melafalkan lambang-lambang bahasa tulis (Anderson, 1972). Namun, William (1984) menggaris bawahi jika kegiatan membaca wajib memiliki unsur pemahaman (understanding). Sehingga kita mendapatkan berbagai pengertian dari definisi membaca.

Goodman (1967) menyebutkan jika kegiatan membaca adalah kegiatan memahami setiap alinea (reading the lines), memahami antar alinea (reading between the lines), dan memahami yang tersirat dari alinea (reading beyond the lines).

Sedangkan Gillet & Temple (1986) menekankan kegiatan membaca pada penciptaan gagasan, informasi, serta imajinasi terhadap bahasa tulisan. Mereka mengatakan bahwa reading is making sense of written language.

Membaca bukan semata kegiatan individual. Waples (1940) menegaskan jika kegiatan membaca sebagai proses sosial yang menghubungkan pembaca dengan lingkungannya dan mengondisikan hubungan itu.

Kebutuhan terhadap pemahaman tersebut semakin vital. Saat ini kita sedang menjadi saksi dari perubahan besar. Disebut sebagai revolusi industri 4.0. perubahan yang didorong oleh kemajuan teknologi informasi, yakni telah memasuki gelombang ketiga dari internet (internet of things/IoT). Bukan lagi kita yang mencari informasi, melainkan kita yang diserbu oleh jutaan informasi setiap detiknya, 24 jam.

Dalam kondisi seperti itu, kita dituntut supaya memiliki kemampuan menganalisis informasi. Sofie Dewayani (2017) menerangkan, kemampuan ini berdasarkan keabsahan dan kemanfaatannya merupakan inti dari kompetensi literasi informasi.

Berikut adalah jenis dari literasi informasi (Unesco, 2012; Hirsch, 1987) :
·       
          Literasi teknologi.
Kemampuan menggunakan perangkat teknologi secara kritis dan bijak.

·       Literasi visual.
Kemampuan memahami, menganalisis, dan menggunakan bahasa visual dalam menyampaikan gagasan.

·       Literasi media.
Kemampuan mengakses, menyaring, dan menggunakan informasi dalam media secara kritis.

·       Literasi perpustakaan.
Kemampuan untuk mencari informasi, sumber referensi melalui sistem penyimpanan data dan bahan pustaka.

·       Literasi numerik.
Kemampuan untuk menalar, memahami konsep abstrak, dan menyelesaikan permasalahan sehari-hari melalui simbol angka.

·       Literasi budaya.
Kemampuan untuk memahami norma, serta berkomunikasi dan berperilaku dengan simbol budaya yang disepakati.

Pemerintah saat ini sudah sangat memahami dinamika perubahan ini. Melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menginisiasi Gerakan Literasi Nasional (GLN) sejak tahun 2016.

Sebagai suatu gerakan, GLN melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam menyusun konsep, kebijakan, penyediaan materi pendukung, sampai dengan kampanye literasi. Hal tersebut dimaksudkan supaya kebijakan yang diambil sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat. GLN diharapkan menjadi pendukung keluarga, sekolah, dan masyarakat untuk berperan aktif dalam menumbuhkan budaya literasi (Effendy, 2017). Kampanye utama dari GLN adalah 6 (enam) literasi dasar.

Kini, di abad 21, kita dituntut untuk menguasai 6 literasi dasar. 6 literasi dasar dimaksud, yakni : literasi baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, serta literasi budaya dan kewargaan.

--- Bersambung ke seri 2 ---


Aris Munandar. Pegiat di Matahari Pagi.

3 komentar:

  1. Jadi,kira2 kenapa literacy day diterjenahkan sbg hari aksara, kakak? Eh, sudah dibahas ya? Punten....

    Salam kenal :)

    BalasHapus
  2. Dengan literasi hidup semakin berwarna

    BalasHapus

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"