Sabtu, 10 Agustus 2019

Literasi sebagai Solusi Hoax, Apakah Jawaban atau Wacana?


Oleh:
Mansurni Abadi
(World Literacy Foundation Singapura)


foto: pixabay.com


Geylang - Hoax sebagai akar fenomena sosial yang menghancurkan persatuan masyarakat    dan literasi sebagai solusi dasar untuk mengatasinya adalah diskursus yang selalu di sandingkan dalam setiap kali diskusi, baik di level atas maupun di level bawah. Lambat laun diskursus ini pun membuat  pemikiran seragam dari atas ke bawah, maupun sebaliknya, jika hoax yang menjadi masalah harus di selesaikan lewat literasi sebagai primus interperas (yang paling utama) disamping solusi yang bersifat birokratis sebagai the second (yang kedua).

Namun sayangnya literasi kita masih terjebak pada masalah di dua ranah, yang pertama ranah konseptual dan kedua ranah praktikal. Dari ranah konseptual, konsep literasi masih didefinisikan dan kemudian dimaknai hanya sebatas persoalan bisa baca lalu selesai. Akibatnya  kemudian di ranah praktiknya, literasi menjadi hanya soal meningkatkan berapa jumlah buku yang di baca oleh individu dalam sebulan. Populisme  gerakan, formalitas program, dan ketidakterhubungan antara visi dan misi kedepannya adalah 3 fenomena yang sering saya jumpai  terjadi akibat kesalahan diranah konseptual dan praktik ini. Akibatnya, jawaban literasi sebagai solusi hoax akhirnya gugur dengan sendirinya, karena literasi yang ada saat ini tidak berdaya sebagai kekuatan penyeimbang hoax yang masif, sistematis, dan manipulatif.

Tentunya kemudian muncul pertanyaan kritis literasi yang seperti apa yang harusnya di bentuk? Strategi yang seperti apa yang harusnya di laksanakan? Dan logika gerakan seperti apa yang harus di terapkan ?.


Membongkar Konsep Usang Literasi

Benak publik menanggap literasi sebagai solusi untuk menghadapi hoax karena literasi berurusan dengan perbaikan akal, hoax di pandang sebagai bentuk ketidakwarasan akal dalam hal menggunakan medium-medium informasi. Namun literasi juga perlu dikaji, apakah literasi saat ini sudah efektif memperbaiki akal atau justru menumpulkan akal?.

Literasi pada dasarnya bukan soal kuantitas kemampuan membaca buku, banyaknya menulis, atau banyaknya informasi yang kita tumpuk di kepala yang selama ini kita praktikan. Jika literasi hanya soal bacaan fisik, tentunya akan tertatih dalam melawan hoax yang masif, sistematis, dan manipulatif.

Sudah selayaknya kita harus memahami literasi sebagai sebuah proses berkelanjutan untuk: (1) menajamkan pikiran, baik secara kolektif maupun individu; (2) memperbaiki sikap dan tindakan; dan (3) menyeimbangkan kesadaran individual dan kesadaran sosial lewat berbagai medium fisiologis, baik kinestetik, visual, audiotory. Dengan indikatornya yang harus mentransformasi individu dan masyarakat di ranah etos (karakter), mitos dari berpikir irrasional menjadi rasional, dan logos dari keseragaman menjadi keberagaman, yang saling membangun dengan berpedoman pada wawasan nasional suatu bangsa yang mecakup: visi, misi, dan tujuan suatu bangsa.

Produk literasi dengan konsep ini secara konseptual  bukan lagi hanya sebatas membaca buku dan membeo pada pemikiran tertentu, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri, dan secara praktikal memproduksi pemahaman baru  dan saling keterkaitan antar manusia untuk mencerdaskan sesama anak bangsa. Mempertajam, menyeimbangkan, dan memperbaiki laku tindakan, inilah sebenar-benarnya konsep literasi yang akan berdampak pada peningkatan nalar akal sehat.

Prasyarat bagi masyarakat yang berakal sehat ada tiga hal progresif, humanis, dan berkesadaran. Kalau kita sambungkan antara konsep literasi yang saya tulis di atas dengan prasyarat masyarakat berakal sehat maka ketiga konsep literasi saling terhubung dengan salah satu pra-syarat masyarakat berakal sehat, karena masyarakat yang progresif akan timbul ketika penajaman pola pikir dilakukan, yang humanis akan timbul dari upaya perbaikan sikap dan tindakan, dan yang berkesadaran akan timbul  sebagai akibat dari keseimbangan kesadaran. Ranah praktik untuk mewujudkannya, salah satunya adalah dengan memetakan gaya literasi di masing-masing wilayah, mengembangkan iklim dialog dan laku tindakan yang  inspiratif, menyediakan medium counter culture  (melawan budaya yang menindas), membangun basis creative capital, serta mereproduksi dan membuat jejaring antar intelektual organik.

Jika 3 prasyarat konseptual dan ke lima praktik itu terpenuhi maka literasi bisa menjadi penyeimbang hoax yang memiliki skema yang masif, sistematis, dan manipulatif. Selanjutnya dari hal yang saya tulis diatas, literasi perlahan akan dapat menjawab 7 dosa sosial yang dilahirkan hoax, yang saya ambil dari ide Gandhi, yaitu: politik tanpa prinsip, yang kita lihat hari ini dalam bentuk politik demagog (tidak mendidik); kekayaan tanpa kerja keras (dalam bentuk mafia hoax); perniagaan tanpa moralitas (dalam bentuk  kapitalisasi hoax); kesenangan tanpa nurani (dalam bentuk immoralitas menggunakan medium informasi); sains tanpa humanitas (dalam bentuk penciptaan teknologi yang menyingkirkan manusia dan alam secara perlahan); dan peribadatan tanpa refleksi pengorbanan  (dalam bentuk menggunakan agama menebarkan hoax) 

Ketika litelarasi sudah sampai pada titik menjawab 7 dosa sosial penyebab hoax tersebut, maka literasi bisa menjadi jawaban untuk mengatasi hoax.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"