Rabu, 01 November 2017

Nukilan beberapa Cerpen Dewi Lestari




Haloo.. haloo..

Siang ini, ada yang mau dibagi nih..

Pengalaman ini didapat dari salah satu cerpennya Dewi Lestari (Dee). Karya Hibrida yang disuguhkan dalam buku Rectoverso ini di dalamnya ada 11 cerpen, salah satunya adalah ‘Peluk’. Nah.. cerpen ‘Peluk’ inilah yang akan kita kupas dari sudut pengalaman membaca.

‘Peluk’ adalah cerita sepasang suami istri yang pada akhirnya memutuskan untuk berpisah.

            “Namun, kurasa hatimu tahu, seperti hatiku pun tahu, jika malam ini kita memutuskan untuk terus bersama, itu karena kita tidak tahu bagaimana menangani kesendirian. Aku tidak ingin bersamamu cuma karena enggan sendiri. Kau tidak layak untuk itu. Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya akan sepi.” (kepingan cerpen Peluk)

Pernikahan adalah komitmen untuk saling menumbuhkan dan mewujudkan cita. Cinta dalam rumus adalah simbol ‘=’ (sama dengan). Cinta ada untuk mencari persamaan, sepertihalnya 1+1 = 2, dilihat dari bentuknya 1+1 dan 2 itu jelas berbeda, meskipun nilainya tetap dua. Begitupun dua orang yang terikat dalam pernikahan, tetap terdiri dari dua orang, tetap terdiri dari dua pemikiran.

            “Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?

            Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.

            Nafas akan melega dengan sepasang paru-paru yang tak dibagi. Darah mengalir deras dengan jantung yang tidak dipakai dua kali. Jiwa tidaklah dibelah, tapi bersua dengan jiwa lain yang searah. Jadi jangan lumpuhkan aku dengan mengatasnamakan kasih sayang.

            Mari berkelana dengan rapat tapi tak dibebat. Jangan saling membendung apabila tak ingin tersandung.

            Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, kerena aku ingin seiring dan bukan  digiring.”

                                                                                                                        (Spasi, Filosofi Kopi)

Sudah jelas bukan? Kita berkomitmen dengan seseorang bukan untuk menyerah, namun sebaliknya menyatukan kekuatan agar tercipta karya bersama. Kita tidak menikah untuk menggadaikan mimpi, maka himpunlah persamaan-persamaan itu.

Teman-teman, persamaan tidak serta-merta kita dapatkan dari banyaknya hal atau kebiasaan yang sama. Persamaan bisa didapat dari kejujuran akan pemikiran satu sama lain. Jadi ketika dua pemikiran yang berbeda tertuang dalam gelas kejururan akan menghasilkan jenis minuman baru, semisal wortel dengan mangga di mix menghasilkan juice yang segar. Begitulah pemikiran kita, jika dipadukan akan menghasilkan sebuah inovasi.

Dalam pernikahan, ketika kita berhasil mencari jalan tengah atas perbedaan-perbedaan pikir, gundah hati tidak lagi menjadi soal, fokus akan berpindah kepada pencapaian target hidup, menuntaskan sasaran demi sasaran untuk mencapai visi yang kita citakan.

            “tanyakan arti kebebasan pada kawanan kuda liar.

            Otot mereka kokoh akibat kecintaan mereka pada berlari, bukan karena mengatar seseorang kesana kemari. Kandang mereka adalah alam, bukan papan yang dipasangkan. Di punggungnya terdapat cinta, bukan  pelana yang disandangkan dengan paksa.

            Hidup mereka indah dalam keinginan bebas. Hari ini ke padang, esok lusa ke gunung, tak ada yang bingung. Kebimbangan tak pernah hadir karena mereka tahu apa yang dimau. Yakin apa yang diingini. Lari mereka ringan karena tak ada yang menunggangi.

            Kelelahan akan berganda apabila kita dihela. Waktu akan mengimpit apabila kita dikepit. Dan suara hati akan mati jika dikebiri.

            Larilah dalam kebebasan kawanan kuda liar. Hanya dengan begitu, kita mampu memperbudak waktu. Melambungkan mutu dalam hidup yang cuma satu.”

                                                                                                            (Kuda Liar, Filosofi Kopi)

Lalu mengapa dalam cerpen ‘Peluk’ perpisahan terjadi?

            “ Namun, kanal hidup membawa aliran itu ke sebuah tempat datar, dan hatiku berhenti mengalir. Siapa yang mengatur itu? Aku pun tak tahu. Barangkali kita berdua, tanpa kita sadari. Barangkali hidup itu sendiri, sehingga sia-sia menyalahkan siapa-siapa.

            Aku ingin mengalir. Hatiku belum mau mati. Aliran ini harus kembali memecah dua agar kita sama-sama bergerak sebelum kita terlalu jengah dan akhirnya pisah dalam amarah

                                                                                                           (kepingan cerpen Peluk)

Ketika kita merasa dikepit dan terseret mimpi pasangan, kondisi seperti itu membuat kita lelah tanpa ada harapan tumbuh. Bahtera pernikahan dapat diselamatkan jika upaya dilakukan berdua. Berdua kita berkomitmen, berdua pula kita menyelamatkannya.

Nah... teman-temanku, dari pengalaman di atas, bisa diambil sebuah pelajaran, kejururan adalah pondasi untuk membangun pernikahan, dan kita bisa mejadikan win-win solution untuk menghimpun persamaan.



Hazar Widiya Sarah. Pengasuh Rubrik Rambu Jalan, Penulis, Konselor, Guru Bahasa Indonesia di salah satu SMA Swasta, Co-founder Komunitas Matahari Pagi, Pengelola Aris Munandar Library, Chief of Editor Penerbit Matahari Pagi, Mentor Kelas Literasi Matahari Pagi, Kontributor Tetap www.mataharipagi.tk, Komisaris CV Matahari Pagi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"