foto: fimela.com
Dalam menyikapi
situasi bangsa saat ini yang semakin hari semakin jauh dari cita-cita awalnya. Sudah seharusnya
kita mulai kembali mengenang obsesi (rasa yang menghantui pikiran) para
pendiri bangsa, khususnya presiden pertama republik ini, Soekarno. Dalam pidato
pertama pasca Indonesia merdeka, berjudul: sekali merdeka tetap merdeka, yang
termuat di buku dibawah bendera revolusi, Soekarno menyatakan pembentukan
Indonesia adalah realitas bagi kemanusiaan yang di perjuangkan habis-habisan
oleh semangat yang menyala-nyala terhadap kemerdekaan. Karena komitmen terhadap
kemanusiaan itulah, Soekarno adalah satu-satunya pemimpin Indonesia yang berani
menentang secara terang- terangan praktik-praktik penindasan manusia atas
manusia dan bangsa atas bangsa. Karena hal inilah, dalam masa pemerintahan
Soekarno tidak pernah sedikitpun memedulikan ide pembangunan neoliberal
kapitalistik, tapi sebaliknya dia mengutamakan kebijakan pembangunan segala
sektor yang berdikari.
Pada masanya,
Soekarno tidak bergeming dengan rayuan ideologi pembangunan yang di lancarkan
oleh presiden negara adikuasa, Harry S Truman, melalui doktrin Truman atau pun rencana pinjaman pembangunan untuk
dunia ketiga lewat Marshall Plan. Soekarno tampaknya sadar bahwa pada tahun
1945 yang terbentuk baru negara Indonesia, sedang bangsa Indonesia masih dalam
proses mencari bentuk identitasnya untuk tetap bertahan hingga akhir zaman.
Indonesia pada
dasarnya adalah negara yang disusun diatas banyak nasionalisme berbasis etnis. Jika
bukan berkat Pancasila sebagai jalan hidup yang disepakati hingga hari ini,
nasionalisme berbasis etnik akan menjadikan Indonesia tinggal nama. Tentunya
dengan bangsa yang masih dalam proses ini, ideologi pembangunan yang merupakan
kepanjangan tangan dari neo-imprealisme dan neo-kolonialisme hanya akan menjadi
bom waktu bagi perpecahan indonesia. Karena itulah istilah-istilah sakti dalam
periode pemerintahan Soekarno bukanlah konsep-konsep dari ideologi "pembangunan",
seumpamanya economic growth, GNP per kapita, investasi asing, pinjaman luar
negeri, SDGs, industrialisasi, deregulisasi, konglomerasi, dan sebangsanya,
yang sarat membuka ruang bagi penindasan manusia atas manusia secara masif,
terstruktur, dan sistematis.
Soekarno adalah anak
zamannya. Pemikirannya tidak terlepas dari kondisi zamannya, namun tetap
visioner bagi bangsa Indonesia hingga hari ini. Bagi Soekarno, formula yang tepat
bagi Indonesia mencapai cita-citanya adalah Pancasila yang menjunjung tinggi
sosialisme ala Indonesia, gotong-royong, kekeluargaan, berdiri di atas kaki
sendiri, dan seterusnya.
Melihat Indonesia
hari ini, kita semakin jauh dari formula yang di cetuskan oleh Bung Besar. Maka
tidak salah jika kita mungkin merdeka
hanya secara seremonial, namun tetap terjajah secara sistem. Namun kita sebagai
generasi muda terus-menerus memaklumi hal tersebut sebagai sebuah kewajaran dan
menyusun alasan atas nama apapun. Hingga wajar akhirnya muncul sebuah statement
"Indonesia for sale".
Mansurni
Abadi. (Co-founder
Ekstraparlemen Institute / World Literacy Foundation Singapura).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar