Oleh:
Mansurni Abadi
(World Literacy Foundation
Singapura)
foto: pixabay.com
Geylang - Hoax sebagai akar fenomena sosial yang
menghancurkan persatuan masyarakat dan
literasi sebagai solusi dasar untuk mengatasinya adalah diskursus yang selalu
di sandingkan dalam setiap kali diskusi, baik di level atas maupun di level
bawah. Lambat laun diskursus ini pun membuat
pemikiran seragam dari atas ke bawah, maupun sebaliknya, jika hoax yang menjadi masalah harus di
selesaikan lewat literasi sebagai primus
interperas (yang paling utama) disamping solusi yang bersifat birokratis
sebagai the second (yang kedua).
Namun sayangnya
literasi kita masih terjebak pada masalah di dua ranah, yang pertama ranah
konseptual dan kedua ranah praktikal. Dari ranah konseptual, konsep literasi
masih didefinisikan dan kemudian dimaknai hanya sebatas persoalan bisa baca
lalu selesai. Akibatnya kemudian di
ranah praktiknya, literasi menjadi hanya soal meningkatkan berapa jumlah buku yang
di baca oleh individu dalam sebulan. Populisme
gerakan, formalitas program, dan ketidakterhubungan antara visi dan misi
kedepannya adalah 3 fenomena yang sering saya jumpai terjadi akibat kesalahan diranah konseptual
dan praktik ini. Akibatnya, jawaban literasi sebagai solusi hoax akhirnya gugur dengan sendirinya,
karena literasi yang ada saat ini tidak berdaya sebagai kekuatan penyeimbang hoax yang masif, sistematis, dan
manipulatif.
Tentunya kemudian
muncul pertanyaan kritis literasi yang seperti apa yang harusnya di bentuk?
Strategi yang seperti apa yang harusnya di laksanakan? Dan logika gerakan
seperti apa yang harus di terapkan ?.
Membongkar
Konsep Usang Literasi
Benak publik
menanggap literasi sebagai solusi untuk menghadapi hoax karena literasi berurusan dengan perbaikan akal, hoax di pandang sebagai bentuk
ketidakwarasan akal dalam hal menggunakan medium-medium informasi. Namun
literasi juga perlu dikaji, apakah literasi saat ini sudah efektif memperbaiki
akal atau justru menumpulkan akal?.
Literasi pada
dasarnya bukan soal kuantitas kemampuan membaca buku, banyaknya menulis, atau
banyaknya informasi yang kita tumpuk di kepala yang selama ini kita praktikan.
Jika literasi hanya soal bacaan fisik, tentunya akan tertatih dalam melawan hoax yang masif, sistematis, dan
manipulatif.
Sudah selayaknya kita
harus memahami literasi sebagai sebuah proses berkelanjutan untuk: (1) menajamkan
pikiran, baik secara kolektif maupun individu; (2) memperbaiki sikap dan
tindakan; dan (3) menyeimbangkan kesadaran individual dan kesadaran sosial
lewat berbagai medium fisiologis, baik kinestetik, visual, audiotory. Dengan
indikatornya yang harus mentransformasi individu dan masyarakat di ranah etos (karakter),
mitos dari berpikir irrasional menjadi rasional, dan logos dari keseragaman
menjadi keberagaman, yang saling membangun dengan berpedoman pada wawasan
nasional suatu bangsa yang mecakup: visi, misi, dan tujuan suatu bangsa.
Produk literasi
dengan konsep ini secara konseptual
bukan lagi hanya sebatas membaca buku dan membeo pada pemikiran tertentu,
baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri, dan secara praktikal memproduksi
pemahaman baru dan saling keterkaitan
antar manusia untuk mencerdaskan sesama anak bangsa. Mempertajam,
menyeimbangkan, dan memperbaiki laku tindakan, inilah sebenar-benarnya konsep
literasi yang akan berdampak pada peningkatan nalar akal sehat.
Prasyarat bagi
masyarakat yang berakal sehat ada tiga hal progresif, humanis, dan berkesadaran.
Kalau kita sambungkan antara konsep literasi yang saya tulis di atas dengan
prasyarat masyarakat berakal sehat maka ketiga konsep literasi saling terhubung
dengan salah satu pra-syarat masyarakat berakal sehat, karena masyarakat yang progresif
akan timbul ketika penajaman pola pikir dilakukan, yang humanis akan timbul
dari upaya perbaikan sikap dan tindakan, dan yang berkesadaran akan timbul sebagai akibat dari keseimbangan kesadaran. Ranah
praktik untuk mewujudkannya, salah satunya adalah dengan memetakan gaya
literasi di masing-masing wilayah, mengembangkan iklim dialog dan laku tindakan
yang inspiratif, menyediakan medium counter culture (melawan budaya yang menindas), membangun
basis creative capital, serta
mereproduksi dan membuat jejaring antar intelektual organik.
Jika 3 prasyarat
konseptual dan ke lima praktik itu terpenuhi maka literasi bisa menjadi
penyeimbang hoax yang memiliki skema
yang masif, sistematis, dan manipulatif. Selanjutnya dari hal yang saya tulis
diatas, literasi perlahan akan dapat menjawab 7 dosa sosial yang dilahirkan hoax, yang saya ambil dari ide Gandhi,
yaitu: politik tanpa prinsip, yang kita lihat hari ini dalam bentuk politik
demagog (tidak mendidik); kekayaan tanpa kerja keras (dalam bentuk mafia hoax); perniagaan tanpa moralitas (dalam
bentuk kapitalisasi hoax); kesenangan tanpa nurani (dalam bentuk immoralitas
menggunakan medium informasi); sains tanpa humanitas (dalam bentuk penciptaan
teknologi yang menyingkirkan manusia dan alam secara perlahan); dan peribadatan
tanpa refleksi pengorbanan (dalam bentuk
menggunakan agama menebarkan hoax)
Ketika litelarasi
sudah sampai pada titik menjawab 7 dosa sosial penyebab hoax tersebut, maka literasi bisa menjadi jawaban untuk mengatasi hoax.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar