“...
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemputilah abang di teluk Napoli
...”
(Sitor Situmorang, Lagu Gadis Itali, 1955).
Mungkin kita termasuk yang suka menuangkan suasana
hati kita kedalam bait-bait. Puisi setia menemani manusia. Ia mengikuti
perkembangan dan perubahan konsep keindahan serta selera manusia (Riffaterre,
1978). Puisi merupakan bagian lain dari karya sastra, disamping prosa.
Berbeda dengan penyair zaman dahulu. Kini, kita lebih
memilih menulis puisi tanpa mengindahkan aturan bait, baris, jumlah dan pola.
Tapi, sesungguhnya puisi itu tidak bebas. Ia terikat oleh hakikatnya sendiri.
Penyairlah yang memberikan aturan untuk puisinya.
Lalu, apa bedanya puisi dengan sajak? Puisi merupakan
istilah jenis sastra, sedangkan sajak sebutan untuk individunya. Misalnya :
sajak “Aku”, sajak “Hujan Bulan Juni”.
Puisi dalam pengertian lama adalah karangan yang
terikat oleh : banyak baris dalam tiap bait, banyak kata dalam tiap baris,
banyak suku kata dalam tiap baris, rima, dan irama (Wirjosoedarmo, 1948).
Sedangkan dalam pengertian baru, puisi hanya dibentuk oleh sarana kepuitisannya
saja. Dalam pengertian baru tersebut, penyair lebih mengedepankan ekspresi
pengalaman jiwanya. Dia bebas untuk mengkombinasikan sarana kepuitisan yang
disukainya. Sarana kepuitisan itu berupa diksi atau pilihan kata. Diksi
digunakan setepat mungkin sehingga dapat memberikan makna paling intens.
Diksi adalah pemilihan kata untuk menyampaikan suatu
gagasan dan ketepatan. Atau dalam arti lain, diksi merupakan : (1) kemampuan
memilih kata dengan cermat sehingga dapat membedakan secara tepat nuansa makna
gagasan yang ingin disampaikan; (2) kemampuan untuk menemukan bentuk yang
sesuai dengan situasi dan nilai rasa.
Penyair menggunakan kata berjiwa untuk sajaknya. Kata
berjiwa adalah kata yang dapat mewakili perasaan penyair, mewakili sikap
penyair terhadap sesuatu, menimbulkan efek estetis yang dalam, dan dapat
mendorong timbulnya perasaan tertentu. Untuk itu, penyair mutlak memiliki
perbendaharaan kata atau kosakata yang mumpuni. Bahkan bisa saja seorang
penyair menciptakan kata baru.
Kemampuan memilih dan menyusun kata-kata sehingga
menimbulkan imajinasi estetik, juga merupakan lingkup diksi. Sehingga diksi
merupakan proses. Proses tersebut menghasilkan nilai kepuitisan. Apa itu nilai
kepuitisan? Yaitu : (1) rangkaian bunyi yang merdu; (2) makna yang dapat
menimbulkan rasa estetis; (3) kepadatan bayangan yang dapat menimbulkan kesan
mendalam.
Dalam eksperimennya, penyair kadang menggunakan makna
denotatif atau konotatif untuk kata yang digunakannya. Makna denotatif bersifat
objektif dan lugas. Contoh:
...
“Mengapa kancing bajumu
lepas terbuka?”
Aku hanya tertawa.
...
(Rendra, episode)
Sedangkan makna konotatif ialah makna tautan pikiran
yang menimbulkan rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan kata tersebut.
Contoh:
...
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap-harap
...
(Chairil Anwar, Senja di Pelabuhan Kecil)
Selain itu, setiap kata memiliki karakter atau sifat
yang berbeda satu dengan yang lain. Salah satunya adalah keindahan yang melekat
pada kata tersebut. Nilai keindahan bisa dilihat dari keindahan bunyinya dan
atau keindahan maknanya. Kata yang memiliki keindahan bawaan disebut efoni.
Efoni ini ditentukan oleh bentuk bunyi vokal dan konsonannya, serta susuna
bunyi vokal dan konsonannya.
Bunyi vokal ialah bunyi bahasa yang dihasilkan oleh
getaran pita suara, dan tanpa penyempitan dalam saluran suara pada bagian
tenggorokan yang berisi pita suara (Kridalaksana, 1983). Bentuk bunyi vokal
yang membuat kata menjadi indah ialah vokal –i yang terletak pada akhir suku
kata. Misalnya kata yang bersusunan vokal e-i, : gerimis, sepi, kering, dan
lain-lain. Atau kata yang bersusunan vokal a-i, : gadis, baik, pagi, dan
lain-lain.
Ada lagi yang disebut dengan diftong, yaitu bunyi
bahasa yang waktu pengucapannya ditandai oleh perubahan gerak lidah ciri
kualitas vokal satu kali, dan berfungsi sebagai inti dari suku kata
(Kridalaksana, 1983). Diftong ‘ai’ pada kata ramai, misalnya. Contoh lain
diftong ‘au’ pada kata dikau, berkicau, terpukau, dan sebagainya.
Kemudian bentuk konsonan, ialah bunyi bahasa yang
dilakukan dengan menghambat aliran udara pada salah satu tempat pada saluran
suara diatas celah di antara kedua selaput udara (Kridalaksana, 1983). Menurut
Waluyo (1991) bahwa konsonan m, n, dan ng memberikan efek dengungan, nyanyian
musik yang memberi kesan indah. Misalnya : semilir, memancar, mengalir, dan
lain-lain.
Aris Munandar - Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar