Senyum sapa anak-anak menyambutnya. Belum sepatah kata
pun terucap anak-anak sudah tertawa. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka,
tetapi yang jelas anak-anak tampak senang. Tak jarang, tanpa dikomando mereka
bergerak maju, duduk paling depan, seakan tak ingin kehilangan satu penggal pun
cerita yang akan dikisahkan pendongeng.
Saat dongeng berlangsung, imajinasi anak pun mulai
bekerja. Boleh jadi, antara anak yang satu dengan anak yang lain berbeda dalam
membayangkan tokoh dan latar ceritanya. Seperti halnya saat kita mendengarkan
sandiwara radio “Saur Sepuh” karya Niki Kosasih yang sempat melegenda pada era 80
–an. Walaupun Brama Kumbara yang
diceritakan itu sama, setiap pendengarnya memiliki gambarannya sendiri terhadap
sosok Raja Madangkara tersebut.
Mendengarkan dongeng dapat menumbuhkembangkan imajinasi
anak. Imajinasi sangat penting bagi anak karena dengan imajinasi anak-anak
dapat belajar berpikir secara kreatif, lebih percaya diri, dan dapat menciptakan
karya-karya yang inovatif. Tatkala Einstein menemukan rumus E=mc2, tidakkah dia mengimajikan variabel-variabel itu dalam pikirannya? Ketika
Newton tiba-tiba menyadari teori gravitasinya karena melihat buah apel jatuh ke
tanah, tidakkah dia mencitrakan sesuatu dalam bayangannya? Imajinasi akan
“imaji” sesungguhnya yang telah melahirkan kedua teori besar tersebut.
Mendongeng tak sekadar menstimulasi imajinasi anak,
tetapi juga dapat membangun kelekatan
antara anak dengan sang pendongengnya. Oleh karena itu, tak heran pasca
mendongeng anak-anak berasa akrab dengan kita. Tak jarang anak-anak minta
difoto, digendong, bahkan adakalanya mereka sembunyikan sepatu sang pendongeng
agar tak boleh cepat-cepat pulang.
Terjalinnya kelekatan ini bukan tanpa sebab. Mendongeng bukan
semata-mata mengisahkan cerita, melainkan terkandung di dalamnya energi cinta
yang memancar secara tulus dari pendongengnya yang menembus hati setiap anak
yang menyimaknya. Sinyal-sinyal ketulusan inilah yang mereka temukan yang
mungkin sudah jarang mereka jumpai. Dapat dibayangkan seandainya yang
mendongeng itu adalah orang tuanya sendiri. Pastilah akan makin terjalin
hubungan batin yang takkan terpisahkan oleh ruang dan waktu.
Ikatan batin yang kuat membuat anak merasa nyaman dan
memercayai kita. Atas dasar rasa nyaman dan kepercayaan inilah anak akan dengan
senang hati menerima nilai-nilai karakter yang terkandung dalam cerita.
Nilai-nilai tersebut akan tertanam kuat di dalam alam bawah sadarnya.
Lalu, hal penting apakah yang perlu dilakukan oleh pendongeng
agar cerita yang dikisahkan dapat menstimulasi imajinasi, melekatkan emosi, dan
menanamkan nilai-nilai karakter? Tentu, banyak faktor yang memengaruhinya.
Paling tidak, pada kesempatan ini akan dibeberkan lima resep rahasia yang wajib
dikuasai.
Cerita yang Menarik
Bahan dasar mendongeng adalah cerita. Cerita yang menarik
akan mampu menstimulasi imajinasi anak, menggugah perasaan, membuat penasaran,
menambah pengetahuan, dan menangkap nilai-nilai karakter yang terkandung dalam
cerita. Oleh karena itu, dalam menyusun cerita, penokohan, alur, latar, amanat,
dan unsur instrinsik cerita lainnya harus diperhatikan.
Penokohan yang baik tentu memudahkan anak dalam
mengimajinasikan tokoh yang didengarnya. Agar nama dan watak tokoh mudah
diingat, maka sebaiknya digunakan nama yang unik, tetapi mudah dalam
pengucapannya, serta sifat dan fisik yang berbeda dari tokoh-tokoh cerita
lainnya. Tokoh tidaklah selalu berupa binatang, dapat pula tokoh-tokoh yang
lain seperti manusia, tumbuhan, angin, awan, matahari, atau makhluk luar
angkasa.
Keberadaan tokoh-tokoh cerita ini jika disampaikan secara
apa adanya tentu tidaklah menarik. Agar membuat penasaran, maka perlu dirancang
sebuah alur yang mengandung konflik, tegangan, kejutan dan plausibilitas. Makin tinggi jenjang pendidikan usia
penyimaknya, tentu alur perlu dibuat makin menegangkan dengan kejadian-kejadian
yang tidak terduga.
Tentu saja, semenarik apa pun alurnya jika tidak didukung
latar akan terasa tidak logis. Keberadaan latar ini penting agar cerita tampak
nyata. Bahkan, sebaiknya dongeng dimulai dengan terlebih dahulu menceritakan
suasana dan keadaan latar cerita. Berilah kesempatan anak untuk memahami di
mana kejadiannya, kapan terjadi, dan dalam suasana seperti apa. Biarkan anak
membayangkan latarnya, barulah dikenalkan tokoh serta alurnya. Hanya saja, kita
tidak perlu mengawalinya dengan frasa pada
suatu hari....Frasa ini sudah cukup sering ditulis sehingga perlu daya
ungkap yang lain.
Tak kalah penting adalah bagaimana amanat disampaikan.
Apakah disampaikan secara tersurat atau tersirat? Apakah diletakkan pada bagian
resolusi atau koda? Semua tergantung dari segmen usia penyimaknya. Untuk
anak-anak usia dini hingga sepuluh tahun sebaiknya amanat disampaikan secara
terang benderang, baik lewat tokoh maupun narasi cerita, terutama bagian koda
(akhir cerita).
Agar kandungan cerita ini berbobot maka suka atau tidak
suka, seorang pendongeng harus gemar membaca, terutama berkaitan dengan cerita
yang akan disusun. Misalnya, pendongeng ingin mendongengkan tokoh elang, maka
pendongeng harus memiliki referensi yang cukup berkaitan dengan kehidupan elang.
Dengan demikian, anak-anak tidak sekadar diasupi nilai-nilai kehidupan, tetapi
juga pengetahuan.
Untuk memudahkan menyusun cerita, sebaiknya dibuat story map atau pemetaan cerita. Misalnya
kita tentukan terlebih dahulu tema cerita, segmen pendengar (anak-anak, remaja,
atau dewasa), amanat (pesan nilai yang ingin disampaikan), karakter tokoh utama
secara detail, alur cerita (mulai orientasi sampai koda), dan latar (waktu,
tempat, suasana), Selanjutnya, dibuat sinopsis cerita hingga menjadi karangan
yang utuh.
Di negeri tercinta ini terhampar
beragam cerita rakyat, baik berupa mitos, legenda, ephos, maupun fabel. Hal ini
didukung pula oleh situs-situs bersejarah yang tentunya dapat menjadi sumber
inspirasi cerita. Sayang sekali bukan, seandainya sumber-sumber cerita tersebut
tidak kita tuliskan dan dongengkan? Pastilah dalam cerita rakyat tersebut
terkandung nilai-nilai kearifan lokal yang boleh jadi masih berkaitan dengan
zaman sekarang. Andai pun tidak, dapat kita daur ulang kembali ceritanya,
norma-normanya dan disesuaikan dengan kondisi sekarang. Alangkah indahnya jika
cerita-cerita tentang kampung kita sendiri dituliskan dan didongengkan.
Menghidupkan Cerita
Cerita hanyalah bahan dasar mendongeng. Tugas berikutnya
adalah bagaimana cara menghidupkan cerita sehingga anak-anak atau peserta didik
dapat merasakan, mengimajinasikan dan menyelami pesan-pesan cerita. Oleh karena
itu, bahan dasar ini perlu diolah, diresapi, dan diperankan.
Mendongeng tidak sekadar membacakan cerita. Cerita itu
harus dipelajari dengan saksama sehingga dapat menentukan pada bagian manakah
kata-kata itu perlu mendapat aksentuasi, intonasi tinggi atau rendah,
disampaikan dengan tempo yang cepat atau lambat?; pada adegan manakah diperlukan
mimik gembira, sedih, takut, atau malu?; pada saat apakah perlu digunakan
teknik muncul dan gerakan besar atau gerakan kecil?
Untuk menghidupkan cerita dapat dimulai dengan proses
reading. Dengan kata lain, cerita tersebut harus kita baca secara
berulang-ulang, baik pembacaan dengan heuristik maupun hermeneutik. Dengan
demikian, pembacaan kita akan teks dongeng menjadi lebih bermakna.
