Siang ini,
ada yang mau dibagi nih..
Pengalaman ini didapat dari salah satu cerpennya Dewi Lestari
(Dee). Karya Hibrida yang disuguhkan dalam buku Rectoverso ini di dalamnya ada
11 cerpen, salah satunya adalah ‘Peluk’. Nah.. cerpen ‘Peluk’ inilah yang akan
kita kupas dari sudut pengalaman membaca.
‘Peluk’ adalah cerita sepasang suami istri yang pada akhirnya
memutuskan untuk berpisah.
“Namun, kurasa hatimu tahu, seperti hatiku
pun tahu, jika malam ini kita memutuskan untuk terus bersama, itu karena kita
tidak tahu bagaimana menangani kesendirian. Aku tidak ingin bersamamu cuma
karena enggan sendiri. Kau tidak layak untuk itu. Seseorang semestinya
memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya
akan sepi.” (kepingan cerpen Peluk)
Pernikahan adalah komitmen untuk saling menumbuhkan dan
mewujudkan cita. Cinta dalam rumus adalah simbol ‘=’ (sama dengan). Cinta ada
untuk mencari persamaan, sepertihalnya 1+1 = 2, dilihat dari bentuknya 1+1 dan
2 itu jelas berbeda, meskipun nilainya tetap dua. Begitupun dua orang yang terikat
dalam pernikahan, tetap terdiri dari dua orang, tetap terdiri dari dua
pemikiran.
“Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia
bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?
Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan
saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin
berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.
Nafas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak
dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali. Jiwa
tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Jadi jangan
lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.
Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat. Jangan
saling membendung apabila tak ingin tersandung.
Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, kerena aku
ingin seiring dan bukan digiring.”
(Spasi,
Filosofi Kopi)
Sudah jelas bukan? Kita berkomitmen dengan seseorang bukan
untuk menyerah, namun sebaliknya menyatukan kekuatan agar tercipta karya
bersama. Kita tidak menikah untuk menggadaikan mimpi, maka himpunlah
persamaan-persamaan itu.
Teman-teman, persamaan tidak serta-merta kita dapatkan dari
banyaknya hal atau kebiasaan yang sama. Persamaan bisa didapat dari kejujuran
akan pemikiran satu sama lain. Jadi ketika dua pemikiran yang berbeda tertuang
dalam gelas kejururan akan menghasilkan jenis minuman baru, semisal wortel
dengan mangga di mix menghasilkan juice yang segar. Begitulah pemikiran kita,
jika dipadukan akan menghasilkan sebuah inovasi.
Dalam pernikahan, ketika kita berhasil mencari jalan tengah
atas perbedaan-perbedaan pikir, gundah hati tidak lagi menjadi soal, fokus akan
berpindah kepada pencapaian target hidup, menuntaskan sasaran demi sasaran
untuk mencapai visi yang kita citakan.
“tanyakan arti kebebasan pada kawanan kuda
liar.
Otot mereka kokoh akibat kecintaan mereka
pada berlari, bukan karena mengatar seseorang kesana kemari. Kandang mereka
adalah alam, bukan papan yang dipasangkan. Di punggungnya terdapat cinta,
bukan pelana yang disandangkan dengan
paksa.
Hidup mereka indah dalam keinginan bebas. Hari ini ke
padang, esok lusa ke gunung, tak ada yang bingung. Kebimbangan tak pernah hadir
karena mereka tahu apa yang dimau. Yakin apa yang diingini. Lari mereka ringan
karena tak ada yang menunggangi.
Kelelahan akan berganda apabila kita dihela. Waktu akan
mengimpit apabila kita dikepit. Dan suara hati akan mati jika dikebiri.
Larilah dalam kebebasan kawanan kuda liar. Hanya dengan
begitu, kita mampu memperbudak waktu. Melambungkan mutu dalam hidup yang cuma
satu.”
(Kuda
Liar, Filosofi Kopi)
Lalu mengapa dalam cerpen ‘Peluk’ perpisahan terjadi?
“ Namun, kanal hidup membawa aliran itu ke
sebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir. Siapa yang mengatur itu? Aku
pun tak tahu. Barangkali kita berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu
sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa.
Aku ingin mengalir. Hatiku belum mau mati. Aliran ini
harus kembali memecah dua agar kita sama-sama bergerak sebelum kita terlalu
jengah dan akhirnya pisah dalam amarah.
(kepingan cerpen Peluk)
Ketika kita merasa dikepit dan terseret mimpi pasangan,
kondisi seperti itu membuat kita lelah tanpa ada harapan tumbuh. Bahtera pernikahan
dapat diselamatkan jika upaya dilakukan berdua. Berdua kita berkomitmen, berdua
pula kita menyelamatkannya.
Nah... teman-temanku, dari pengalaman di atas, bisa diambil
sebuah pelajaran, kejururan adalah pondasi untuk membangun pernikahan, dan kita
bisa mejadikan win-win solution untuk
menghimpun persamaan.
Hazar
Widiya Sarah. Pengasuh Rubrik Rambu Jalan, Penulis,
Konselor, Guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA Swasta, Co-founder Komunitas
Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar Library, Chief of Editor Penerbit
Matahari Pagi, Mentor Kelas Literasi Matahari Pagi, Kontributor Tetap www.mataharipagi.tk, Komisaris CV
Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar