Bertahan hidup (survive mechanism) merupakan suatu kecenderungan dasar manusia.
Pada banyak kasus, kecenderungan tersebut seringkali berlebihan. Kecenderungan
yang berlebihan akan menjerumuskan kita pada ketamakan. Inilah yang menjadi
musuh terbesar umat manusia. Bung Hatta pernah mengingatkan seperti ini :
“Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan
dengan pengalaman. Namun, tidak jujur itu sulit diperbaiki”.
Untuk dapat tercipta keadilan sosial,
maka Bung Hatta menjadikan koperasi sebagai badan usaha dan diproyeksikan
menjadi sokoguru perekonomian bangsa. Namun, kini karena ketidak-jujuran
tersebutlah koperasi menjadi terpuruk. Bukan saja tidak menjadi pilihan utama
sebagai badan usaha, melainkan citra buruk yang kadung melekat kuat.
Potret realitas saat ini menunjukan
koperasi identik dengan keprihatinan dan minat masyarakat sangat kurang
menggunakan lembaga koperasi. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya penyalahgunaan lembaga koperasi oleh orang atau
kelompok tertentu (pseudo koperasi)
yang menyebabkan citra koperasi menjadi buruk. Diantaranya adalah penggunaan
koperasi untuk praktik peminjaman uang berbunga tinggi (lintah darat). Selain
itu, pengelolaan koperasi yang seharusnya didasarkan pada kedaulatan anggotanya
menjadi seperti pengelolaan korporasi yang dikuasai pengurusnya saja. Lalu
bagaimana supaya literasi dapat mengembalikan paradigma koperasi sesuai
jatidirinya?.
Disini kita harus menggunakan
pemahaman literasi sebagai transformasi sosial, yakni sebagai praktik baik
dalam konteks finansial. Mengintegrasikan gerakan literasi finansial kedalam
wadah koperasi dapat menanggulangi permasalahan-permasalahan klasik yang sering
dihadapi selama ini, yaitu permodalan dan kualitas sumber daya manusia (SDM).
Kuncinya disini terletak pada tata kelola keuangan dan SDM. Pada awal
pembentukan, pengurus koperasi harus bisa bertindak sebagai fasilitator bagi
anggotanya. Pengurus harus dapat mendidik, memberdayakan, memperkaya dan
mencerahkan anggotanya melalui proses literasi finansial bagi para anggotanya.
Misalnya, bagaimana mengajarkan para anggota bisa membaca dan menggunakan
laporan keuangan sebagai rujukan dalam mengambil keputusan bisnis, mengetahui
dampak atas keputusan-keputusan bisnis yang diambil, serta dapat mengevaluasi
dan membuat rencana bisnis untuk kedepannya.
Penerapan prinsip-prinsip tata kelola
usaha yang baik mutlak dilakukan karena koperasi pada dasarnya mengelola dana
anggota. Ada 3 jenis dana yang dikumpulkan oleh koperasi dari para anggotanya,
yaitu : simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela. Dana tesebut bisa
digunakan oleh koperasi untuk modal dalam menjalankan usahanya. Dalam
perkembangannya nanti, dari akumulasi modal dapat digunakan juga sebagai
pinjaman bagi anggotanya untuk melakukan usaha mandiri. Disini koperasi dapat
berfungsi juga mencetak wirausaha-wirausaha baru.
Mendorongnya untuk menjadi wirausaha
sangat positif bagi bangsa Indonesia untuk memenuhi syarat minimal untuk
menjadi negara maju, yaitu kita membutuhkan wirausaha sebanyak 2% dari jumlah
penduduk kita. Seperti diberitakan kompas.com pada tanggal 30 Maret 2016, Global Entrepreneurship Monitor (GEM)
menyebutkan jumlah wirausaha yang kita miliki baru sebesar 1,65% dari jumlah
penduduk. Kita masih tertinggal dari Singapura yang memiliki wirausaha 7%,
Malaysia memiliki wirausaha 5% dan Thailand memiliki 3% wirausaha dari jumlah
penduduknya. Apalagi jika dibandingkan dengan Amerika Serikat dan Jepang yang
sudah memiliki lebih dari 10% wirausaha dari jumlah penduduk mereka.
Sejak krisis ekonomi tahun 1998,
banyak kita yang tergugah jiwa kewirausahaannya. Dalam perkembangannya kini,
era IoT membentuk karakter perubahan pada abad ke-21 : Cepat, Mengejutkan,
Memindahkan (Kasali, 2017).
Salah satu yang dipromosikan oleh para
wirausahawan milenials ini (para
pelaku startup) adalah konsep sharing
economy. Seperti yang dikatakan oleh Rhenald Kasali (2017) bahwa terjadi perpindahan konsumen
dari pasar konvensional ke digital
marketplace. Begitu pun prinsip gotong royong ekonomi dalam koperasi
hendaknya dapat ditransformasikan juga menjadi konsep sharing economy yang berkeadilan (mewujudkan kesejahteraan
bersama).
Tugas berat literasi semakin bertambah
ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa 40% masyarakat Indonesia berada dalam
kelompok ekonomi terbawah (www.worldbank.org/indonesia).
Mereka rentan terhadapan jeratan rantai kemiskinan. Kehilangan pekerjaan, gagal
panen, dan jatuh sakit bisa menjerumuskan mereka kedalam jurang kemiskinan.
Literasi sebagai kunci pengetahuan
harus bisa membuka ruang persamaan kesempatan. Sharing economy dengan penerapan prinsip-prinsip koperasi, seperti
yang dimaksudkan oleh Bung Hatta, harus mulai dikembangkan oleh para pegiat
literasi.
Persamaan kesempatan tersebut juga,
dalam konteks koperasi, harus memastikan persamaan pendistribusian hasil usaha.
Karena penyimpangan hanya memberikan ruang subur bagi ketamakan. Disinilah integritas
akan teruji.
Dalam hal ini, integritas merupakan
berjalannya usaha dan pengawasan bersama. Dengan kata lain adalah penerapan
prinsip-prinsip tata kelola usaha yang baik (good corporate governance), yaitu : transparan, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi dan keadilan.
Aris Munandar. Pegiat di Matahari
Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar