Dulu, bisakah kita membayangkan sebuah proyek
di Amerika Serikat atau Eropa Barat dikontrakkan kepada penduduk di Indonesia
atau India, tanpa mengharuskan si penerima kerja meninggalkan negaranya, bahkan
tanpa perlu meninggalkan tempat duduk di rumahnya? Bisakah kita membayangkan
sebuah karya tulis dihasilkan dan bisa dinikmati seluruh penduduk dunia dalam
hitungan detik setelah dipublikasikan? Entah kita seorang programmer komputer, perancang grafis, artis, penulis, akuntan,
konsultan, ilmuwan, atau profesional lainnya, globalisasi memungkinkan kita
menjual keterampilan kita kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja.
Rentetan keterangan di atas disebut globalisasi. Globalisasi bukanlah
sekedar istilah dalam dunia ekonomi atau politik saja, tetapi telah menyentuh
hidup semua orang. di satu sisi, membuka pintu partisipasi selebar-lebarnya
bagi setiap individu di pentas dunia, cukup adil bukan? Namun sepertihalnya
koin yang menghadirkan dua sisi berlawanan, begitu pula globalisasi, ada
bayangan gelap yang kerap menghantui individu yang belum siap, sehingga ketika
uluran tangan globalisasi datang dan kita tak siap, akan ada jutaan tangan
lainnya yang siap menyambut dan menggantikan posisi kita. Dalam konteks ini
kesiapan adalah kata kuncinya. Globalisasi memberikan peluang tanpa batas untuk
mereka yang siap, dan sebaliknya menggilas siapa saja yang kurang siap.
Jika revolusi generasi 1.0 (1750-1850)
kemunculan mesin menggantikan tenaga manusia dan hewan. Salah satunya adalah
kemunculan mesin uap pada abad ke-18, revolusi ini berhasil mengerek naik
perekonomian secara dramatis, bahkan selama dua abad setelah revolusi industri
terjadi peningkatan rata-rata pendapatan perkapita negara-negara di dunia
menjadi enam kali lipat. Kemudian revolusi industri 2.0 dikenal juga sebagai
revolusi teknologi, fase ini ditandai dengan kemunculan pembangkit tenaga
listrik dan motor pembakaran dalam (combustionchamber).
Penemuan ini memicu kemunculan pesawat telepon, mobil, pesawat terbang, dll
yang mengubah wajah dunia secara signifikan.
Lalu kemunculan teknologi digital dan
internet menandai dimulainya revolusi 3.0. revolusi ini menurut sosiolog
Inggris David Harvey sebagai proses pemampatan ruang dan waktu. Pada puncak
revolusi 3.0 ruang dan waktu tidak lagi berjarak, sebab era digital mengusung
sisi kekinian (real time). Lalu Pada
revolusi industri generasi 4.0, manusia telah menemukan pola baru ketika
disruptif teknologi (disruptivetechnology)
hadir begitu cepat dan mengancam. Era disrupsi nama lain dari revolusi industri
generasi 4.0, terjadi ketika suatu inovasi baru masuk ke pasar dan menciptakan
efek disrupsi yang cukup kuat sehingga mengubah struktur pasar sebelumnya.
Perubahan kini datang begitu cepat bukan lagi menggeser pasar lama, tak jarang
malah mematikan.
Nah, melihat kondisional ini rasanya kurang
adil jika kita hanya fokus pada kekhawatiran mengenai dampak buruk internet
saja, kernyataanya internet punya banyak pengaruh baik dalam kehidupan kita dan
kita memang sedang dipaksa berevolusi. Pada fase ini kita wajib adaptif
terhadap perubahan, membuka mata dan telinga kita lebar-lebar, bersiap dan
waspada. Jadi tanggung jawab kita sebagai orangtua tidak lagi fokus pada
menghalau dampak buruk saja, alih-alih membatasi anak dalam penggunaan
internet, peran orangtua lebih kepada pendampingan.
Lalu seperti apa pendampingan yang perlu kita
lakukan?
Sebagaimana kita yang harus siap dalam
menghadapi revolusi industri generasi 4.0, begitu pula anak kita, dan bayangkan
jika saat ini anak kita berusia enam tahun,dengan masa hidup yang masih
panjang, makin banyak pula lah revolusi yang harus mereka hadapi, maka jika
tidak dipesiapkan dari sekarang.. mereka akan jadi bagian dari individu yang
tidak siap di atas, dan lambat laun akan tergilas. Untuk itulah peran kita ada,
dalam mempesiapkan anak kita menghadapi berbagai kemungkinan, sehingga mereka
lentur, cekatan dan siap.
Semua itu perlu latihan, dan bagaimana bisa
kita menutup mata mereka, padahal disekelilingnya dunia berkempang pesat.
Satu-satunya cara adalah menghadirkan dunia tersebut dan mengajari mereka dalam
mengelola dan mengaplikasikan informasi yang mereka dapatkan. kita tidak dapat
mundur dan kembali kebelakang, yang bisa kita lakukan adalah maju dan
berevolusi.
Hazar Widiya Sarah. Sedang menjalankan gaya hidup
minimalis, karena baginya minimalis adalah refleksi dari cara berpikir yang sederhana. Mendukung Suaminya (Aris Munandar) dalam Komunitas
Matahari Pagi, dan saat ini tengah bersiap menuangkan gagasan tentang parenting
yang bertumpu pada ‘komunikasi antara orangtua dengan anak’. E-mail:
widiyasara@gmail.com. FB: Hazar Widiya Sarah. IG: @hazarwidiyasarah.
Ide yang sangat bagus, karena saat ini pada umumnya orang tua kesulitan dlm mengarahkan anak terkait penggunaan IT secara bijak.
BalasHapus