Minggu, 10 Februari 2019

RUMAHKU, NEGARAKU : PENDIDIKAN HUMANIS DALAM PRAKTIK



“...Harta yang paling berharga adalah keluarga...” (Lirik lagu tema Keluarga Cemara).

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas seorang kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal disuatu tempat (rumah) dalam keadaan saling ketergantunganberdasarkan hubungan darah dan hukum perkawinan. Mbak Lusi (Lusi Wees) dalam bukunya mencatat keseharian bagaimana menjadi ibu dari sebuah keluarga.

Rumahku, Negaraku merupakan salah satu fragmen dalam bunga rampai tulisan ini dan dijadikan judul buku oleh Mbak Lusi. Fragmen ini menggambarkan bagaimana pengelolaan rumah tangga sebagai suatu organisasi. Dalam teorinya, keluarga adalah sebuah sistem yang merupakan kesatuan bagian-bagian fungsi untuk menyelesaikan seperangkat tujuan. Ciri keluarga modern dapat dilihat dari : keilmiahan berpikir, pemanfaatan relasi birokrasi, sistem administrasi, efektifitas penggunaan teknologi, pengorganisasian, perencanaan. Ciri tersebut dapat kita simak juga dalam fragmen-fragmen berikutnya. Namun yang paling mendasar adalah masalah pendidikan.

Keluarga dalam fungsinya dalam pendidikan, merupakan tempat mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya. Sistem pendidikan kita mengenal 3 jalur pendidikan, yaitu : fomral, non formal, dan informal. Menjadikan sekolah sebagai satu-satunya tempat bagi orang terdidik tidaklah relevan. Konsep pendidikan vs sekolah dipraktikan dengan apik oleh keluarga Mbak Lusi kepada Hamdi, puteranya.

Sebenarnya yang diterapkan oleh keluarga Mbak Lusi adalah pendidikan humanis (Zahrotul ‘Uyun, 2019). Pertama melalui media dongeng. Dongeng dapat memberikan sentuhan manusiawi bagi si anak. Terdapat ragam manfaat dari dongeng, diantaranya : mempererat hubungan komunikasi antara orangtua dengan anak, membangun karakter, menumbuhkan minat baca, merangsang kekuatan berpikir, meningkatkan imajinasi, media penanaman nilai dan etika yang efektif, serta menumbuhkan empati.

Pendidikan humanis mengedepankan keteladanan. Selain itu, ditunjang juga dengan pembiasaan. Pembiasaan ini meliputi komponen-komponen berikut : kemandirian, disiplin, kesopanan, kerapian, ketaatan terutama dalam beribadah, dan kepedulian terhadap sesama.

Setidaknya ada 4 pendekatan dalam pendidikan humanis yang diterapkan oleh keluarga Mbak Lusi. Pertama, self esteem approach. Melalui pendekatan ini ditekankan pada pembentukan kepercayaan diri si anak. Kepercayaan diri pada anak apabila orangtua memberikan kesempatan yang cukup bagi si anak untuk bisa berekspresi, baik dalam karya maupun mengungkapkan pendapatnya.

Anak memerlukan kebebasan dalam mengeksplorasi ide-idenya. Ruang tersebut merupakan bentuk penghargaan bagi mereka sebagai manusia, sebagai individu yang mandiri. Inilah yang disebut sebagai creativity approach. Sedangkan melalui value and development approach, membantu anak dalam proses pembelajarannya. Bagaimana si anak belajar mengidentifikasi, memecahkan masalah, dan membentuk persepsi.

Multiple talent approach adalah pendekatan dalam pengembangan 9 tipe kecerdasan yang ada dalam diri si anak. 9 tipe kecerdasan tersebut adalah : kecerdasan linguitik, kecerdasan logika matematika, kecerdasan visual, kecerdasan musikal, kecerdasan kinestetik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan natural, dan kecerdasan eksistensial.

Namun demikian, Mbak Lusi disini bukan sedang menghakimi sekolah. Tersebut disana bagaimana Bu Aleysia, Bu Muji, Pak Arif, Bu Tuti sebagai mutiara-mutiara dalam sistem pendidikan kita. Pointnya adalah bagaimana orangtua menjaga peranannya dalam pendidikan anak. Sikap abai orangtua dengan menyerahkan pendidikan anak-anak sepenuhnya ke pihak sekolah merupakan salah satu permasalahan dari pendidikan kita.

Sekolah bukanlah penjara bagi anak kita. Kehidupan sebagai guru utama. Dalam bagian ini Rhenald Kasali (2018) cukup cermat memotretnya. Ibarat sebuah buku, dunia dan isinya ini kaya akan pengetahuan. Namun, bagi Agustinus dari Hippo, “Those who do no travel read only one chapter”. Mereka yang tidak melakukan perjalanan, alias Cuma belajar di kelas dan mengurung diri dapat diibaratkan hanya membaca satu bab. Orangtua harus memberi ruang dan kepercayaan kepada anak-anaknya supaya anak-anak mereka tidak hanya sekedar membaca kata pengatar dan pendahuluan dari sebuah buku.

Di era digital dewasa ini, kehidupan bukan hanya semata ada di alam nyata, dia hadir juga di alam maya. Marc Prensky  membagi manusia kedalam dua kelompok, yaitu  para orang tua sebagai digital immigrants dan anak-anak kita selaku digital natives. Kita sebagai orangtua tidak seharusnya panik dengan ‘realitas’ baru ini. Karena menurut Garry Small bahwa anak-anak yang otaknya banyak menerima input secara digital bisa menjadi superior, dalam arti lebih cepat menyerap informasi dan cepat mengambil keputusan. Hal ini dikarenakan mereka lebih banyak didukung oleh informasi dan lebih pandai mengklasifikasikan.

Kita sebagai orangtua hendaknya menyikapi ini dengan bijak. Bagaimana menghadapi dunia game yang bagi anak-anak sangat apresiatif. Ketika mulai mereka disambut, kemudian dibriefing dengan jelas mengenai perannya, siapa musuhnya dan misinya apa? Ketika gagal mereka tidak dihakimi, sebaliknya mereka diapresiasi dan didorong untuk terus mencoba kembali sampai berhasil. Ketika berhasil, apresiasi yang diterima luar biasa, dari gemuruh tepuk tangan hingga kembang api. Adakah jalan keluar bagi orangtua dalam menghadapi fenomena ini? Jawabannya, tentu saja ada.

Apa hal yang tidak pernah tergerus oleh kemajuan zaman? Jawabanya adalah cinta, kasih sayang. Inilah kunci untuk agar anak bisa membuka hadiah dari kita. “Hadiah dan terpenting dan terindah dari orangtua untuk anak-anaknya adalah tantangan” Carol Dweck. Orangtua adalah guru hidup yang paling berarti bagi masa depan anak-anak.


Aris Munandar - Matahari Pagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"