Sabtu, 10 Agustus 2019

Obsesi Soekarno dan Masa Depan Kita


foto: fimela.com

Dalam menyikapi situasi bangsa saat ini yang semakin hari semakin  jauh dari cita-cita awalnya. Sudah  seharusnya  kita mulai kembali mengenang obsesi (rasa yang menghantui pikiran) para pendiri bangsa, khususnya presiden pertama republik ini, Soekarno. Dalam pidato pertama pasca Indonesia merdeka, berjudul: sekali merdeka tetap merdeka, yang termuat di buku dibawah bendera revolusi, Soekarno menyatakan pembentukan Indonesia adalah realitas bagi kemanusiaan yang di perjuangkan habis-habisan oleh semangat yang menyala-nyala terhadap kemerdekaan. Karena komitmen terhadap kemanusiaan itulah, Soekarno adalah satu-satunya pemimpin Indonesia yang berani menentang secara terang- terangan praktik-praktik penindasan manusia atas manusia dan bangsa atas bangsa. Karena hal inilah, dalam masa pemerintahan Soekarno tidak pernah sedikitpun memedulikan ide pembangunan neoliberal kapitalistik, tapi sebaliknya dia mengutamakan kebijakan pembangunan segala sektor yang berdikari.

Pada masanya, Soekarno tidak bergeming dengan rayuan ideologi pembangunan yang di lancarkan oleh presiden negara adikuasa, Harry S Truman, melalui doktrin Truman  atau pun rencana pinjaman pembangunan untuk dunia ketiga lewat Marshall Plan. Soekarno tampaknya sadar bahwa pada tahun 1945 yang terbentuk baru negara Indonesia, sedang bangsa Indonesia masih dalam proses mencari bentuk identitasnya untuk tetap bertahan hingga akhir zaman.

Indonesia pada dasarnya adalah negara yang disusun diatas banyak nasionalisme berbasis etnis. Jika bukan berkat Pancasila sebagai jalan hidup yang disepakati hingga hari ini, nasionalisme berbasis etnik akan menjadikan Indonesia tinggal nama. Tentunya dengan bangsa yang masih dalam proses ini, ideologi pembangunan yang merupakan kepanjangan tangan dari neo-imprealisme dan neo-kolonialisme hanya akan menjadi bom waktu bagi perpecahan indonesia. Karena itulah istilah-istilah sakti dalam periode pemerintahan Soekarno bukanlah konsep-konsep dari ideologi "pembangunan", seumpamanya economic growth, GNP  per kapita, investasi asing, pinjaman luar negeri, SDGs, industrialisasi, deregulisasi, konglomerasi, dan sebangsanya, yang sarat membuka ruang bagi penindasan manusia atas manusia secara masif, terstruktur, dan sistematis.

Soekarno adalah anak zamannya. Pemikirannya tidak terlepas dari kondisi zamannya, namun tetap visioner bagi bangsa Indonesia hingga hari ini. Bagi Soekarno, formula yang tepat bagi Indonesia mencapai cita-citanya adalah Pancasila yang menjunjung tinggi sosialisme ala Indonesia, gotong-royong, kekeluargaan, berdiri di atas kaki sendiri, dan seterusnya.

Melihat Indonesia hari ini, kita semakin jauh dari formula yang di cetuskan oleh Bung Besar. Maka tidak salah jika  kita mungkin merdeka hanya secara seremonial, namun tetap terjajah secara sistem. Namun kita sebagai generasi muda terus-menerus memaklumi hal tersebut sebagai sebuah kewajaran dan menyusun alasan atas nama apapun. Hingga wajar akhirnya muncul sebuah statement "Indonesia for sale".


Mansurni Abadi. (Co-founder Ekstraparlemen Institute / World Literacy Foundation Singapura).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"