Jumat, 11 September 2020

MEMBAWA LITERASI KEMBALI KE RUMAH

 

Aris Munandar - Founder TBM Matahari Pagi
 

Membawa Literasi Kembali ke Rumah merupakan salah satu program literasi yang digagas oleh TBM Matahari Pagi. Program ini sudah dijalankan sejak awal tahun 2019. Membawa Literasi Kembali ke Rumah pada prinsipnya berpandangan bagaimana kegiatan literasi di masyarakat dapat mempengaruhi, bahkan menumbuhkan, literasi di keluarga dan sekolah. Pandangan ini dirasa penting karena upaya meningkatkan minat baca harus didukung oleh adanya atmosfer yang baik. Atmosfer tersebut harus terbentuk di masyarakat, sekolah, dan keluarga. Sehingga keberadaan TBM Matahari Pagi bukan hanya sebagai wahana masyarakat, baik orang tua maupun anak-anak, untuk berinteraksi dengan buku atau bahan pustaka lainnya. Lebih dari itu, pengalaman yang didapatkan di TBM Matahari Pagi harus menjadi pengalaman bermakna, sehingga dapat dibawa ke rumahnya masing-masing. Begitupun ketika TBM Matahari Pagi berkolaborasi dengan PAUD.

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat, dalam konteks gerakan literasi, menjadi lingkungan pertama dan utama dalam upaya menumbuhkan tingkat literasi, terutama minat baca. Peningkatan literasi anggota keluarga sering kali membutuhkan dukungan entitas dari luar keluarga itu sendiri, seperti yang dilakukan oleh TBM Matahari Pagi. Untuk dapat mencapai tujuan itu, TBM Matahari Pagi juga berkolaborasi dengan pengelola PAUD. Tidak harus selalu TBM Matahari Pagi berhadapan langsung dengan para orang tua dan anak-anaknya, tetapi dilakukan dengan penguatan pemahaman literasi para pendidiknya. Pemahaman literasi yang dimaksud yaitu: kemampuan untuk mengidentifikasi kebutuhan informasi, mencari, memperoleh, mengolah, dan menginformasikan kembali.

Munculnya gagasan Membawa Literasi Kembali ke Rumah didasarkan atas hasil identifikasi oleh TBM Matahari Pagi terhadap realitas yang terjadi di masyarakat. Gambaran rendahnya minat baca, yang berimbas pada rendahnya tingkat literasi, merupakan fenomena umum yang mudah ditemui di masyarakat kita. Apalagi ditambah dengan pesatnya kemajuan teknologi informasi, seolah membelah generasi menjadi dua, yaitu: para orang tua sebagai digital immigrants, berhadapan dengan anak-anaknya yang merupakan digital natives.  Disebut berhadapan, dalam gejala yang dapat diidentifikasi oleh TBM Matahari Pagi di masyarakat, terjadi kecenderungan mayoritas orang tua yang menganggap keberadaan gadget sebagai ancaman. Hal tersebut diperparah dengan tindakan pembatasan hingga pelarangan mengakses gadget oleh orang tua kepada anak-anaknya, tanpa disertai alternatif kegiatan sebagai substitusi. Di lain pihak, bagi anak-anak tersebut, keberadaan gadget sudah menjadi kebutuhan. Realitas tersebut pastinya akan menjadi warna di masyarakat. Kesenjangan antara orang tua dengan anak harus dapat dijembatani. Membawa Literasi Kembali ke Rumah adalah upaya TBM Matahari Pagi dalam menanggulangi kesenjangan tersebut.

Pemahaman literasi bagi orang tua merupakan sasaran pertama dari program Membawa Literasi Kembali ke Rumah. Sofie Dewayani (Ariful & Kiswanti, 2019) menyimbolkan peranan orang tua sebagai peran kebundaan . Ada tiga aspek utama literasi dalam konteks relasi antara orang tua dengan anak (Sofie dalam Ariful & Kiswanti, 2019; Nuh, 2013), yaitu: penanaman nilai-nilai kasih sayang, keteladanan, dan pembiasaan. Peran orang tua dalam menanamkan perilaku-perilaku baik pada anak-anaknya, bahkan dimulai sejak dini. Fase ini dianggap penting untuk dapat menginternalisasi nilai-nilai integritas dalam kehidupan si anak. Pengetahuan dan pengajaran yang didapat oleh mereka di masa awal kehidupannya akan disimpan dan direkam, serta akan mempengaruhi kepribadian mereka hingga beranjak dewasa nantinya. Menanamkan nilai moral dilakukan dengan menumbuhkan kesadaran dalam diri anak (Wilson, 2007 dalam Dewayani, 2016). Penanaman nilai-nilai tersebut perlu didukung 2 (dua) hal utama lainnya, yaitu: keteladanan dan pembiasaan. Orang tua adalah teladan kejujuran yang paling dekat dengan anak. Pendidikan humanis mengedepankan keteladanan. Selain itu, ditunjang juga dengan pembiasaan. Penting bagi orang tua untuk mengembangkan cara berkomunikasi yang jelas dan efektif, juga sehat. Komunikasi antara orang tua dengan anak dilakukan berdasarkan paradigma bahwa anak-anak itu cerdas dan membutuhkan cukup tantangan meningkatkan nalar kritis mereka. Orang tua perlu duduk bersama anak dan meluangkan waktu khusus untuk menginternalisasi nilai-nilai integritas dalam kehidupan. Harus difahami oleh orang tua, jika anak memerlukan dukungan untuk bisa mengatakan dan melakukan tindakan yang benar.

Kedekatan antara orang tua dengan anak akan mulai berjarak ketika si anak memasuki usia remaja. Padahal dalam usia tersebut, kehadiran orang tua sangat dibutuhkan dalam mendapingi tumbuh kembangnya. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (2016) mengelompokan, setidaknya ada, 6  tantangan yang dihadapi remaja saat ini, yaitu :  (1)  harmonisasi pengembangan potensi remaja yang belum optimal, baik itu pengembangan potensi olah hati (etik), olah pikir (literasi) maupun olah raga (kinestetik); (2) besarnya populasi remaja yang tersebar diseluruh Indonesia; (3) belum  optimalnya  sinergi tanggungjawab  antara  sekolah,  orang tua  dan  masyarakat;  (4) tantangan globalisasi berupa pengaruh negatif teknologi informasi dan komunikasi terhadap gaya hidup remaja, serta  pudarnya  nilai-nilai  religiusitas  dan  kearifan  lokal  bangsa;  (5)  terbatasnya  pendampingan orang tua yang mengakibatkan krisis identitas  dan disorientasi tujuan hidup anak; (6)  keterbatasan sarana belajar dan infrastruktur. Remaja sebagai fase ambiguitas, apabila tidak dipersiapkan untuk menghadapi tantangan-tantangan  tersebut  diatas  maka akan  mengalami  kebingungan-kebingungan  yang  akan  berlanjut kepada ketidakstabilan emosi. Untuk  itu,  remaja  perlu  dibekali  kecerdasan  sebagai bekal  utamanya  sehingga akan  memunculkan eksplorasi personal, kemandirian, self control. Kapasitas untuk berubah dan beradaptasi dengan diri sehingga menghasilkan sesuatu yang lebih baik secara optimal antara diri dan dunia, yang disebut sebagai self control (Rothbaum, 2004). Self control terdiri dari aspek-aspek, yaitu : pengendalian perilaku, pengendalian kegiatan otak, dan pengendalian keputusan. Tingkat self control ditentukan oleh kemahiran mengkombinasikan ketiga aspek self control tersebut.

Program Membawa Literasi Kembali ke Rumah, terdiri dari 3 tema utama, yaitu: (1) Mendongeng dan Imajinasi Alam Sekitar; (2) Membaca Nyaring bagi Anak, Remaja, dan Dewasa; (3) Scafolding: Kolaborasi Anak dengan Guru/Orangtua. Program tersebut diselenggarakan melalui 2 pendekatan, yakni: kegiatan mandiri TBM Matahari Pagi dan kolaborasi dengan pihak lain. Kegiatan mandiri yang dilakukan oleh TBM Matahari Pagi adalah: (1) Bincang Jemari, kegiatan diskusi yang mengusung tema Membawa Literasi Kembali ke Rumah dengan menyasar orang tua dan pegiat/relawan literasi, dilaksanakan secara luring maupun daring melalui media WAG; serta (2) Kelas Literasi #writingforintegrity adalah kegiatan Membawa Literasi Kembali ke Rumah melalui peguatan karakter dan konsep diri dengan pendekatan menulis yang menyasar remaja, dilaksanakan secara luring maupun daring melalui media WAG. Sedangkan kolaborasi dilakukan dalam kegiatan, diantaranya: (1) Silaturahmi dan sosialisasi kepada Bunda Literasi Kabupaten Sukabumi, sekaligus memperlihatkan karya sebagai hasil praktik baik dari kegiatan Membawa Literasi Kembali ke Rumah; (2) Membawa Literasi Kembali ke Rumah salah satu konten dalam buku Salam Literasi dari Sukabumi yang dibedah dalam acara yang diselenggarakan oleh Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Sukabumi; (3) sosialisasi program Membawa Literasi Kembali ke Rumah dalam Gebyar Pendidikan dan Kebudayaan yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi dan Balai Bahasa Jawa Barat; (4) pelatihan Membawa Literasi Kembali ke Rumah kepada pendidik PAUD yang diselenggarakan bersama HIMPAUDI Kecamatan Palabuhanratu di 6 titik kordinasi wilayah.

Dampak dari kegiatan tersebut adalah mulai tumbuhnya minat baca dan kesadaran mengenai pentingnya literasi, sehingga timbul kebutuhan dan permintaan mengenai: (a) meningkatnya kepercayaan diri peserta Kelas Literasi sehingga bisa lebih berprestasi di sekolah mereka, baik secara akademik maupun non akademik; (b) pendampingan kepada para orang tua tentang pengasuhan literasi, terutama para orang tua yang menyelenggarakan sekolah rumah; (c) pelatihan bagi para pegiat literasi; (d) pelatihan bagi para pendidik PAUD untuk dapat mengintegrasikan literasi ke dalam kurikulum. Sebagai tindaklanjut dari kegiatan-kegiatan yang sudah dilaksanakan, saat ini TBM Matahari Pagi tengah melakukan evaluasi dan merumuskan kembali program Membawa Literasi Kembali ke Rumah ke dalam sebuah kurikulum yang lebih terstruktur. Sehingga kedepannya diharapkan dampak yang akan dirasakan lebih besar, terutama terbentuknya atmosfer literasi di masyarakat, yang didukung oleh tingkat literasi keluarga yang semakin kuat.

1 komentar:

  1. Tulisan yang informatif dan edukatif. Bisa dijadikan contoh esai yang baik bagi para penulis pemula. Terima kasih kang

    BalasHapus

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"