Minggu, 10 Februari 2019

MENGENAL PUISI



“...
Kerling danau di pagi hari
Lonceng gereja bukit Itali
Jika musimmu tiba nanti
Jemputilah abang di teluk Napoli
...”

(Sitor Situmorang, Lagu Gadis Itali, 1955).

Mungkin kita termasuk yang suka menuangkan suasana hati kita kedalam bait-bait. Puisi setia menemani manusia. Ia mengikuti perkembangan dan perubahan konsep keindahan serta selera manusia (Riffaterre, 1978). Puisi merupakan bagian lain dari karya sastra, disamping prosa.

Berbeda dengan penyair zaman dahulu. Kini, kita lebih memilih menulis puisi tanpa mengindahkan aturan bait, baris, jumlah dan pola. Tapi, sesungguhnya puisi itu tidak bebas. Ia terikat oleh hakikatnya sendiri. Penyairlah yang memberikan aturan untuk puisinya.

Lalu, apa bedanya puisi dengan sajak? Puisi merupakan istilah jenis sastra, sedangkan sajak sebutan untuk individunya. Misalnya : sajak “Aku”, sajak “Hujan Bulan Juni”.

Puisi dalam pengertian lama adalah karangan yang terikat oleh : banyak baris dalam tiap bait, banyak kata dalam tiap baris, banyak suku kata dalam tiap baris, rima, dan irama (Wirjosoedarmo, 1948). Sedangkan dalam pengertian baru, puisi hanya dibentuk oleh sarana kepuitisannya saja. Dalam pengertian baru tersebut, penyair lebih mengedepankan ekspresi pengalaman jiwanya. Dia bebas untuk mengkombinasikan sarana kepuitisan yang disukainya. Sarana kepuitisan itu berupa diksi atau pilihan kata. Diksi digunakan setepat mungkin sehingga dapat memberikan makna paling intens.

Diksi adalah pemilihan kata untuk menyampaikan suatu gagasan dan ketepatan. Atau dalam arti lain, diksi merupakan : (1) kemampuan memilih kata dengan cermat sehingga dapat membedakan secara tepat nuansa makna gagasan yang ingin disampaikan; (2) kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa.

Penyair menggunakan kata berjiwa untuk sajaknya. Kata berjiwa adalah kata yang dapat mewakili perasaan penyair, mewakili sikap penyair terhadap sesuatu, menimbulkan efek estetis yang dalam, dan dapat mendorong timbulnya perasaan tertentu. Untuk itu, penyair mutlak memiliki perbendaharaan kata atau kosakata yang mumpuni. Bahkan bisa saja seorang penyair menciptakan kata baru.

Kemampuan memilih dan menyusun kata-kata sehingga menimbulkan imajinasi estetik, juga merupakan lingkup diksi. Sehingga diksi merupakan proses. Proses tersebut menghasilkan nilai kepuitisan. Apa itu nilai kepuitisan? Yaitu : (1) rangkaian bunyi yang merdu; (2) makna yang dapat menimbulkan rasa estetis; (3) kepadatan bayangan yang dapat menimbulkan kesan mendalam.

Dalam eksperimennya, penyair kadang menggunakan makna denotatif atau konotatif untuk kata yang digunakannya. Makna denotatif bersifat objektif dan lugas. Contoh:

...
“Mengapa kancing bajumu
lepas terbuka?”
Aku hanya tertawa.
...

(Rendra, episode)

Sedangkan makna konotatif ialah makna tautan pikiran yang menimbulkan rasa pada seseorang ketika berhadapan dengan kata tersebut. Contoh:

...
Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap-harap
...

(Chairil Anwar, Senja di Pelabuhan Kecil)

Selain itu, setiap kata memiliki karakter atau sifat yang berbeda satu dengan yang lain. Salah satunya adalah keindahan yang melekat pada kata tersebut. Nilai keindahan bisa dilihat dari keindahan bunyinya dan atau keindahan maknanya. Kata yang memiliki keindahan bawaan disebut efoni. Efoni ini ditentukan oleh bentuk bunyi vokal dan konsonannya, serta susuna bunyi vokal dan konsonannya.

Bunyi vokal ialah bunyi bahasa yang dihasilkan oleh getaran pita suara, dan tanpa penyempitan dalam saluran suara pada bagian tenggorokan yang berisi pita suara (Kridalaksana, 1983). Bentuk bunyi vokal yang membuat kata menjadi indah ialah vokal –i yang terletak pada akhir suku kata. Misalnya kata yang bersusunan vokal e-i, : gerimis, sepi, kering, dan lain-lain. Atau kata yang bersusunan vokal a-i, : gadis, baik, pagi, dan lain-lain.

Ada lagi yang disebut dengan diftong, yaitu bunyi bahasa yang waktu pengucapannya ditandai oleh perubahan gerak lidah ciri kualitas vokal satu kali, dan berfungsi sebagai inti dari suku kata (Kridalaksana, 1983). Diftong ‘ai’ pada kata ramai, misalnya. Contoh lain diftong ‘au’ pada kata dikau, berkicau, terpukau, dan sebagainya.

Kemudian bentuk konsonan, ialah bunyi bahasa yang dilakukan dengan menghambat aliran udara pada salah satu tempat pada saluran suara diatas celah di antara kedua selaput udara (Kridalaksana, 1983). Menurut Waluyo (1991) bahwa konsonan m, n, dan ng memberikan efek dengungan, nyanyian musik yang memberi kesan indah. Misalnya : semilir, memancar, mengalir, dan lain-lain.


Aris Munandar - Matahari Pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"