Judul : Demi Batang Hari
Penulis : Muhammad Imam Teguh Ardian
Penerbit : Malkas Media, 2016
ISBN : 978-602-6515-03-2
Tersebutlah Harun.
Harun yang matang dalam tempaan pekerjaannya. Harun dengan bunga rampai kisah
kasihnya. Pohon-pohon tumbang di Dharmasraya, sungai mengalir di Batang Hari.
Kemana semuanya bermuara membentuk delta janji, demi apa?. Demi Batang Hari
atau daerah mana atau siapa saja dengan segala potensinya, membuat saya tidak
bisa menahan diri untuk melepas batas-batas yang Om Imam (begitu penulis novel
ini akrab disapa) pancangkan. Bukankah karya yang kaya selalu menjanjikan
poliinterpretabilitas?.
Harun adalah potret
hasil dari sistem pendidikan kita yang tidak berkesinambungan dengan keahlian
fungsional yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Harun bersama sisa-sisa potensi
kreatifitas dan kecerdasannya, menurut The Torance Test of Creative Thinking
rata-rata tersisa pada usia tersebut hanya sekitar 3%, berhasil mengembangkan
keterampilannya.
Harun dipersiapkan
oleh Ratno sebagai tangan kanan dan kepercayaannya. Ratno adalah boss sekaligus
mentor bagi Harun. Tour of duty yang didapatkan Harun, membentuk managerial
mindset sekaligus strategic. Sewajarnya Harun dinilai sebagai aset terbesar
yang dimiliki Ratno, untuk itu sudah sewajarnya pula posisi wakil direktur dan
profit/equity sharing menjadi haknya.
Demi Batang Hari,
dalam konteks pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), profil Harun menggoda
saya untuk mengimajinasikan plot utama novel ini mengarah kesana. Bagaimana
kita sebenarnya berlimpah SDM potensial. Sudah saatnya menanggalkan filsafat
yang menempatkan SDM sekedar salah satu bagian dari faktor produksi, komponen
biaya. Padahal dalam potret Harun, kita bisa melihat bagaimana seseorang bisa
menggerakan kapital. Dengan integritas yang dimilikinya, kapital tersebut
digunakan secara efisien.
Kita dihadapkan pada
permasalahan kemanusiaan yang besar, apakah potret manusia abad 21 yang literat
mampu menjawabnya? Sementara Gerakan Literasi hanya dimaknai sebatas kunci
untuk memasuki dunia kerja, tidakkah itu terdengar bertendensi mengarahkan kita
sebagai tenaga kerja?. Bisakah dengan literasi, kita mengangkat isu ini lebih
fundamental?.
Perusahaan Ratno
dibidang Land Clearing merupakan kawah candradimuka bagi Harun dalam membentuk
kedewasaannya. Harun lebih matang secara psikologis melebihi usia biologisnya.
Harus diakui jika saya mengagumi pengetahuan yang luas dari Om Imam terhadap
bidang ini. Mulai dari medan kerja, watak dan karakter pekerja, hingga
permasalahan tanah dari kepemilikan ulayat adat sampai BPN. Saya meyakini Om
Imam memiliki landscape yang lebih luas perihal permasalahan ini. Keyakinan itu
pula yang membawa saya kepada pertanyaan : bagaimana jika novel ini disajikan
dalam konteks konservasi alam? Atau konflik-konflik mengenai pelanggaran batas
eksploitasi?. Entahlah, Om Imam lebih menguasainya dalam hal ini. Sepertinya,
Harun yang “lurus” harus lebih banyak mendapatkan tantangan dan godaan lebih
besar dan beragam.
Terakhir, kita beri
konteksi romansa untuk novel ini. Risfa, Kiki Veronica, Wilda, Jelita, Upik dan
Luna adalah bunga rampai kisah kasih Harun. Menggelitik pertanyaan saya, apakah
Kiki dan Wilda adalah orang yang sama? Seperti halnya, apakah Harun dan Om Imam
adalah sosok yang sama? Sama-sama flamboyan atau minimal seperti Tirto Adi
Soerya dengan Minke.
Kembali ke Harun dan
romantikanya. Risfa sudah dapat ditebak dari awal akan tereliminasi. Hal itu
disebabkan karena Risfa bukan berasal dari daerah sekitar Batang hari dan tidak
kuat dengan LDR (long distance relationship). Kiki dan atau Wilda memang
sengaja dipersiapkan untuk membuka konflik antara Harun dengan Jelita. Jelita
yang seolah ditempatkan sebagai sosok sentral, malah justeri digantikan secepat
kilat oleh Luna. Tragisnya, Upik hanya dihadirkan untuk membantu “penyingkiran”
Jelita. Intinya, saya melihat ini tidak terlalu kuat untuk dijadikan tema
utama. Apalagi jika merujuk pada kelas-kelas wanita (baca: perempuan) beserta
kriterianya menurut Harun, berdasarkan asumsi jika wanita itu mahal dan hukum
plus-minus.
Dalam persfektif lain,
mungkin saja Om Imam bukan mau menyajikan perihal kepada siapa hati Harun
berlabuh pada akhirnya. Dalam persfektif ini, bisa saja Om Imam ingin
menyuguhkan sosok Harusn dalam balutan emosi dan psikologisnya. Harun yang
berada ditengah hutan beserta berbagai tekanan pekerjaan, ditambah pula
ditinggalkan begitu saja oleh kekasihnya diambang rencana pernikahan mereka.
Sosok Harun yang kesepian, yang membutuhkan perhatian. Pertemuannya dengan
Jelita, didorong oleh kesepian dan kebutuhan akan perhatian, membuat Harun
seakan-akan yakin inilah cinta yang layak untuk diperjuangkan. Hingga pada
titik balik ketika pertemuan Harun dengan Ridho. Ridho mengatakan kepada Harun
jika Jelita itu labil dan sering marah tanpa alasan. Pada titik inilah, menurut
saya, Harun merenungkan kembali arti Jelita bagi dirinya. Apakah Jelita yang
labil dan sering marah tanpa alasan adalah sosok yang tepat bagi dirinya yang
kesepian dan butuh perhatian?. Sampailah pada upaya “menyingkirkan” Jelita
dengan mendekatkan kembali Ridho. Seiring semuanya mereda, situasi membaik,
ternyata sosok yang dibutuhkan Harun ada pada Luna. Persfektif ini, mungkin Om
Imam mau mengatakan kepada kita jika cinta itu bukan gelora yang menggebu-gebu,
tetapi seperti aliran sungai yang tenang, dalam dan tak pernah kering, seperti
Batang Hari.
Aris Munandar. Pegiat di Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar