Sabtu, 23 Februari 2019

BERBAGI RESEP RAHASIA MENDONGENG



Senyum sapa anak-anak menyambutnya. Belum sepatah kata pun terucap anak-anak sudah tertawa. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka, tetapi yang jelas anak-anak tampak senang. Tak jarang, tanpa dikomando mereka bergerak maju, duduk paling depan, seakan tak ingin kehilangan satu penggal pun cerita yang akan dikisahkan pendongeng.

Saat dongeng berlangsung, imajinasi anak pun mulai bekerja. Boleh jadi, antara anak yang satu dengan anak yang lain berbeda dalam membayangkan tokoh dan latar ceritanya. Seperti halnya saat kita mendengarkan sandiwara radio “Saur Sepuh” karya Niki Kosasih yang sempat melegenda pada era 80 –an.  Walaupun Brama Kumbara yang diceritakan itu sama, setiap pendengarnya memiliki gambarannya sendiri terhadap sosok Raja  Madangkara tersebut.

Mendengarkan dongeng dapat menumbuhkembangkan imajinasi anak. Imajinasi sangat penting bagi anak karena dengan imajinasi anak-anak dapat belajar berpikir secara kreatif, lebih percaya diri, dan dapat menciptakan karya-karya yang inovatif. Tatkala Einstein menemukan rumus E=mc2, tidakkah dia mengimajikan variabel-variabel itu dalam pikirannya? Ketika Newton tiba-tiba menyadari teori gravitasinya karena melihat buah apel jatuh ke tanah, tidakkah dia mencitrakan sesuatu dalam bayangannya? Imajinasi akan “imaji” sesungguhnya yang telah melahirkan kedua teori besar tersebut.

Mendongeng tak sekadar menstimulasi imajinasi anak, tetapi juga dapat membangun kelekatan  antara anak dengan sang pendongengnya. Oleh karena itu, tak heran pasca mendongeng anak-anak berasa akrab dengan kita. Tak jarang anak-anak minta difoto, digendong, bahkan adakalanya mereka sembunyikan sepatu sang pendongeng agar tak boleh cepat-cepat pulang.  

Terjalinnya kelekatan ini bukan tanpa sebab. Mendongeng bukan semata-mata mengisahkan cerita, melainkan terkandung di dalamnya energi cinta yang memancar secara tulus dari pendongengnya yang menembus hati setiap anak yang menyimaknya. Sinyal-sinyal ketulusan inilah yang mereka temukan yang mungkin sudah jarang mereka jumpai. Dapat dibayangkan seandainya yang mendongeng itu adalah orang tuanya sendiri. Pastilah akan makin terjalin hubungan batin yang takkan terpisahkan oleh ruang dan waktu.

Ikatan batin yang kuat membuat anak merasa nyaman dan memercayai kita. Atas dasar rasa nyaman dan kepercayaan inilah anak akan dengan senang hati menerima nilai-nilai karakter yang terkandung dalam cerita. Nilai-nilai tersebut akan tertanam kuat di dalam alam bawah sadarnya.

Lalu, hal penting apakah yang perlu dilakukan oleh pendongeng agar cerita yang dikisahkan dapat menstimulasi imajinasi, melekatkan emosi, dan menanamkan nilai-nilai karakter? Tentu, banyak faktor yang memengaruhinya. Paling tidak, pada kesempatan ini akan dibeberkan lima resep rahasia yang wajib dikuasai.


Cerita yang Menarik

Bahan dasar mendongeng adalah cerita. Cerita yang menarik akan mampu menstimulasi imajinasi anak, menggugah perasaan, membuat penasaran, menambah pengetahuan, dan menangkap nilai-nilai karakter yang terkandung dalam cerita. Oleh karena itu, dalam menyusun cerita, penokohan, alur, latar, amanat, dan unsur instrinsik cerita lainnya harus diperhatikan.

Penokohan yang baik tentu memudahkan anak dalam mengimajinasikan tokoh yang didengarnya. Agar nama dan watak tokoh mudah diingat, maka sebaiknya digunakan nama yang unik, tetapi mudah dalam pengucapannya, serta sifat dan fisik yang berbeda dari tokoh-tokoh cerita lainnya. Tokoh tidaklah selalu berupa binatang, dapat pula tokoh-tokoh yang lain seperti manusia, tumbuhan, angin, awan, matahari, atau makhluk luar angkasa.

Keberadaan tokoh-tokoh cerita ini jika disampaikan secara apa adanya tentu tidaklah menarik. Agar membuat penasaran, maka perlu dirancang sebuah alur yang mengandung konflik, tegangan, kejutan dan plausibilitas.  Makin tinggi jenjang pendidikan usia penyimaknya, tentu alur perlu dibuat makin menegangkan dengan kejadian-kejadian yang tidak terduga.

Tentu saja, semenarik apa pun alurnya jika tidak didukung latar akan terasa tidak logis. Keberadaan latar ini penting agar cerita tampak nyata. Bahkan, sebaiknya dongeng dimulai dengan terlebih dahulu menceritakan suasana dan keadaan latar cerita. Berilah kesempatan anak untuk memahami di mana kejadiannya, kapan terjadi, dan dalam suasana seperti apa. Biarkan anak membayangkan latarnya, barulah dikenalkan tokoh serta alurnya. Hanya saja, kita tidak perlu mengawalinya dengan frasa pada suatu hari....Frasa ini sudah cukup sering ditulis sehingga perlu daya ungkap yang lain.

Tak kalah penting adalah bagaimana amanat disampaikan. Apakah disampaikan secara tersurat atau tersirat? Apakah diletakkan pada bagian resolusi atau koda? Semua tergantung dari segmen usia penyimaknya. Untuk anak-anak usia dini hingga sepuluh tahun sebaiknya amanat disampaikan secara terang benderang, baik lewat tokoh maupun narasi cerita, terutama bagian koda (akhir cerita).

Agar kandungan cerita ini berbobot maka suka atau tidak suka, seorang pendongeng harus gemar membaca, terutama berkaitan dengan cerita yang akan disusun. Misalnya, pendongeng ingin mendongengkan tokoh elang, maka pendongeng harus memiliki referensi yang cukup berkaitan dengan kehidupan elang. Dengan demikian, anak-anak tidak sekadar diasupi nilai-nilai kehidupan, tetapi juga pengetahuan.

Untuk memudahkan menyusun cerita, sebaiknya dibuat story map atau pemetaan cerita. Misalnya kita tentukan terlebih dahulu tema cerita, segmen pendengar (anak-anak, remaja, atau dewasa), amanat (pesan nilai yang ingin disampaikan), karakter tokoh utama secara detail, alur cerita (mulai orientasi sampai koda), dan latar (waktu, tempat, suasana), Selanjutnya, dibuat sinopsis cerita hingga menjadi karangan yang utuh.

Di negeri tercinta ini terhampar beragam cerita rakyat, baik berupa mitos, legenda, ephos, maupun fabel. Hal ini didukung pula oleh situs-situs bersejarah yang tentunya dapat menjadi sumber inspirasi cerita. Sayang sekali bukan, seandainya sumber-sumber cerita tersebut tidak kita tuliskan dan dongengkan? Pastilah dalam cerita rakyat tersebut terkandung nilai-nilai kearifan lokal yang boleh jadi masih berkaitan dengan zaman sekarang. Andai pun tidak, dapat kita daur ulang kembali ceritanya, norma-normanya dan disesuaikan dengan kondisi sekarang. Alangkah indahnya jika cerita-cerita tentang kampung kita sendiri dituliskan dan didongengkan.


Menghidupkan Cerita

Cerita hanyalah bahan dasar mendongeng. Tugas berikutnya adalah bagaimana cara menghidupkan cerita sehingga anak-anak atau peserta didik dapat merasakan, mengimajinasikan dan menyelami pesan-pesan cerita. Oleh karena itu, bahan dasar ini perlu diolah, diresapi, dan diperankan.

Mendongeng tidak sekadar membacakan cerita. Cerita itu harus dipelajari dengan saksama sehingga dapat menentukan pada bagian manakah kata-kata itu perlu mendapat aksentuasi, intonasi tinggi atau rendah, disampaikan dengan tempo yang cepat atau lambat?; pada adegan manakah diperlukan mimik gembira, sedih, takut, atau malu?; pada saat apakah perlu digunakan teknik muncul dan gerakan besar atau gerakan kecil?

Untuk menghidupkan cerita dapat dimulai dengan proses reading. Dengan kata lain, cerita tersebut harus kita baca secara berulang-ulang, baik pembacaan dengan heuristik maupun hermeneutik. Dengan demikian, pembacaan kita akan teks dongeng menjadi lebih bermakna.

Pemahaman terhadap teks dongeng sangat membantu kita dalam menghidupkan tokoh, latar, alur, serta saat kita menyampaikan amanat cerita. Untuk menunjang semua itu diperlukan juga kemampuan teknik pernapasan, vokal, olah tubuh dan olah rasa. Tentu saja, untuk menguasai teknik tersebut tidak cukup dilakukan sehari –dua hari.

Keberhasilan mendongeng bukanlah bakat bawaan, melainkan melalui proses latihan yang panjang. Sekalipun, seorang pendongeng profesional, ia akan melakukan latihan terlebih dahalu sebelum mendongeng di depan anak-anak.


Apa pun Dapat Menjadi Apa pun

Pada dasarnya dongeng merupakan cerita fantasi. Sebagai pendongeng, kita perlu menggunakan imajinasi kita. Prinsipmya dari apa pun dapat menjadi apa pun. Misalnya sebuah penghapus papan tulis dapat kita jadikan bus, pistol, atau tokoh cerita. Demikian pula, benda-benda di sekitar dapat kita jadikan alat peraga.

Alat-alat peraga tidak harus persis seperti aslinya. Misalnya saat kita mendongengkan tokoh kelinci, maka tidak perlulah kita menggunakan boneka kelinci, atau bahkan kelinci betulan. Alat peraga semacam itu justru akan mengurangi daya imajinasi anak. Imajinasi anak akan terbatasi pada obyek yang digunakan si pendongeng. Hal itu tak jauh berbeda dengan novel yang kita baca, lalu difilmkan dalam layar lebar. Sering kita merasa kecewa saat menonton filmnya. Ternyata jauh berbeda dengan yang kita imajinasikan.

Dengan demikian, tak perlu susah-susah jika ingin mendongeng. Gunakan benda-benda di sekitar sebagai alat peraga. Bahkan, tubuh kita pun merupakan alat peraga yang efektif. Tinggal bagaimana kita mengolah bahasa tubuh, ekspresi, dan suara.. Minimal jika kita tak mampu melakukan semua itu, cukuplah membacakan cerita, tetapi dengan menggunakan intonasi, aksentuasi, artikulasi, tempo, dan warna suara yang variatif.


Memahami Audience

Kegiatan mendongeng dapat ditujukan untuk personal maupun publik. Secara personal mendongeng dilakukan oleh orang tua kepada anaknya. Menjelang tidur anak biasanya minta dibacakan cerita. Inilah kesempatan kita mendongengi sang buah hati. Inilah peluang kita untuk menyelami perasaannya, memahami apa yang diresahkannya, membantu memecahkan persoalannya, seraya menanamkan nilai-nilai karakter. Dalam hal ini, mendongeng menjadi media yang efektif untuk membangun kehangatan orang tua dengan anaknya.

Tentu saja, tak harus selalu mengandalkan buku cerita (dongeng). Cerita dapat digali dari kehidupan sehari-hari yang kita alami. Pun tak harus selalu kita yang mendongengkannya, tetapi bisa saja sang buah hati yang mendongeng. Dari sinilah akan terjadi interaksi yang dalam antara orang tua dengan anaknya.

Akan tetapi, permasalahannya kadang kita tak sabar dalam menghadapi permintaan anak. Tak jarang anak meminta mengulang-ulang cerita yang sama, sementara kita menganggap hal itu sangat membosankan. Belum lagi jika tenaga-benar-benar telah terkuras habis, pelupuk mata terasa berat seperti ada lem yang merekatnya, maka waktu terindah bersama anak pun akan terlewatkan begitu saja. Oleh karena itu, mari kita tradisikan mendongeng. Setiap keluarga hendaknya menyisihkan waktunya secara khusus untuk mendongeng.

Secara teknis mendongeng untuk personal cukup sederhana. Tidak perlulah kita melakukan gerakan-gerakan yang besar, seperti berjalan, melebarkan tangan, dan gerakan yang aktraktif. Bahkan, volume suara pun lebih dipelankan sehingga tidak perlu berteriak. Yang penting suara kita terdengar dengan jelas. Bisa dilakukan sambil membelai-belai rambutnya, memangkunya, dan ungkapan kasih sayang lainnya. Yang dibutuhkan adalah kesabaran saat membacakan cerita dan sekaligus juga melayani permintaan atau pertanyaan sang buah hati. Pada kesempatan inilah kita dapat menegaskan kembali amanat cerita dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya.

Adapun, cara mendongeng untuk kepentingan publik, maka kita perlu mengetahui siapa yang akan kita dongengkan, dalam rangka apa, dan apa tujuan yang ingin dicapai. Informasi ini diperlukan agar yang kita dongengkan sesuai dengan harapan penyelenggara. Dengan kata lain, kita dapat menyelaraskan cerita dengan visi dan misi penyelenggara.

Untuk menunjang kesuksesan mendongeng, kita dapat ikut membantu panitia mengarahkan tata panggung, sarana yang dibutuhkan, mengecek mikrofon, dan posisi penonton. Jangan sampai terjadi, sasaran dongeng kita adalah anak-anak, tetapi yang duduk di depan justru para orang tua dan anak-anak malah duduk di deretan belakang. Agar kendala teknis ini tidak menganggu saat mendongeng, sebaiknya kita datang lebih awal dari waktu yang dijadwalkan.

Karena yang menyimak cerita cukup banyak dan tempatnya pun cukup luas, kita perlu bersuara yang lebih nyaring daripada saat mendongeng untuk personal. Gerakan dan ekspresi kita harus terlihat sampai penonton yang duduk paling belakang. Bila perlu, kita beri backsound agar suasana ceritanya makin terbangun.

Perlu diketahui bahwa tingkah polah anak bermacam-macam. Ada yang usil, tidak bisa diam, suka menangis, cari perhatian, dan serius. Kemampuan konsentrasinya pun berbeda-beda. Sebagaimana  yang dikutip dalam http;//lifestyle.kompas.com, rentang konsentrasi anak usia batita sekitar 7 – 9 menit, usia 3 -6 tahun sekitar 12 – 15 menit, dan usia 6 -12 tahun sekitar 30-45 menit.

Inilah tantangan kita untuk mengusahakan agar anak-anak tertarik mengikuti cerita yang kita dongengkan. Untuk itu perlu ketotalitasan ketika mendongeng sehingga andai pun ada anak yang usil atau menangis, perhatian mereka tetap pada pendongeng.

Demikianlah lima resep rahasia sebagai pendongeng. Kelima bumbu bercerita ini dapat dipelajari, dieksplorasi, dan ditemukan sendiri caranya. Namun, yang jauh lebih penting dari kelima hal tersebut adalah bagaimana mendekatkan hati kita kepada anak. Persoalan hati berkaitan dengan kemurnian niat, kebesaran jiwa, dan kelapangan berpikir. Mari kita asah batiniah kita agar menjadi peka dalam menangkap hidayah Tuhan, sabar dalam menghadapi segala tingkah polah anak, dan tumbuh kesadaran untuk membimbing anak dengan sepenuh hati.


KANG ACEP

Seorang lelaki setengah baya, berkacamata tebal dengan topi khasnya ini tinggal di sebuah rumah sederhana, dusun Krapyak Kulon RT 04, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Di rumahmya ini Kang Acep mengelola sebuah Taman Pendidikan Al- Quran yang sekaligus juga sebagai media anak-anak untuk mengekspresikan jiwa seninya.

Dalam dunia dongeng, alumnus sastra Indonesia UGM ini belajar secara khusus kepada Kak WeES Ibnoe Sayy pada tahun 1999. Sejak itulah Kang Acep berupaya mendongeng meskipun di tengah kesibukannya sebagai editor, penulis, dan guru bahasa Indonesia di SMPIT Abu Bakar.

Untuk menunjang kiprahnya ini Kang Acep bergabung dengan komunitas Rumah Dongeng Indonesia, Nusantara Bertutur, dan Geppuk. Beragam kota di Indonesia pun telah disinggahinya untuk menggerakkan budaya mendongeng, baik sebagai pendongeng, instruktur dongeng maupun juri. Cerita-cerita dongengnya dapat disimak melalui radio Rakosa 105,3 FM pada setiap hari Minggu, pukul 09.00-10.00 dan di youtube.

Peraih Juara 2 Nasional Penulisan buku bacaan SD (2018), juara 3 nasional penulisan buku pengayaan (2011) dan Guru Inspiratif Nasional 2015 ini memiliki moto hidup berkarya tanpa batas. Usia boleh bertambah tua dengan sarana yang terbatas, tetapi kita harus produktif berkarya. Lebih dari 30 buku yang telah diterbitkan, lima cerita anaknya dimuat di SKH Kompas, serta buku cerita anak yang akan terbit, yakni Cerita Superhero: Malahayati. 

1 komentar:

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"