Rabu, 26 September 2018

LITERASI BUDAYA-KEWARGAAN DAN PANCASILA (Seri 7)



Masa depan adalah milik para pemuda.  Dalam konteks kekinian, masa depan merupakan miliknya para millenial. Mereka disebut-sebut sebagai digital natives.

Harus kita akui jika banyak para pemilik masa depan tersebut masih terjebak bersama kebingungan-kebingungannya dalam era internet of things dewasa ini.

Belum lagi sikap hiper-reaktif para orangtua dalam menangani interaksi anak-anaknya dengan dunia maya. Sering kali kita diperlihatkan dengan kegagalan pemahaman mereka terhadap fenomena mutakhir. Hal tersebut justeru memperparah kondisi ini.

Inang Winarso (2017) memberikan gambaran secara lugas mengenai mengenai para millenial dalam kaitan perubahan sistem politik dan ekonomi global, dimana mereka dalam posisi tidak berdaya. Para millenial ini hanya dihitung sebagai angka-angka statistik, lalu dibiarkan tumbuh bersama “pasar”. Mereka menjadi santapan lezat para pemilik modal melalui rayuan modernitas sebagai identitas anak gaul dan kekinian. Dalam kesehariannya, mereka sepenuhnya dikepung oleh ilusi. Mereka dicetak seragam oleh trend sejenis tiap tahun.

Secara terus-menerus, menurut penjelasan Inang Winarso selanjutnya, para millenial dibuatkan trens setter dimanapun berada. Belum lagi habis trend Korean style, sudah dipersiapkan Turki style. Ketika android masih trendy, mungkin sekarang para konlomerat sedang merancang trend post android. Remaja digiring pada perjalanan suci yang patut disemangati dan didoakan agar benar-benar tercapai tujuannya, yakni ambisi untuk menikmati semua hal yang trendy. Ambisi tersebut dimaknai sebagai pemenuhan hasrat manusia.

Jika demikian, bonus demografi yang akan diperoleh oleh Bangsa Indonesia apakah masih bisa dimaknai sebagai suatu anugerah? Ataukah bonus demografi tersebut hanya serupa gerombolan domba dipadang rumput pasar bebas dan atau globalisasi yang bukan hanya akan melahirkan neo liberalisme, namun juga pada ujungnya akan melahirkan neo imprealisme?.

Demografi, teknologi, dan sumber daya merupakan variabel utama bersama 6 (enam) variabel kehidupan lainnya (yaitu : lateral pressure, internal pressure, international conflict, domestic conflict, military force, dan trade).

Penggunaan teknologi secara konsumtif ditengah bonus demografi hanya akan menggerus sumber daya yang kita miliki. Hal ini akan menciptkan internal stress. Internal stress yang berkelanjutan akan memicu domestic conflict. Apabila meluas, tentu saja akan mengancam ketahanan negara.
Lalu, bagaimanakah supaya teknologi ini dapat digunakan secara produktif?.

Menurut The Future Jobs Report terdapat 3 keterampilan utama yang harus dimiliki dalam menghadapi revolusi industri keempat sebagai masa depan bagi remaja saat ini, yaitu : complex problem solving, berpikir kritis dan kreatifitas. Para millenial wajib memiliki ketiga keterampilan tersebut sebagai bekal menghadapi tantangannya. Lebih dari itu, dalam menghadapi masa depan yang sangat dinamis, mereka tidak cukup dengan dibekali kompetensi tadi. Dalam memaknai eksistensinya, para millenial juga harus memiliki nilai-nilai religius, nasionalis, mandiri serta gotong-royong dan nilai-nilai tersebut harus dijadikan sebagai konsep diri yang ajeg. Tidak kalah penting juga, sebagai jangkar agar tidak terombang-ambing gelombang di tengah samudera globalisasi, mereka harus memiliki kualitas diri berupa integritas.

Teknologi (sains dan digital), problem solving, berpikir kritis, dan kreatifitas sudah dibahas ketika pembicaraan bidang literasi sebelumnya. Sedangkan nilai-nilai religius, nasionalis, mandiri, gotong-royong, dan integritas sebenarnya sudah termaktub dalam Pancasila. Dalam arti, Pancasila sebagai sumber nilai.

Pancasila sebagai sumber nilai memiliki dimensi fleksibilitas, realitas, dan idealitas. Hal tersebut memungkinkan bagi kita untuk tetap menjadikan Pancasila relevan dan kontekstual. Bagaimana caranya?.

Literasi budaya merupakan kemampuan dalam memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa. Dalam hal ini, Pancasila sebagai jatidiri bangsa Indonesia.

Literasi kewargaan adalah kemampuan dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara. Disini kedududkan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.

Untuk itu, penghayatan dan pengamalan Pancasila dapat dimaknai sebagai internalisasi parsitipasif dan inklusivitas.




Aris Munandar. Pegiat di Matahari Pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"