Masa depan adalah milik para pemuda. Dalam konteks kekinian, masa depan merupakan
miliknya para millenial. Mereka disebut-sebut sebagai digital natives.
Harus kita akui jika banyak para
pemilik masa depan tersebut masih terjebak bersama kebingungan-kebingungannya
dalam era internet of things dewasa
ini.
Belum lagi sikap hiper-reaktif para
orangtua dalam menangani interaksi anak-anaknya dengan dunia maya. Sering kali
kita diperlihatkan dengan kegagalan pemahaman mereka terhadap fenomena mutakhir.
Hal tersebut justeru memperparah kondisi ini.
Inang Winarso (2017) memberikan
gambaran secara lugas mengenai mengenai para millenial dalam kaitan perubahan
sistem politik dan ekonomi global, dimana mereka dalam posisi tidak berdaya. Para
millenial ini hanya dihitung sebagai angka-angka statistik, lalu dibiarkan
tumbuh bersama “pasar”. Mereka menjadi santapan lezat para pemilik modal
melalui rayuan modernitas sebagai identitas anak gaul dan kekinian. Dalam
kesehariannya, mereka sepenuhnya dikepung oleh ilusi. Mereka dicetak seragam
oleh trend sejenis tiap tahun.
Secara terus-menerus, menurut
penjelasan Inang Winarso selanjutnya, para millenial dibuatkan trens setter
dimanapun berada. Belum lagi habis trend Korean style, sudah dipersiapkan Turki
style. Ketika android masih trendy, mungkin sekarang para konlomerat sedang
merancang trend post android. Remaja digiring pada perjalanan suci yang patut
disemangati dan didoakan agar benar-benar tercapai tujuannya, yakni ambisi
untuk menikmati semua hal yang trendy. Ambisi tersebut dimaknai sebagai
pemenuhan hasrat manusia.
Jika demikian, bonus demografi yang
akan diperoleh oleh Bangsa Indonesia apakah masih bisa dimaknai sebagai suatu
anugerah? Ataukah bonus demografi tersebut hanya serupa gerombolan domba
dipadang rumput pasar bebas dan atau globalisasi yang bukan hanya akan
melahirkan neo liberalisme, namun juga pada ujungnya akan melahirkan neo
imprealisme?.
Demografi, teknologi, dan sumber daya
merupakan variabel utama bersama 6 (enam) variabel kehidupan lainnya (yaitu : lateral pressure, internal pressure, international
conflict, domestic conflict, military force, dan trade).
Penggunaan teknologi secara konsumtif
ditengah bonus demografi hanya akan menggerus sumber daya yang kita miliki. Hal
ini akan menciptkan internal stress. Internal stress yang berkelanjutan akan
memicu domestic conflict. Apabila meluas,
tentu saja akan mengancam ketahanan negara.
Lalu, bagaimanakah supaya teknologi
ini dapat digunakan secara produktif?.
Menurut The Future Jobs Report terdapat 3 keterampilan utama yang harus
dimiliki dalam menghadapi revolusi industri keempat sebagai masa depan bagi
remaja saat ini, yaitu : complex problem
solving, berpikir kritis dan kreatifitas. Para millenial wajib memiliki
ketiga keterampilan tersebut sebagai bekal menghadapi tantangannya. Lebih dari
itu, dalam menghadapi masa depan yang sangat dinamis, mereka tidak cukup dengan
dibekali kompetensi tadi. Dalam memaknai eksistensinya, para millenial juga
harus memiliki nilai-nilai religius, nasionalis, mandiri serta gotong-royong
dan nilai-nilai tersebut harus dijadikan sebagai konsep diri yang ajeg. Tidak
kalah penting juga, sebagai jangkar agar tidak terombang-ambing gelombang di
tengah samudera globalisasi, mereka harus memiliki kualitas diri berupa
integritas.
Teknologi (sains dan digital), problem
solving, berpikir kritis, dan kreatifitas sudah dibahas ketika pembicaraan bidang
literasi sebelumnya. Sedangkan nilai-nilai religius, nasionalis, mandiri,
gotong-royong, dan integritas sebenarnya sudah termaktub dalam Pancasila. Dalam
arti, Pancasila sebagai sumber nilai.
Pancasila sebagai sumber nilai
memiliki dimensi fleksibilitas, realitas, dan idealitas. Hal tersebut
memungkinkan bagi kita untuk tetap menjadikan Pancasila relevan dan
kontekstual. Bagaimana caranya?.
Literasi budaya merupakan kemampuan dalam
memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa. Dalam
hal ini, Pancasila sebagai jatidiri bangsa Indonesia.
Literasi kewargaan adalah kemampuan
dalam memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara. Disini kedududkan
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.
Untuk itu, penghayatan dan pengamalan
Pancasila dapat dimaknai sebagai internalisasi parsitipasif dan inklusivitas.
Aris Munandar. Pegiat di Matahari
Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar