Minggu, 10 Februari 2019

SEMESTA PERIH : MENYENANDUNGKAN SAKIT, MENGEMAS KASIH



Kemaslah dirimu dengan baik
Dalam almari bersemayam tubuh kaku
Seiring matahari yang terus memeluk bumi
Akulah sang perindu yang sekarat ditikam waktu.

Kolase dari kumpulan puisi Mengemas Perih dalam Senandung Kasih
Nirma Herlina Ghanie, 2018.

Judul tulisan ini merupakan eksperimen utak-atik kata dari judul buku puisinya Nirma Herlina Ghanie (selanjutnya disebut Nirma). Pun dengan bait diawal tulisan ini merupakan kolase dari baris-baris sajak dari buku puisi yang sama. Pertanyaanya, kenapa hal itu dilakukan?.

Cinta adalah persoalan yang klise. Namun, menurut Saut Situmorang, dari hal tersebutlah Dante menulis 3 buku besar tentang Neraka, Purgatoria, dan Sorga. Begitu Petrarch menciptakan sebuah genre baru yang disebut soneta. Tak ketinggalan Indonesia memiliki si bohemian, Chairil Anwar.

Puisi ini menurut Nirma sendiri diakui sebagai potret rasa ‘sakit’ dan menjadikan ‘kebangkitan’ sebagai maknanya. Puisi sebagai karya seni memiliki fungsi estetika, puisi sebagai pernyataan mengandung ekspresivitas yang intensif. Dalam menjalankan spiritualnya, puisi merangsang kepekaan terhadap keindahan dan terhadap rasa kemanusiaan. Puisi, dalam upayanya, mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan yang terkikis dan menyadarkan kembali manusia pada kedudukannya dalam kehidupan (Pradopo dkk, 2012).

Sajak-sajak dalam buku puisi ini pada umumnya memiliki nada yang sama dan diksi yang serupa. Untuk itu, eksperiman utak-atik dan kolase diatas dimaksudkan untuk membongkar jebakan ‘kesamaan’ nada dan ‘keserupaan’ diksi. Dalam perangkat puitik (poetic devices), perangkat bunyi (sound devices) berada didalamnya bersama perangkat arti (sense devices). Untuk dapat mengungkapkan nada (tone) dan tema bisa dilakukan dengan melakukan analisis terhadap perangkat-perangkat tersebut.

Hal ini merujuk pada konsepsi kebudayaan menurut Mathew Arnold, dimana puisi diperlakukan sebagai karya yang terlepas dari penulis, lingkungan sosial-budaya, dan bahkan pembacanya. Hal ini dilakukan untuk menemukan nilai yang bersifat universal, melampaui batas ruang dan waktu. Tolok ukur nilai tersebut terletak pada kejujuran, intensitas dan keseriusan penulisan puisi tersebut.

Dari kolase diatas terasa lirih berada dibalik senandung kasih. Apa yang menjadi motif dominan dalam ‘kebangkitan’ dari perih/sakit seseorang?

Dalam hening tanpa diksi
Aku tak bisa mengenal rupaku sendiri
“Enyahlah kau dari hidupku!”
Apakah akan kau lemparkan cincin itu di bawah hujan?

Kolase dari kumpulan puisi Mengemas Perih dalam Senandung Kasih
Nirma Herlina Ghanie, 2018.

Pemaknaan ini bukanlah pemaknaan berdasarkan arti referensial. Tapi meminjam inspirasi dan narasi dari Semesta Manusia-nya Nirwan Arsuka. Kenapa demikian? Karena tulisan ini mau menangkap roh dari buku ini, yakni ‘kebangkitan’. Manusia bangkit apabila terdapat harapan yang lebih besar terhadap kehidupan dibandingkan ketakutan pada kematian (baca: kehancuran).  Itulah nalar. Sajak digunakan Nirma dalam menyampaikan perspektifnya secara estetik.

Dalam hal ini terjadi pertentangan antara menjadi ber-‘ada’ (being) atau hanya sekadar ada (exist). Pada hakikatnya, hidup sendiri bukanlah suatu aktivitas untuk mencari kebenaran. Karena jika kita terlalu sibuk mencari tentang kebenaran, mungkin kita akan tererumus pada pengakuan merasa paling benar. Kita bisa menjadi lupa jika kebenaran itu berada dibalik kesalahan. Dari cara menangani kesalahan inilah tingkat peradaban manusia diukur.

...
Mungkin kami harus beteman
Belajar hidup berdampingan
Sebagai sesama makhluk Tuhan

(Tupai, hal.53)

Pada puncak tertinggi peradaban manusia, bahasa bertengger. Puisi meretasnya, sehingga memperluas cakrawala bahasa. Ia melampaui batas-batas bahasa untuk kemudian menetapkan batas-batas baru. Terus demikian, terus tumbuh dan berkembang. Begitu dengan kebangkitan, ia menerabas rasa dari sakit. Melampauinya sehingga menggerakan semangat untuk bangkit.

...
Hingga almanak tersibak kau telah berlayar
Meninggalkan jejak berdarah di batu karang
...
Tahukah engkau?
Batu itu menjadi mutiara
Ia terendap di dasar lautan
Lalu Tuhan berkehendak menyeretnya ke tepian
...

(Bisikan Kasih dalam Senandung Perih, hal.1)


Aris Munandar – Matahari Pagi.

2 komentar:

  1. Terimakasih mas sudah mereview buku Mengemas perih dalam senandung kasih.

    BalasHapus
  2. subhanallah keren banget buku mengemas perih dalam senandung kasih... reviewnya mantap kak aris

    BalasHapus

"bersinar bersama dan menyinari kebersamaan"