“A table, a chair, a bowl of fruits, and
a violin; what else does a man need to be happy?” – Albert Einstein.
Orkestra (orchestra) pada awalnya sebuah sebutan untuk
tempat paduan suara bangsa Yunani bernyanyi dan menari. Seiring dengan kebangkitan
kembali pemikiran Yunani di benua Eropa, yang kita kenal dengan Renaissance,
seni musik termasuk salah satu lingkup didalamnya. Kebangkitan yang bersendikan
humanisme, empirisme, dan rasionalisme tersebut, membuka ruang improvisasi dan
pembaruan kedalam orkestra itu sendiri. Tentu saja dengan tidak menanggalkan
unsur klasiknya.
Improvisasi itulah yang tersaji pada pagelaran yang
bertajuk Concert Orchestra persembahan kedua dari Sukabumi Violin Community.
Dilangungkan di Gedung Juang Kota Sukabumi pada tanggal 2 Maret 2019, dimulai
sejak pukul 19.00 hingga berakhir hampir tengah malam.
Kami sekeluarga beruntung bisa hadir disana. Kabar dan
tiket gratis dari seorang sahabat baik adalah keberuntungan yang mendahuluinya.
Kebetulan, dalam konsep The Daniah Way yang kami rumuskan meliputi hal itu.
Yakni, dalam pengembangan intelektual Daniah.
The Daniah Way merupakan konsep pengasuhan dan
pendidikan keluarga yang sedang kami kembangkan. Sebuah konsep yang terbuka,
sehingga memingkinkan untuk selalu termutakhirkan dengan perkembangan yang ada.
Konsep ini merupakan konsep untuk tumbuh kembang orangtua bersama anak, yaitu
kami dan Daniah. Konsep ini setidaknya memiliki 3 pijakan utama, yaitu
manajemen pengetahuan, manajemen perubahan, dan kecerdasan majemuk. Tentu saja
kami meniupkan literasi kedalamnya sebagai ruh.
Dalam konteks orkestra, terdapat 2 kata kunci disana,
yaitu musik dan klasik. Musik sendiri merupakan penataan bunyi secara cermat
yang membentuk pola teratur. Sedangkan klasik bersifat sederhana, serasi, dan
tidak berlebihan. Kedua kunci itulah kami anggap mampu menstimulasi kecerdasan
majemuk seseorang. Dalam hal ini, kami sendiri.
Kami sangat menikmati pertunjukan tersebut. Kecuali,
kamera dan kameramen yang mengganggu pandangan kami ke atas pentas. Kalau ada
yang harus disalahkan, mungkin itu pada tata letak kursi penonton. Seharusnya
ada lorong khusus, sehingga kami sebagai penonton, kamera serta kameramennya
juga nyaman. Namun, terlepas dari hal itu, kami mencatat beberapa hal yang
menarik.
Pertama, saya sangat mengapresiasi adanya pagelaran
ini. Jika dalam salah sambutannya, yang entah siapa dia, menyebutkan bahwa
pagelaran ini harus menjadi acara tahunan. Maka, kami justeru berharap adanya
pagelaran bulanan. Kenapa demikian? Hal ini terkait dengan catatan berikutnya. Dengan
adanya ruang improvisasi dalam sebuah orkestra, seperti tersebut diatas, maka
sang kreator lebih “mudah” membuat ramuannya. Masalahnya, karena pagelaran ini
merupakan ajang tahunan dan satu-satunya di Sukabumi, maka pesan yang ingin
disampaikan jadi terlalu sesak.
Saya sangat paham maksud sang kreator untuk menjadi
pertunjukan ini menjadi lebih diterima oleh awam, seperti kami misalnya. Konsekuensinya,
ada diantara tampilan yang disajikan terkesan tempelan dan kurang ‘mendalam’. Salah
satu contohnya : kami tidak terlalu paham dengan penggunaan kostum gatotkaca,
sedangkan lagu yang dimainkannya bergenre pop dan dipadu dengan ballerina
cilik. Kostumnya bagus, permainan biolanya keren, aksi ballerinanya menawan. Tapi
menggabungkan ketiganya seperti mencampurkan soto Ibu Abel, kopi Chaproek,
dengan Bandros Ata.
Sehingga tidak berlebihan kami menginginkan lebih
banyak pagelaran seperti ini. Skalanya boleh lebih kecil. Tetapi, paling tidak,
kreativitas dari kawan-kawan Sukabumi Violin Community tidak luber pada wadah
yang terlalu kecil. Kami juga merasakan perjuangan mewujudkan sesuatu yang
belum populer sangat tidak mudah. Bukankah disanalah idealisme kita diuji? Seperti
menyimpan penampil terakhir sebagai penutup. Membiarkan penonton yang
benar-benar ingin menikmati pertunjukan tetap tinggal. Para penampil pun sangat
brilliant. Kami melihat mereka sangat lepas dan ekspresif. Ada yang menarik,
gimmick ketika para penampil meninggalkan personil cajon (baca: kahon)
sendirian. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh sang penabuh cajon untuk menunjukan
skillnya.
Apresiasi juga dari kami untuk para violist cilik atas
keberaniannya. Penonton yang cukup membeludak bersama antusiasmenya, tidak
mengganggu konsentrasi mereka. Sebaliknya, mereka tampil sangat percaya diri
dan menikmati atensi yang diberikan. Begitu dengan penampil pembuka yang cukup
menghentak. Namun, karindingnya seperti bermain dipinggiran.
Sekali lagi, permasalahnnya ada pada kurangnya ruang
yang dimiliki. Saya melihat Sukabumi Violin Community memiliki segudang
gagasan-gagasan besar. Itu tentunya membutuhkan ruang yang besar juga. Sebagai orang
yang bukan siapa-siapa dan juga tidak memiliki apa-apa, saya hanya bisa
mengapresiasi. Untuk Kang Dedi, I save the best for last. Kang Dedi, anda orang
yang jenius. Kini, penggemar anda bertambah 3 orang, yaitu kami. Standing applaus
dari kami untuk Concert Orchestra.
Aris Munandar - Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar