Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutera senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda
(Chairil Anwar, Deru Campur Debu).
Kita telah berkenalan dengan puisi pada artikel
sebelumnya (silahkan simak kembali DISINI).
Sekarang kita berkenalan dengan retorika. Apa itu retorika? Retorika adalah
teknik penyampaian uraian tentang akal pikiran kita secara persuasif, sehingga
bisa diterima oleh orang lain. Teknik penyampaian ini dalam puisi menggunakan
sarana retorika. Sarana retorika merupakan salah satu unsur dalam puisi.
Sehingga untuk dapat memahami, memaknai, menganalisis, dan mengajarkan puisi,
maka kita harus memahami sarana retorika ini.
Sarana retorika digunakan penyair sebagai alat untuk
menyampaikan pikiran, perasaan, dan maksudnya. Sarana retorika ini dapat berupa
rangkaian kata-kata, frase, atau kalimat yang merangsang pikiran pembaca untuk
memahami peristiwa atau hal-hal yang disampaikan penyair dalam puisinya. Dalam
kedudukannya sebagai pendukung makna puisi, sarana retorika berada pada wilayah
bentuk lahiriah puisi.
Hakikatnya, sarana retorika adalah sarana kepuitisan
dalam bentuk konstruksi bahasa yang disusun sedemikian rupa oleh penyair
sehingga pembaca dituntut untuk memikirkan efek yang ditumbuhkan dan
dimaksudkan oleh penyairnya (Pradopo, 1990). Untuk itu, sarana retorika bisa
dikatakan sebagai muslihat pikiran (Altenbernd & Lewis, 1970). Untuk itu,
puisi mengajak pembacanya untuk berkontemplasi atas apa yang dikemukakan
penyair. Untuk bisa berkontemplasi, pembaca harus bisa mengidentifikasi sarana
retorika yang terdapat dalam suatu puisi. Untuk memudahkan pengidentifikasian,
maka harus mengenal jenis-jenis sarana retorika terlebih dahulu.
Hiperbola. Sarana retorika yang menyatakan sesuatu
secara berlebih-lebihan dengan membesar-besarkan fakta atau emosi yang
sesungguhnya. Berfungsi menambah intensitas makna.
Menyala rinduku
Dalam unggun api-Mu
Membara dalam keluhan panjang
Hatiku yang pendiam
Menyala rinduku
Dalam redupnya gemintang
Saat malam, saat kelam itu
Menikamku dalam-dalam
(Acep Zamzam Noor, Di Bukit Dago, 1982)
Understatement atau litotes. Sebagai kebalikan dari hiperbola,
sarana retorika ini berarti pernyataan yang mengecilkan sesuatu. Berfungsi
untuk memberi pemahaman dan penghayatan bagi pembaca betapa kecil/rendah-nya
suatu hal.
Ingin selalu kupersembahkan kepada-Mu
Sajak-sajak yang sederhana
Pikiran-pikiran yang sederhana
Perasaan-perasaan dan hasrat yang
sederhana
Sebab hidup ini pun sederhana saja
Aku dilahirkan secara sederhana
Dari rahim ibuku yang sederhana
Dari rahim iradat-Mu yang sederhana
(Emha Ainun Nadjib, Sajak Sederhana, 1978)
Ambiguitas. Dalam arti makna ganda yang dimiliki oleh
kata, frase, klausa, ataupun kalimat. Hal ini diakibatkan oleh sifat puisi yang
berupa pemadatan, sehingga menyebabkan makna menjadi misted dan bersifat polyinterpretable.
Berfungsi untuk mendorong pembaca memikirkan makna puisi yang sesuai dalam
hubungannya dengan konteks struktur puisi secara keseluruhan.
Ayah dan ibuku bercakap-cakap
dalam tidurku
Kata mereka: Pohon keluarganya
selalu ditebangi orang
Aku bangun pagi-pagi benar
- di seberang gurun langit sudah malam
Aku ingin tidur lagi
Aku tak ingin melihatnya
(Abdul Hadi WM, Optimisme, 1982)
Elipsis. Sarana retorika yang ditandai dengan
penghilangan bagian dari satu kalimat dalam suatu baris yang memungkinkan
pembaca untuk mengisi dengan imajinya. Berfungsi menantang pembaca untuk
memikirkan apa yang kira-kira akan diisikan pada bagian yang tidak lengkap itu.
Tolong sampaikan kepada abangku, Raden
Sumantri, bahwa
memang
kebetulan jantungku tertembus anak panahnya,
Kami
saling mencinta, dan antara
disengaja
dan tak sengaja sama sekali tidak ada pembatasnya
Kalau kau bertemu dengannya, tolong
sampaikan bahwa aku
tidak menaruh menaruh dendam padanya,
dan nanti apabila perang
itu
tiba, aku hanya akan...
(Sapardi Djoko Damono, Pesan, 1983)
Aris Munandar – Matahari Pagi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar