Senin, 04 Maret 2019

ORKESTRA SUKABUMI : SEBUAH CATATAN




“A table, a chair, a bowl of fruits, and a violin; what else does a man need to be happy?” – Albert Einstein.

Orkestra (orchestra) pada awalnya sebuah sebutan untuk tempat paduan suara bangsa Yunani bernyanyi dan menari. Seiring dengan kebangkitan kembali pemikiran Yunani di benua Eropa, yang kita kenal dengan Renaissance, seni musik termasuk salah satu lingkup didalamnya. Kebangkitan yang bersendikan humanisme, empirisme, dan rasionalisme tersebut, membuka ruang improvisasi dan pembaruan kedalam orkestra itu sendiri. Tentu saja dengan tidak menanggalkan unsur klasiknya.

Improvisasi itulah yang tersaji pada pagelaran yang bertajuk Concert Orchestra persembahan kedua dari Sukabumi Violin Community. Dilangungkan di Gedung Juang Kota Sukabumi pada tanggal 2 Maret 2019, dimulai sejak pukul 19.00 hingga berakhir hampir tengah malam.

Kami sekeluarga beruntung bisa hadir disana. Kabar dan tiket gratis dari seorang sahabat baik adalah keberuntungan yang mendahuluinya. Kebetulan, dalam konsep The Daniah Way yang kami rumuskan meliputi hal itu. Yakni, dalam pengembangan intelektual Daniah.


The Daniah Way merupakan konsep pengasuhan dan pendidikan keluarga yang sedang kami kembangkan. Sebuah konsep yang terbuka, sehingga memingkinkan untuk selalu termutakhirkan dengan perkembangan yang ada. Konsep ini merupakan konsep untuk tumbuh kembang orangtua bersama anak, yaitu kami dan Daniah. Konsep ini setidaknya memiliki 3 pijakan utama, yaitu manajemen pengetahuan, manajemen perubahan, dan kecerdasan majemuk. Tentu saja kami meniupkan literasi kedalamnya sebagai ruh.

Dalam konteks orkestra, terdapat 2 kata kunci disana, yaitu musik dan klasik. Musik sendiri merupakan penataan bunyi secara cermat yang membentuk pola teratur. Sedangkan klasik bersifat sederhana, serasi, dan tidak berlebihan. Kedua kunci itulah kami anggap mampu menstimulasi kecerdasan majemuk seseorang. Dalam hal ini, kami sendiri.


Kami sangat menikmati pertunjukan tersebut. Kecuali, kamera dan kameramen yang mengganggu pandangan kami ke atas pentas. Kalau ada yang harus disalahkan, mungkin itu pada tata letak kursi penonton. Seharusnya ada lorong khusus, sehingga kami sebagai penonton, kamera serta kameramennya juga nyaman. Namun, terlepas dari hal itu, kami mencatat beberapa hal yang menarik.

Pertama, saya sangat mengapresiasi adanya pagelaran ini. Jika dalam salah sambutannya, yang entah siapa dia, menyebutkan bahwa pagelaran ini harus menjadi acara tahunan. Maka, kami justeru berharap adanya pagelaran bulanan. Kenapa demikian? Hal ini terkait dengan catatan berikutnya. Dengan adanya ruang improvisasi dalam sebuah orkestra, seperti tersebut diatas, maka sang kreator lebih “mudah” membuat ramuannya. Masalahnya, karena pagelaran ini merupakan ajang tahunan dan satu-satunya di Sukabumi, maka pesan yang ingin disampaikan jadi terlalu sesak.

Saya sangat paham maksud sang kreator untuk menjadi pertunjukan ini menjadi lebih diterima oleh awam, seperti kami misalnya. Konsekuensinya, ada diantara tampilan yang disajikan terkesan tempelan dan kurang ‘mendalam’. Salah satu contohnya : kami tidak terlalu paham dengan penggunaan kostum gatotkaca, sedangkan lagu yang dimainkannya bergenre pop dan dipadu dengan ballerina cilik. Kostumnya bagus, permainan biolanya keren, aksi ballerinanya menawan. Tapi menggabungkan ketiganya seperti mencampurkan soto Ibu Abel, kopi Chaproek, dengan Bandros Ata.

Sehingga tidak berlebihan kami menginginkan lebih banyak pagelaran seperti ini. Skalanya boleh lebih kecil. Tetapi, paling tidak, kreativitas dari kawan-kawan Sukabumi Violin Community tidak luber pada wadah yang terlalu kecil. Kami juga merasakan perjuangan mewujudkan sesuatu yang belum populer sangat tidak mudah. Bukankah disanalah idealisme kita diuji? Seperti menyimpan penampil terakhir sebagai penutup. Membiarkan penonton yang benar-benar ingin menikmati pertunjukan tetap tinggal. Para penampil pun sangat brilliant. Kami melihat mereka sangat lepas dan ekspresif. Ada yang menarik, gimmick ketika para penampil meninggalkan personil cajon (baca: kahon) sendirian. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh sang penabuh cajon untuk menunjukan skillnya.


Apresiasi juga dari kami untuk para violist cilik atas keberaniannya. Penonton yang cukup membeludak bersama antusiasmenya, tidak mengganggu konsentrasi mereka. Sebaliknya, mereka tampil sangat percaya diri dan menikmati atensi yang diberikan. Begitu dengan penampil pembuka yang cukup menghentak. Namun, karindingnya seperti bermain dipinggiran.

Sekali lagi, permasalahnnya ada pada kurangnya ruang yang dimiliki. Saya melihat Sukabumi Violin Community memiliki segudang gagasan-gagasan besar. Itu tentunya membutuhkan ruang yang besar juga. Sebagai orang yang bukan siapa-siapa dan juga tidak memiliki apa-apa, saya hanya bisa mengapresiasi. Untuk Kang Dedi, I save the best for last. Kang Dedi, anda orang yang jenius. Kini, penggemar anda bertambah 3 orang, yaitu kami. Standing applaus dari kami untuk Concert Orchestra.


Aris Munandar - Matahari Pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"