Selasa, 25 September 2018

LITERASI FINANSIAL, KOPERASI, DAN INTEGRITAS (Seri 6)



Bertahan hidup (survive mechanism) merupakan suatu kecenderungan dasar manusia. Pada banyak kasus, kecenderungan tersebut seringkali berlebihan. Kecenderungan yang berlebihan akan menjerumuskan kita pada ketamakan. Inilah yang menjadi musuh terbesar umat manusia. Bung Hatta pernah mengingatkan seperti ini : “Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun, tidak jujur itu sulit diperbaiki”.

Untuk dapat tercipta keadilan sosial, maka Bung Hatta menjadikan koperasi sebagai badan usaha dan diproyeksikan menjadi sokoguru perekonomian bangsa. Namun, kini karena ketidak-jujuran tersebutlah koperasi menjadi terpuruk. Bukan saja tidak menjadi pilihan utama sebagai badan usaha, melainkan citra buruk yang kadung melekat kuat.

Potret realitas saat ini menunjukan koperasi identik dengan keprihatinan dan minat masyarakat sangat kurang menggunakan lembaga koperasi.  Hal ini disebabkan oleh banyaknya penyalahgunaan lembaga koperasi oleh orang atau kelompok tertentu (pseudo koperasi) yang menyebabkan citra koperasi menjadi buruk. Diantaranya adalah penggunaan koperasi untuk praktik peminjaman uang berbunga tinggi (lintah darat). Selain itu, pengelolaan koperasi yang seharusnya didasarkan pada kedaulatan anggotanya menjadi seperti pengelolaan korporasi yang dikuasai pengurusnya saja. Lalu bagaimana supaya literasi dapat mengembalikan paradigma koperasi sesuai jatidirinya?.

Disini kita harus menggunakan pemahaman literasi sebagai transformasi sosial, yakni sebagai praktik baik dalam konteks finansial. Mengintegrasikan gerakan literasi finansial kedalam wadah koperasi dapat menanggulangi permasalahan-permasalahan klasik yang sering dihadapi selama ini, yaitu permodalan dan kualitas sumber daya manusia (SDM). Kuncinya disini terletak pada tata kelola keuangan dan SDM. Pada awal pembentukan, pengurus koperasi harus bisa bertindak sebagai fasilitator bagi anggotanya. Pengurus harus dapat mendidik, memberdayakan, memperkaya dan mencerahkan anggotanya melalui proses literasi finansial bagi para anggotanya. Misalnya, bagaimana mengajarkan para anggota bisa membaca dan menggunakan laporan keuangan sebagai rujukan dalam mengambil keputusan bisnis, mengetahui dampak atas keputusan-keputusan bisnis yang diambil, serta dapat mengevaluasi dan membuat rencana bisnis untuk kedepannya.

Penerapan prinsip-prinsip tata kelola usaha yang baik mutlak dilakukan karena koperasi pada dasarnya mengelola dana anggota. Ada 3 jenis dana yang dikumpulkan oleh koperasi dari para anggotanya, yaitu : simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela. Dana tesebut bisa digunakan oleh koperasi untuk modal dalam menjalankan usahanya. Dalam perkembangannya nanti, dari akumulasi modal dapat digunakan juga sebagai pinjaman bagi anggotanya untuk melakukan usaha mandiri. Disini koperasi dapat berfungsi juga mencetak wirausaha-wirausaha baru.

Mendorongnya untuk menjadi wirausaha sangat positif bagi bangsa Indonesia untuk memenuhi syarat minimal untuk menjadi negara maju, yaitu kita membutuhkan wirausaha sebanyak 2% dari jumlah penduduk kita. Seperti diberitakan kompas.com pada tanggal 30 Maret 2016, Global Entrepreneurship Monitor (GEM) menyebutkan jumlah wirausaha yang kita miliki baru sebesar 1,65% dari jumlah penduduk. Kita masih tertinggal dari Singapura yang memiliki wirausaha 7%, Malaysia memiliki wirausaha 5% dan Thailand memiliki 3% wirausaha dari jumlah penduduknya. Apalagi jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Jepang yang sudah memiliki lebih dari 10% wirausaha dari jumlah penduduk mereka.

Sejak krisis ekonomi tahun 1998, banyak kita yang tergugah jiwa kewirausahaannya. Dalam perkembangannya kini, era IoT membentuk karakter perubahan pada abad ke-21 : Cepat, Mengejutkan, Memindahkan (Kasali, 2017).

Salah satu yang dipromosikan oleh para wirausahawan milenials ini (para pelaku startup) adalah konsep sharing economy. Seperti yang dikatakan oleh Rhenald Kasali  (2017) bahwa terjadi perpindahan konsumen dari pasar konvensional ke digital marketplace. Begitu pun prinsip gotong royong ekonomi dalam koperasi hendaknya dapat ditransformasikan juga menjadi konsep sharing economy yang berkeadilan (mewujudkan kesejahteraan bersama).

Tugas berat literasi semakin bertambah ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa 40% masyarakat Indonesia berada dalam kelompok ekonomi terbawah (www.worldbank.org/indonesia). Mereka rentan terhadapan jeratan rantai kemiskinan. Kehilangan pekerjaan, gagal panen, dan jatuh sakit bisa menjerumuskan mereka kedalam jurang kemiskinan.

Literasi sebagai kunci pengetahuan harus bisa membuka ruang persamaan kesempatan. Sharing economy dengan penerapan prinsip-prinsip koperasi, seperti yang dimaksudkan oleh Bung Hatta, harus mulai dikembangkan oleh para pegiat literasi.

Persamaan kesempatan tersebut juga, dalam konteks koperasi, harus memastikan persamaan pendistribusian hasil usaha. Karena penyimpangan hanya memberikan ruang subur bagi ketamakan. Disinilah integritas akan teruji.

Dalam hal ini, integritas merupakan berjalannya usaha dan pengawasan bersama. Dengan kata lain adalah penerapan prinsip-prinsip tata kelola usaha yang baik (good corporate governance), yaitu : transparan, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan keadilan.




Aris Munandar. Pegiat di Matahari Pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"