Pemahaman terhadap teks dongeng sangat membantu kita
dalam menghidupkan tokoh, latar, alur, serta saat kita menyampaikan amanat
cerita. Untuk menunjang semua itu diperlukan juga kemampuan teknik pernapasan,
vokal, olah tubuh dan olah rasa. Tentu saja, untuk menguasai teknik tersebut
tidak cukup dilakukan sehari –dua hari.
Keberhasilan mendongeng bukanlah bakat bawaan, melainkan
melalui proses latihan yang panjang. Sekalipun, seorang pendongeng profesional,
ia akan melakukan latihan terlebih dahalu sebelum mendongeng di depan
anak-anak.
Apa pun Dapat Menjadi Apa pun
Pada dasarnya dongeng merupakan cerita fantasi. Sebagai
pendongeng, kita perlu menggunakan imajinasi kita. Prinsipmya dari apa pun
dapat menjadi apa pun. Misalnya sebuah penghapus papan tulis dapat kita jadikan
bus, pistol, atau tokoh cerita. Demikian pula, benda-benda di sekitar dapat
kita jadikan alat peraga.
Alat-alat peraga tidak harus persis seperti aslinya.
Misalnya saat kita mendongengkan tokoh kelinci, maka tidak perlulah kita
menggunakan boneka kelinci, atau bahkan kelinci betulan. Alat peraga semacam
itu justru akan mengurangi daya imajinasi anak. Imajinasi anak akan terbatasi
pada obyek yang digunakan si pendongeng. Hal itu tak jauh berbeda dengan novel
yang kita baca, lalu difilmkan dalam layar lebar. Sering kita merasa kecewa
saat menonton filmnya. Ternyata jauh berbeda dengan yang kita imajinasikan.
Dengan demikian, tak perlu susah-susah jika ingin
mendongeng. Gunakan benda-benda di sekitar sebagai alat peraga. Bahkan, tubuh
kita pun merupakan alat peraga yang efektif. Tinggal bagaimana kita mengolah bahasa
tubuh, ekspresi, dan suara.. Minimal jika kita tak mampu melakukan semua itu,
cukuplah membacakan cerita, tetapi dengan menggunakan intonasi, aksentuasi,
artikulasi, tempo, dan warna suara yang variatif.
Memahami Audience
Kegiatan mendongeng dapat ditujukan untuk personal maupun
publik. Secara personal mendongeng dilakukan oleh orang tua kepada anaknya.
Menjelang tidur anak biasanya minta dibacakan cerita. Inilah kesempatan kita
mendongengi sang buah hati. Inilah peluang kita untuk menyelami perasaannya, memahami
apa yang diresahkannya, membantu memecahkan persoalannya, seraya menanamkan
nilai-nilai karakter. Dalam hal ini, mendongeng menjadi media yang efektif
untuk membangun kehangatan orang tua dengan anaknya.
Tentu saja, tak harus selalu mengandalkan buku cerita
(dongeng). Cerita dapat digali dari kehidupan sehari-hari yang kita alami. Pun
tak harus selalu kita yang mendongengkannya, tetapi bisa saja sang buah hati
yang mendongeng. Dari sinilah akan terjadi interaksi yang dalam antara orang
tua dengan anaknya.
Akan tetapi, permasalahannya kadang kita tak sabar dalam
menghadapi permintaan anak. Tak jarang anak meminta mengulang-ulang cerita yang
sama, sementara kita menganggap hal itu sangat membosankan. Belum lagi jika
tenaga-benar-benar telah terkuras habis, pelupuk mata terasa berat seperti ada
lem yang merekatnya, maka waktu terindah bersama anak pun akan terlewatkan
begitu saja. Oleh karena itu, mari kita tradisikan mendongeng. Setiap keluarga
hendaknya menyisihkan waktunya secara khusus untuk mendongeng.
Secara teknis mendongeng untuk personal cukup sederhana.
Tidak perlulah kita melakukan gerakan-gerakan yang besar, seperti berjalan,
melebarkan tangan, dan gerakan yang aktraktif. Bahkan, volume suara pun lebih
dipelankan sehingga tidak perlu berteriak. Yang penting suara kita terdengar
dengan jelas. Bisa dilakukan sambil membelai-belai rambutnya, memangkunya, dan
ungkapan kasih sayang lainnya. Yang dibutuhkan adalah kesabaran saat membacakan
cerita dan sekaligus juga melayani permintaan atau pertanyaan sang buah hati.
Pada kesempatan inilah kita dapat menegaskan kembali amanat cerita dan
pengetahuan yang terkandung di dalamnya.
Adapun, cara mendongeng untuk kepentingan publik, maka
kita perlu mengetahui siapa yang akan kita dongengkan, dalam rangka apa, dan apa
tujuan yang ingin dicapai. Informasi ini diperlukan agar yang kita dongengkan
sesuai dengan harapan penyelenggara. Dengan kata lain, kita dapat menyelaraskan
cerita dengan visi dan misi penyelenggara.
Untuk menunjang kesuksesan mendongeng, kita dapat ikut
membantu panitia mengarahkan tata panggung, sarana yang dibutuhkan, mengecek
mikrofon, dan posisi penonton. Jangan sampai terjadi, sasaran dongeng kita
adalah anak-anak, tetapi yang duduk di depan justru para orang tua dan
anak-anak malah duduk di deretan belakang. Agar kendala teknis ini tidak
menganggu saat mendongeng, sebaiknya kita datang lebih awal dari waktu yang
dijadwalkan.
Karena yang menyimak cerita cukup banyak dan tempatnya
pun cukup luas, kita perlu bersuara yang lebih nyaring daripada saat mendongeng
untuk personal. Gerakan dan ekspresi kita harus terlihat sampai penonton yang
duduk paling belakang. Bila perlu, kita beri backsound agar suasana ceritanya
makin terbangun.
Perlu diketahui bahwa tingkah polah anak bermacam-macam. Ada
yang usil, tidak bisa diam, suka menangis, cari perhatian, dan serius. Kemampuan
konsentrasinya pun berbeda-beda. Sebagaimana
yang dikutip dalam http;//lifestyle.kompas.com, rentang konsentrasi anak
usia batita sekitar 7 – 9 menit, usia 3 -6 tahun sekitar 12 – 15 menit, dan
usia 6 -12 tahun sekitar 30-45 menit.
Inilah tantangan kita untuk mengusahakan agar anak-anak
tertarik mengikuti cerita yang kita dongengkan. Untuk itu perlu ketotalitasan ketika
mendongeng sehingga andai pun ada anak yang usil atau menangis, perhatian
mereka tetap pada pendongeng.
Demikianlah lima resep rahasia sebagai pendongeng. Kelima
bumbu bercerita ini dapat dipelajari, dieksplorasi, dan ditemukan sendiri
caranya. Namun, yang jauh lebih penting dari kelima hal tersebut adalah bagaimana
mendekatkan hati kita kepada anak. Persoalan hati berkaitan dengan kemurnian
niat, kebesaran jiwa, dan kelapangan berpikir. Mari kita asah batiniah kita
agar menjadi peka dalam menangkap hidayah Tuhan, sabar dalam menghadapi segala
tingkah polah anak, dan tumbuh kesadaran untuk membimbing anak dengan sepenuh
hati.
KANG ACEP
Seorang lelaki setengah baya, berkacamata tebal dengan
topi khasnya ini tinggal di sebuah rumah sederhana, dusun Krapyak Kulon RT 04,
Panggungharjo, Sewon, Bantul. Di rumahmya ini Kang Acep mengelola sebuah Taman
Pendidikan Al- Quran yang sekaligus juga sebagai media anak-anak untuk
mengekspresikan jiwa seninya.
Dalam dunia dongeng, alumnus sastra Indonesia UGM ini
belajar secara khusus kepada Kak WeES Ibnoe Sayy pada tahun 1999. Sejak itulah
Kang Acep berupaya mendongeng meskipun di tengah kesibukannya sebagai editor,
penulis, dan guru bahasa Indonesia di SMPIT Abu Bakar.
Untuk menunjang kiprahnya ini Kang Acep bergabung dengan
komunitas Rumah Dongeng Indonesia, Nusantara Bertutur, dan Geppuk. Beragam kota
di Indonesia pun telah disinggahinya untuk menggerakkan budaya mendongeng, baik
sebagai pendongeng, instruktur dongeng maupun juri. Cerita-cerita dongengnya
dapat disimak melalui radio Rakosa 105,3 FM pada setiap hari Minggu, pukul
09.00-10.00 dan di youtube.
Peraih Juara 2 Nasional Penulisan buku bacaan
SD (2018), juara 3 nasional penulisan buku pengayaan (2011) dan Guru Inspiratif Nasional 2015 ini memiliki moto hidup berkarya tanpa
batas. Usia boleh bertambah tua dengan sarana yang terbatas, tetapi kita harus
produktif berkarya. Lebih dari 30 buku yang telah diterbitkan, lima cerita
anaknya dimuat di SKH Kompas, serta buku cerita
anak yang akan terbit, yakni Cerita Superhero: Malahayati.
Mantaaap. Bagi dong ilmunya heheh
BalasHapus