“...Harta yang paling berharga adalah
keluarga...” (Lirik lagu tema
Keluarga Cemara).
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang
terdiri atas seorang kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan
tinggal disuatu tempat (rumah) dalam keadaan saling ketergantunganberdasarkan
hubungan darah dan hukum perkawinan. Mbak Lusi (Lusi Wees) dalam bukunya
mencatat keseharian bagaimana menjadi ibu dari sebuah keluarga.
Rumahku, Negaraku merupakan salah satu fragmen dalam
bunga rampai tulisan ini dan dijadikan judul buku oleh Mbak Lusi. Fragmen ini
menggambarkan bagaimana pengelolaan rumah tangga sebagai suatu organisasi.
Dalam teorinya, keluarga adalah sebuah sistem yang merupakan kesatuan bagian-bagian
fungsi untuk menyelesaikan seperangkat tujuan. Ciri keluarga modern dapat
dilihat dari : keilmiahan berpikir, pemanfaatan relasi birokrasi, sistem
administrasi, efektifitas penggunaan teknologi, pengorganisasian, perencanaan.
Ciri tersebut dapat kita simak juga dalam fragmen-fragmen berikutnya. Namun
yang paling mendasar adalah masalah pendidikan.
Keluarga dalam fungsinya dalam pendidikan, merupakan
tempat mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya. Sistem pendidikan
kita mengenal 3 jalur pendidikan, yaitu : fomral, non formal, dan informal.
Menjadikan sekolah sebagai satu-satunya tempat bagi orang terdidik tidaklah
relevan. Konsep pendidikan vs sekolah dipraktikan dengan apik oleh keluarga
Mbak Lusi kepada Hamdi, puteranya.
Sebenarnya yang diterapkan oleh keluarga Mbak Lusi
adalah pendidikan humanis (Zahrotul ‘Uyun, 2019). Pertama melalui media
dongeng. Dongeng dapat memberikan sentuhan manusiawi bagi si anak. Terdapat
ragam manfaat dari dongeng, diantaranya : mempererat hubungan komunikasi antara
orangtua dengan anak, membangun karakter, menumbuhkan minat baca, merangsang
kekuatan berpikir, meningkatkan imajinasi, media penanaman nilai dan etika yang
efektif, serta menumbuhkan empati.
Pendidikan humanis mengedepankan keteladanan. Selain
itu, ditunjang juga dengan pembiasaan. Pembiasaan ini meliputi
komponen-komponen berikut : kemandirian, disiplin, kesopanan, kerapian,
ketaatan terutama dalam beribadah, dan kepedulian terhadap sesama.
Setidaknya ada 4 pendekatan dalam pendidikan humanis
yang diterapkan oleh keluarga Mbak Lusi. Pertama, self esteem approach. Melalui pendekatan ini ditekankan pada
pembentukan kepercayaan diri si anak. Kepercayaan diri pada anak apabila
orangtua memberikan kesempatan yang cukup bagi si anak untuk bisa berekspresi,
baik dalam karya maupun mengungkapkan pendapatnya.
Anak memerlukan kebebasan dalam mengeksplorasi
ide-idenya. Ruang tersebut merupakan bentuk penghargaan bagi mereka sebagai
manusia, sebagai individu yang mandiri. Inilah yang disebut sebagai creativity approach. Sedangkan melalui value and development approach, membantu
anak dalam proses pembelajarannya. Bagaimana si anak belajar mengidentifikasi,
memecahkan masalah, dan membentuk persepsi.
Multiple talent approach adalah pendekatan dalam pengembangan 9 tipe
kecerdasan yang ada dalam diri si anak. 9 tipe kecerdasan tersebut adalah :
kecerdasan linguitik, kecerdasan logika matematika, kecerdasan visual,
kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan
intrapersonal, kecerdasan natural, dan kecerdasan eksistensial.
Namun demikian, Mbak Lusi disini bukan sedang
menghakimi sekolah. Tersebut disana bagaimana Bu Aleysia, Bu Muji, Pak Arif, Bu
Tuti sebagai mutiara-mutiara dalam sistem pendidikan kita. Pointnya adalah bagaimana
orangtua menjaga peranannya dalam pendidikan anak. Sikap abai orangtua dengan
menyerahkan pendidikan anak-anak sepenuhnya ke pihak sekolah merupakan salah
satu permasalahan dari pendidikan kita.
Sekolah bukanlah penjara bagi anak kita. Kehidupan
sebagai guru utama. Dalam bagian ini Rhenald Kasali (2018) cukup cermat
memotretnya. Ibarat sebuah buku, dunia dan isinya ini kaya akan pengetahuan.
Namun, bagi Agustinus dari Hippo, “Those
who do no travel read only one chapter”. Mereka yang tidak melakukan
perjalanan, alias Cuma belajar di kelas dan mengurung diri dapat diibaratkan
hanya membaca satu bab. Orangtua harus memberi ruang dan kepercayaan kepada
anak-anaknya supaya anak-anak mereka tidak hanya sekedar membaca kata pengatar
dan pendahuluan dari sebuah buku.
Di era digital dewasa ini, kehidupan bukan hanya
semata ada di alam nyata, dia hadir juga di alam maya. Marc Prensky membagi manusia kedalam dua kelompok, yaitu para orang tua sebagai digital immigrants dan anak-anak kita selaku digital natives. Kita sebagai orangtua tidak seharusnya panik
dengan ‘realitas’ baru ini. Karena menurut Garry Small bahwa anak-anak yang
otaknya banyak menerima input secara digital bisa menjadi superior, dalam arti
lebih cepat menyerap informasi dan cepat mengambil keputusan. Hal ini
dikarenakan mereka lebih banyak didukung oleh informasi dan lebih pandai
mengklasifikasikan.
Kita sebagai orangtua hendaknya menyikapi ini dengan
bijak. Bagaimana menghadapi dunia game
yang bagi anak-anak sangat apresiatif. Ketika mulai mereka disambut, kemudian
dibriefing dengan jelas mengenai
perannya, siapa musuhnya dan misinya apa? Ketika gagal mereka tidak dihakimi,
sebaliknya mereka diapresiasi dan didorong untuk terus mencoba kembali sampai
berhasil. Ketika berhasil, apresiasi yang diterima luar biasa, dari gemuruh
tepuk tangan hingga kembang api. Adakah jalan keluar bagi orangtua dalam
menghadapi fenomena ini? Jawabannya, tentu saja ada.
Apa hal yang tidak pernah tergerus oleh kemajuan
zaman? Jawabanya adalah cinta, kasih sayang. Inilah kunci untuk agar anak bisa
membuka hadiah dari kita. “Hadiah dan terpenting dan terindah dari orangtua
untuk anak-anaknya adalah tantangan” Carol Dweck. Orangtua adalah guru hidup
yang paling berarti bagi masa depan anak-anak.
Aris Munandar - Matahari Pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar