Manusia Baru
Seleksi Alam, seperti yang akan kita lihat selanjutnya, adalah kekuatan
yang senantiasa siap beraksi, dan jauh lebih unggul daripada upaya lemah
manusia, sebagaimana karya Alam unggul daripada karya Seni – Charles Darwin
(1859), On the Origin of Species.
Evolusi sebagai perubahan pada sifat-sifat yang
terwariskan secara genetik dari satu generasi ke generasi berikutnya didorong
oleh dua mekanisme utama, yaitu seleksi alam dan hanyutan genetik (genetic
drift).
Seperti spesies lain, manusia adalah hasil evolusi
jutaan tahun. Sekarang kita melihat, manusia sebagai pemegang kendali (Max,
2017). Manusia telah melalui sekian seleksi alam dan hanyutan genetik yang mengharuskan
beradaptasi dalam mempertahankan keberlanjutannya. Adaptasi juga menyebabkan
antar organisme untuk berinteraksi, baik itu konflik maupun kooperasi.
Namun konsekuensi dari manusia, sepertihalnya
organisme lain, yang tidak adaptif terhadap tantangan yang dihadapinya adalah
kepunahan.
Lebih jauh, evolusi manusia akan memasuki fase yang
disebut dengan istilah “perluasan besar potensi manusia”. Sebuah istilah yang
digunakan oleh yang digunakan Ray Kurzweil dalam buku The Singularity Is Near. Manusia
yang melampaui batas tubuhnya, yang memanfaatkan kemajuan teknologi untuk
berinteraksi dengan alam.
Ketika mobil adalah
kaki kita, kalkulator pikiran kita, dan Google ingatan kita. Kehidupan kita
sekarang hanya sebagiannya biologis (Max, 2017). Sebagian besar seleksi alam
zaman sekarang terjadi dalam budaya dan bahasa, komputer dan pakaian. Zaman
dulu, pada masa DNA, kalau muncul mutasi yang keren, mutasi itu mungkin tersebar
ke seluruh ras manusia dalam waktu seratus ribu tahun. Sekarang, kalau ada
ponsel baru atau proses manufaktur yang transformatif, itu dapat menyebar dalam
seminggu (Chruch, -).
Paradoks antara pernyataan Charles Darwin mengenai
keunggulan karya alam (baca: evolusi gen) lebih unggul dibanding karya seni
(baca: budaya dan teknologi) dengan realitas sekarang dimana pendorong evolusi
genetik adalah budaya dan teknologi.
Transhumanisme bukan lagi sekedar proses evolusi
secara genetik, melainkan perpaduan antara gen, budaya dan teknologi.
Evolusi Kecerdasan
Cogito ergo sum
Cogito ergo sum adalah sebuah ungkapan
yang diutarakan oleh Descartes, sang filsuf ternama dari Perancis. Artinya
adalah: "aku berpikir maka aku ada". Maksudnya kalimat ini
membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan
seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa
berpikir sendiri – Wikipedia.
Kecedasan adalah komponen genetik yang dianggap
semakin berharga dan merupakan yang paling ingin dimiliki oleh seluruh umat
manusia. Evolusi gen telah sangat banyak memberikan sumber daya untuk otak
selama ratusan ribu tahun. Namun bagi kecerdasan, tidak ada titik maksimal
disana dan satu-satunya hambatan adalah diri manusia itu sendiri (Max, 2017).
Generasi milenial, merupakan generasi teraktual seperti
digambarkan oleh Emha Ainun Nadjib, sebagai generasi yang IT-addict, sangat
menonjol kecerdasan enterpreneurship-nya, , punya keberpihakan yang serius
terhadap “kesalehan”, serta memiliki kebebasan otentik dalam kreativitas.
Generasi yang seakan-akan merupakan “putra langit”, bukan anak-anak yang
dibesarkan oleh tata nilai kepengasuhan di bumi. Seperti makhluk baru yang
lebih genuin, seolah-olah ada pengasuh yang lain yang tidak berada di bumi.
Dalam era yang didominasi kekuasaan materialisme,
kapitalisme dan industrialisme, pada puncak pencapaiannya adalah memutilasi
manusia (yang tidak adaptif) dengan menyisakannya hanya sebagai “benda” saja. Kemanusiaan
ditindih sampai ke garis paling nadir di telapak kaki sejarah (Nadjib, 2016). Cara
pandang yang hanya pada lapis paling permukaan, yakni yang kasat mata, atau
yang di seputar jangkauan indera adalah bukan hanya faktor penghambat,
melainkan juga sebagai penghancur kemanusiaan itu sendiri.
Pertanyaannya, apakah teknologi akan menjerumuskan
kecerdasan kita untuk mengabdi kepada kebendaan belaka ataukah kecerdasan kita
mampu memandu kemajuan teknologi menuju “perluasan besar potensi manusia”
seperti yang dimaksud oleh Kurzweil?
Lalu, kemanakah arah evolusi ini menuju? Akankah kita
akan meninggalkan “rumah” lama kita tanpa tahu dimana “rumah baru berada? Dan
kita semua tahu jawabannya jika tidak segera menemukan arahnya, ya! Kepunahan.
Rekayasa Kecerdasan
Quo Vadis
Quo vadis adalah kalimat dalam bahasa
latin yang secara harfiah berarti : “kemana engkau pergi?”. Kalimat ini adalah
terjemahan latin dari petikan bagian apokrif kisah Santo Petrus – Wikipedia.
Sifat-sifat yang terwariskan secara genetik dari satu
generasi ke generasi berikutnya terkandung dalam DNA (Deoxyribo Nucleic Acid),
sebuah molekul yang dapat menyimpan informasi genetika, termasuk didalamnya
kecerdasan. Basis genetis kecerdasan sangat kompleks. Kecerdasan memiliki
banyak komponen, dan bahkan setiap aspeknya—kemampuan berhitung, kesadaran
spasial, penalaran analitis, belum lagi empati—jelas melibatkan banyak gen, dan
semuanya dipengaruhi juga oleh faktor lingkungan.
Dilain pihak, pendekatan transhumanisme yang merupakan
perpaduan antara gen, budaya dan teknologi, membuka peluang kita untuk
melakukan rekayasa kecerdasan. Dalam arti, kecerdasan bukan hanya sebatas
permasalahan biological, melainkan juga behavioral, sehingga rekayasa
kecerdasan bisa dilakukan dan memperlihatkan hasilnya tanpa harus menunggu 10
generasi kemudian seperti yang diungkapkan oleh Nick Bostrom dan Carl
Shulman, dua peneliti di Future of Humanity Institute, di Oxford University,
yang menyelidiki dampak sosial yang ditimbulkan oleh peningkatan kecerdasan,
dalam makalah untuk Global Policy.
TDW : Grow up together
yang digagas Matahari Pagi merupakan suatu program rekayasa kecerdasan supaya
kecerdasan dapat memandu teknologi agar manusia dapat lebih adaptif dalam
menghadapi tantangan zaman. Lebih menarik lagi, TDW
bukan hanya program untuk merekayasa kecerdasan individu manusia (individual
transformatif/INTIF), melainkan juga dapat merekayasa kecerdasan yang dimiliki
oleh suatu institusi (baik itu komunitas/msayarakat, korporat, maupun
organisasi – organisasional transformatif/ONTIF).
Dapatkan dalam versi ebook disini.
----- < O > -----
Aris
Munandar. Penulis, founder dan kontributor utama Matahari
Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar