Selasa, 12 Juni 2018

DEMI APA DI BATANG HARI?




Judul                     : Demi Batang Hari
Penulis                 : Muhammad Imam Teguh Ardian
Penerbit              : Malkas Media, 2016
ISBN                      : 978-602-6515-03-2

Tersebutlah Harun. Harun yang matang dalam tempaan pekerjaannya. Harun dengan bunga rampai kisah kasihnya. Pohon-pohon tumbang di Dharmasraya, sungai mengalir di Batang Hari. Kemana semuanya bermuara membentuk delta janji, demi apa?. Demi Batang Hari atau daerah mana atau siapa saja dengan segala potensinya, membuat saya tidak bisa menahan diri untuk melepas batas-batas yang Om Imam (begitu penulis novel ini akrab disapa) pancangkan. Bukankah karya yang kaya selalu menjanjikan poliinterpretabilitas?.

Harun adalah potret hasil dari sistem pendidikan kita yang tidak berkesinambungan dengan keahlian fungsional yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Harun bersama sisa-sisa potensi kreatifitas dan kecerdasannya, menurut The Torance Test of Creative Thinking rata-rata tersisa pada usia tersebut hanya sekitar 3%, berhasil mengembangkan keterampilannya.

Harun dipersiapkan oleh Ratno sebagai tangan kanan dan kepercayaannya. Ratno adalah boss sekaligus mentor bagi Harun. Tour of duty yang didapatkan Harun, membentuk managerial mindset sekaligus strategic. Sewajarnya Harun dinilai sebagai aset terbesar yang dimiliki Ratno, untuk itu sudah sewajarnya pula posisi wakil direktur dan profit/equity sharing menjadi haknya.

Demi Batang Hari, dalam konteks pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), profil Harun menggoda saya untuk mengimajinasikan plot utama novel ini mengarah kesana. Bagaimana kita sebenarnya berlimpah SDM potensial. Sudah saatnya menanggalkan filsafat yang menempatkan SDM sekedar salah satu bagian dari faktor produksi, komponen biaya. Padahal dalam potret Harun, kita bisa melihat bagaimana seseorang bisa menggerakan kapital. Dengan integritas yang dimilikinya, kapital tersebut digunakan secara efisien.

Kita dihadapkan pada permasalahan kemanusiaan yang besar, apakah potret manusia abad 21 yang literat mampu menjawabnya? Sementara Gerakan Literasi hanya dimaknai sebatas kunci untuk memasuki dunia kerja, tidakkah itu terdengar bertendensi mengarahkan kita sebagai tenaga kerja?. Bisakah dengan literasi, kita mengangkat isu ini lebih fundamental?.

Perusahaan Ratno dibidang Land Clearing merupakan kawah candradimuka bagi Harun dalam membentuk kedewasaannya. Harun lebih matang secara psikologis melebihi usia biologisnya. Harus diakui jika saya mengagumi pengetahuan yang luas dari Om Imam terhadap bidang ini. Mulai dari medan kerja, watak dan karakter pekerja, hingga permasalahan tanah dari kepemilikan ulayat adat sampai BPN. Saya meyakini Om Imam memiliki landscape yang lebih luas perihal permasalahan ini. Keyakinan itu pula yang membawa saya kepada pertanyaan : bagaimana jika novel ini disajikan dalam konteks konservasi alam? Atau konflik-konflik mengenai pelanggaran batas eksploitasi?. Entahlah, Om Imam lebih menguasainya dalam hal ini. Sepertinya, Harun yang “lurus” harus lebih banyak mendapatkan tantangan dan godaan lebih besar dan beragam.

Terakhir, kita beri konteksi romansa untuk novel ini. Risfa, Kiki Veronica, Wilda, Jelita, Upik dan Luna adalah bunga rampai kisah kasih Harun. Menggelitik pertanyaan saya, apakah Kiki dan Wilda adalah orang yang sama? Seperti halnya, apakah Harun dan Om Imam adalah sosok yang sama? Sama-sama flamboyan atau minimal seperti Tirto Adi Soerya dengan Minke.

Kembali ke Harun dan romantikanya. Risfa sudah dapat ditebak dari awal akan tereliminasi. Hal itu disebabkan karena Risfa bukan berasal dari daerah sekitar Batang hari dan tidak kuat dengan LDR (long distance relationship). Kiki dan atau Wilda memang sengaja dipersiapkan untuk membuka konflik antara Harun dengan Jelita. Jelita yang seolah ditempatkan sebagai sosok sentral, malah justeri digantikan secepat kilat oleh Luna. Tragisnya, Upik hanya dihadirkan untuk membantu “penyingkiran” Jelita. Intinya, saya melihat ini tidak terlalu kuat untuk dijadikan tema utama. Apalagi jika merujuk pada kelas-kelas wanita (baca: perempuan) beserta kriterianya menurut Harun, berdasarkan asumsi jika wanita itu mahal dan hukum plus-minus.

Dalam persfektif lain, mungkin saja Om Imam bukan mau menyajikan perihal kepada siapa hati Harun berlabuh pada akhirnya. Dalam persfektif ini, bisa saja Om Imam ingin menyuguhkan sosok Harusn dalam balutan emosi dan psikologisnya. Harun yang berada ditengah hutan beserta berbagai tekanan pekerjaan, ditambah pula ditinggalkan begitu saja oleh kekasihnya diambang rencana pernikahan mereka. Sosok Harun yang kesepian, yang membutuhkan perhatian. Pertemuannya dengan Jelita, didorong oleh kesepian dan kebutuhan akan perhatian, membuat Harun seakan-akan yakin inilah cinta yang layak untuk diperjuangkan. Hingga pada titik balik ketika pertemuan Harun dengan Ridho. Ridho mengatakan kepada Harun jika Jelita itu labil dan sering marah tanpa alasan. Pada titik inilah, menurut saya, Harun merenungkan kembali arti Jelita bagi dirinya. Apakah Jelita yang labil dan sering marah tanpa alasan adalah sosok yang tepat bagi dirinya yang kesepian dan butuh perhatian?. Sampailah pada upaya “menyingkirkan” Jelita dengan mendekatkan kembali Ridho. Seiring semuanya mereda, situasi membaik, ternyata sosok yang dibutuhkan Harun ada pada Luna. Persfektif ini, mungkin Om Imam mau mengatakan kepada kita jika cinta itu bukan gelora yang menggebu-gebu, tetapi seperti aliran sungai yang tenang, dalam dan tak pernah kering, seperti Batang Hari.

Aris Munandar. Pegiat di Matahari Pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"